Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 23 Juni, 239 tahun silam, Kota Pekanbaru resmi didirikan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah di bawah pemerintahan Sultan Yahya. Sebelumnya, Pekanbaru dikenal dengan nama ‘Senapelan’ yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Batin.
Dahulunya sebagai ladang, daerah ini terus berkembang menjadi kawasan permukiman baru. Kemudian pada periode tertentu permukiman tersebut berubah menjadi kampung Dusun Payung Sekaki dan terletak di tepian Sungai Siak.
Mengutip dari pekanbaru.go.id, Senapelan sempat menjadi perhentian kapal-kapal Belanda menuju Petapahan, yang saat itu merupakan kawasan penting bagi mereka. Hal ini membuat Payung Sekaki atau Senapelan menjadi tempat penumpukan berbagai komoditi perdagangan seperti timah, emas, barang kerajinan kayu dan hasil hutan lainnya.
Seiring waktu, Payung Sekaki atau Senapelan menjadi kawasan penting dalam lalu lintas perdagangan. Pasalnya, letak Senapelan yang strategis dan kondisi Sungai Siak yang tenang dan dalam membuat perkampungan ini memegang posisi silang baik dari pedalaman Tapung maupun pedalaman Minangkabau dan Kampar. Bahkan, hal ini juga menyokong berkembangnya sarana jalan darat melalui rute Teratak Buluh (Sungai Kelulut), Tangkerang hingga ke Senapelan.
Merangkum dari Antara, kemajuan Senapelan berkaitan erat dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di Senapelan, ia mendirikan Istana di Kampung Bukit yang diperkirakan terletak di sekitar lokasi Masjid Raya sekarang.
Tak hanya itu, ia juga membuat pekan atau pasar di Senapelan, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali. Lokasi pasar tersebut sempat bergeser ke sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Merujuk catatan yang dibuat oleh Imam Suhil Siak, Senapelan yang kemudian disebut Pekanbaru resmi berdiri pada 21 Rajab 1204 Hijriah bersamaan dengan 23 Juni 1784 Masehi oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah di bawah pemerintahan Sultan Yahya.
Akhrinya, sepeninggalan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah, Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat Datuk besar yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar. Mereka bertanggung jawab kepada Sultan Siak dan jalannya pemerintahan berada sepenuhnya di tangan Datuk Bandar.
Selanjutnya perkembangan tentang pemerintahan di Kota pekanbaru selalu mengalami perubahan, yaitu:
1. SK Kerajaan Besluit van Het Inlanche Zelf Bestuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru bagian dari Kerajaan Siak yang disebut District.
2. Pada 1931 Pekanbaru masuk wilayah Kampar Kiri dikepalai oleh seorang Controleur berkedudukan di Pekanbaru.
3. Tanggal 8 Maret 1942 Pekanbaru dikepalai oleh seorang Gubernur Militer disebut Gokung, Distrik menjadi Gun dikepalai oleh Gunco.
4. Ketetapan Gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No.103 Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut Haminte atau Kota B.
5. UU No.22 tahun 1948 Kabupaten Pekanbaru diganti dengan Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru diberi status Kota Kecil.
6. UU No.8 tahun 1956 menyempurnakan status Kota Pekanbaru sebagai kota kecil.
7. UU No.1 tahun 1957 status Pekanbaru menjadi Kota Praja.
8. Kepmendagri No. 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959 Pekanbaru menjadi ibukota Provinsi Riau.
9. UU No.18 tahun 1965 resmi memakai sebutan Kotamadya.
10. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebutan Kotamadya berubah menjadi Kota.
Sebagai informasi, pada 17 Mei 1956 Kota Pekanbaru dijadikan Daerah Otonomi atau disebut Harminte (kota Baru), yang kemudian ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Riau pada 1958. Ketentuan ini berdasarkan surat kawat Kementerian Dalam Negeri RI kepada Gubernur Riau tertanggal 30 Agustus 1958 No. Sekr. 15/15/6.
Pilihan Editor: Kedai Kopi Kim Teng Peninggalan Pejuang Kemerdekaan di Pekanbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini