Selama 5 hari (20-25 Januari lalu) aggota staf redaksi TEMPO,
Yusril Jalinus, bersama undangan lain mengikuti inaugural flight
Garuda Jakarta Tokyo, dirangkai dengan acara piknik ke berbagai
tempat di negeri Matahari Terbit. Penerbangan perdana itu
diselenggarakan sehubugan dengan pembukaan jalur baru sejak
Desember 1975) Denpasar-Hongkong pp dan Denpasar-Hongkong-Tokyo
pp. Di bawah ini laporannya:
KETIKA kereta api itu memperlambat kecepatannya, pemandu wisata
memberikan penjelasan. "Kereta api-kereta api di belakang kita
terpaksa mengalami pemeriksaan. Ada telepon dari orang yang
tidak dikenal identitasnya oleh polisi, katanya ada bom pada
salah sebuah kereta itu".
Kabar yang mestinya bisa bikin kaget itu ternyata tidak
menimbulkan reaksi gaduh. Bahkan 60-an anggota rombongan
Penerbangan Perdana Garuda di gerbong nomor 16 (paling buntut)
Kereta Api Peluru (Bullet Train) yang melaju dari Tokyo menuju
Kyoto itu, nampaknya lebih tertarik pada hujan salju yang
mengurung sekitar Nagoya. "Aduh cantiknya", teriak seorang ibu
mengagumi rumah dan mobil-mobil yang terkubur es sepanjang
jalan. Beberapa penumpang bergiliran duduk di kursi bagian kanan
agar bisa dipotret dengan latar belakang gunung Fuji yang siang
itu tampak jelas.
Oleh Christ, pemandu wisata Fujita Travel Service (biro
perjalanan Jepang yang membawa rombongan itu antara 20 sampai 25
Januari yang lalu), baik Kereta Api Peluru yang mampu lari 250
kilometer per jam, Gunung Fuji atau hujan salju atau ceritera
tentang bom itu, tentu saja dimanfaatkan untuk membikin
kejutan-kejutan kagum bagi tamu-tamunya. Dan ia banyak senyum -
senyum komersiil. Perjalanan panjang itu jadi tidak terasa
melelahkan.
Hanya dalam lima hari, Jepang belum bisa dikenal secara akrab.
Namun acara yang padat -- menyinggahi kota-kota Tokyo, Nikko,
Kyoto dan Osaka (melewati Nara) -- setidak-tidaknya berhasil
juga memperkenalkan wajah Jepang lama dan sekarang. Mula-mula
Tokyo atau Osaka dengan segala macam isinya: gedung pencakar
langit, jalan raya bertingkat, dan polusi. Lalu tempat
peninggalan lama, yang masih mampu mengingatkan wajah Jepang
zaman Shintaro (yang mereka tonton di TV) Plaza Istana Kaisar
dan Kuil Asakusa Kannon di Tokyo, tempat suci Thosogu di Nikko,
istana Nijo dan kuil Kinkakuji di Kyoto, serta kuil Todaiji di
bekas ibukota Jepang pertama, Nara (sebelum Kyoto dan Tokyo
sekarang). Tempat-tempat itu ternyata tidak cuma didatangi
orang-orang asing. Juga banjir turis domestik. Bagi kelompok
terakhir itu, terutama tempat-tempat suci atau kuil, bukan
sekedar tempat piknik. Sekaligus itu tempat untuk beribadah. Di
sana tercatat tak kurang dari 200 kuil Shinto dan 1500 buah kuil
Budha. Menarik juga menyaksikan anak-anak muda Jepang
(berblue-jeans dengan kaos ditutup jaket), yang khusuk
terbungkuk di depan Budha, minum air dingin dan membasuh muka
dengan asap pedupaan. Jepang konon sedang dijangkiti keinginan
kembali ke kehidupan rohani. Anak-anak muda makin banyak menulis
haiku, sajak pendek tradisionil itu.
Merogoh Kantong
Bagi rombongan yang datang dari Jakarta itu, objek-objek turis
itu tidak semuanya menarik. Tempat-tempat belanja, paling banyak
memikat peserta wanita. Ada juga beberapa tempat yang memang
sayang kalau tidak sempat disaksikan. Misalnya Nikko (kira-kira
3 jam perjalanan dengan bis ke sebelah utara Tokyo) dengan
saljunya. Atau danau Chuzenji dan air terjun Kegon yang bersuhu
5 derajat di bawah titik beku waktu itu.
Ada beberapa tempat yang kelihatannya kurang terawat baik.
Misalnya istana Nijo (luas 28 hektar, didirikan oleh Shogun
Tokugawa I, memerintah antara 1542-1616, di Kyoto). Walaupun
pintu gerbangnya yang dilapis logam itu mengkilat bersih,
beberapa bagian dinding yang terbuat dari kertas itu ada yang
sudah bolong-bolong. Bahkan di kuil Kinkakuji yang berumur lebih
tua dari istana itu sepuhan emas yang menutup hampir sebagian
besar dinding dan atap paviliunnya bersinar agak gurem. Mungkin
karena sering tertutup salju. Toh istana yang bolong dan kuil
yang bersinar gurem itu tidak bisa membunuh kesan bahwa Jepang
ada merawat peninggalan-peninggalannya dengan baik. Misalnya,
lihat saja kuil Todayi yang menyimpan patung Budha terbesar di
dunia (berat 450 ton, tinggi 16,2 meter). Kuil itu kini sudah
terkurung oleh bangunan besar segi empat yang melindunginya.
Pintu gerbangnya sengaja dibiarkan dalam bentuk arsitektur asli.
Tapi kuilnya sendiri dari jauh seperti bangunan hotel modern. Di
dalam agak gelap memang. Namun pedupaan toh masih terus juga
berasap. Air dingin untuk diminum masih telap mengalir,
sementara pedagang-pedagang suvenir (rata-rata orang-orang tua)
yang berjajar mulai dari pintu masuk bagian luar sampai ke depan
kuil, siap merogoh kantong turis. Jepang dengan adat dan
kekunoannya, menjual dunia pariwisata. Bali juga laku karena
memiliki hal serupa.
Tapi Bali bukan Jepang. Meskipun pulau yang lebih terkenal dari
pada negaranya itu tidak sedikit kedatangan turis. Soalnya kini
bagaimana agar jumlah wisatawan itu semakin bertambah. Dan
Garuda mulai pertengahan Desember tahun lalu berusaha membantu
melancarkan arus penumpang dengan membuka 2 rute baru:
Denpasar-Hongkong dan Denpasar-Hongkong -Tokyo. Apakah dua jalur
baru Garuda itu bisa mengkatrol pertambahan turis yang masuk ke
Bali? Belum bisa dilihat sekarang. Kabarnya dari ibukota Jepang,
penerbangan pernah kosong. Maklum dari Tokyo saingannya tidak
sedikit. Orang kan boleh memilih penerbangan yang menurut
anggapannya Sip.
Apakah Garuda tidak sip? Terlalu gegabah untuk berprasangka
begitu. Lebih-lebih jalur penerbangan itu sudah dipersiapkan
semenarik mungkin agar bukan hanya Garuda yang beruntung, tapi
Bali pun bakal kecipratan. Itulah sebabnya akhir minggu Januari
lalu Garuda melakukan penerbangan perdana ke Tokyo sebagai
"contoh barang" yang sedang dijual. Pagi itu jam 06.00 lewat, DC
8 Siliwangi mengudara agak terlambat dari jadwal, membawa
penumpang yang hampir semuanya undangan. Beberapa baris kursi
masih kosong. Memang ada kira-kira sepuluhan penumpang biasa
yang naik di Denpasar dan Hongkong. Tapi minus penumpang
undangan, Garuda yang tiba di Tokyo jam 19.00 waktu setempat itu
agaknya akan jauh dari penuh.
Menjerat turis dengan rute baru Garuda itu agaknya masih
memerlukan perjuangan besar. Sebab Bali harus bersaing, misalnya
dengan Pattaya, Hawaii atau Taipeh. Tempat-tempat itu paling
banyak kedatangan turis Jepang. Orang Jepang jarang yang mampu
berbahasa Inggeris, dan di Indonesia hampir tak ada pandu wisata
berbahasa Jepang. "Sebaiknya di pesawat ditarok juga pramugari
orang Jepang", ujar Roekmini, orang Satria Travel. Sistim
menggunakan pramugari berbagai bangsa memang bukan soal baru
dalam dunia penerbangan. Tapi yang lebih baik ialah melatih
berbahasa Jepang para penerima tamu -- sejak di Ganda sampai
dengan di hotel. Mungkin baik pihak Garuda ataupun orang-orang
pariwisata belum memikirkan cara itu. Namun usaha lain bukan
tidak dijalankan. Misalnya kerja sama yang menurut J: Voerman,
manager Garuda untuk Jepang, kini sedang dijalin dengan Jepang
yaitu mencetak brosur-brosur promosi dalam bahasa Jepang.
Hasilnya, menurut Voerman, bulan Maret mendatang beberapa
rombongan turis Jepang sudah mulai memperiiapkan diri. Titik
terang? Untuk mengetahui apakah penerbangan rutin seminggu
sekali itu akan berumur panjang atau tidak, masih menunggu waktu
dulu. "Paling cepat dalam waktu enam bulan sampai satu tahun",
ujar Voerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini