Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Blujin Terbungkuk Depan Budha

Penerbangan perdana diselenggarakan sehubungan dengan pembukaan jalur baru garuda dari denpasar - hongkong pp & denpasar-hongkong-tokyo pp penerbangan rutin baru dapat ditentukan 1 tahun yad. (pws)

28 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 5 hari (20-25 Januari lalu) aggota staf redaksi TEMPO, Yusril Jalinus, bersama undangan lain mengikuti inaugural flight Garuda Jakarta Tokyo, dirangkai dengan acara piknik ke berbagai tempat di negeri Matahari Terbit. Penerbangan perdana itu diselenggarakan sehubugan dengan pembukaan jalur baru sejak Desember 1975) Denpasar-Hongkong pp dan Denpasar-Hongkong-Tokyo pp. Di bawah ini laporannya: KETIKA kereta api itu memperlambat kecepatannya, pemandu wisata memberikan penjelasan. "Kereta api-kereta api di belakang kita terpaksa mengalami pemeriksaan. Ada telepon dari orang yang tidak dikenal identitasnya oleh polisi, katanya ada bom pada salah sebuah kereta itu". Kabar yang mestinya bisa bikin kaget itu ternyata tidak menimbulkan reaksi gaduh. Bahkan 60-an anggota rombongan Penerbangan Perdana Garuda di gerbong nomor 16 (paling buntut) Kereta Api Peluru (Bullet Train) yang melaju dari Tokyo menuju Kyoto itu, nampaknya lebih tertarik pada hujan salju yang mengurung sekitar Nagoya. "Aduh cantiknya", teriak seorang ibu mengagumi rumah dan mobil-mobil yang terkubur es sepanjang jalan. Beberapa penumpang bergiliran duduk di kursi bagian kanan agar bisa dipotret dengan latar belakang gunung Fuji yang siang itu tampak jelas. Oleh Christ, pemandu wisata Fujita Travel Service (biro perjalanan Jepang yang membawa rombongan itu antara 20 sampai 25 Januari yang lalu), baik Kereta Api Peluru yang mampu lari 250 kilometer per jam, Gunung Fuji atau hujan salju atau ceritera tentang bom itu, tentu saja dimanfaatkan untuk membikin kejutan-kejutan kagum bagi tamu-tamunya. Dan ia banyak senyum - senyum komersiil. Perjalanan panjang itu jadi tidak terasa melelahkan. Hanya dalam lima hari, Jepang belum bisa dikenal secara akrab. Namun acara yang padat -- menyinggahi kota-kota Tokyo, Nikko, Kyoto dan Osaka (melewati Nara) -- setidak-tidaknya berhasil juga memperkenalkan wajah Jepang lama dan sekarang. Mula-mula Tokyo atau Osaka dengan segala macam isinya: gedung pencakar langit, jalan raya bertingkat, dan polusi. Lalu tempat peninggalan lama, yang masih mampu mengingatkan wajah Jepang zaman Shintaro (yang mereka tonton di TV) Plaza Istana Kaisar dan Kuil Asakusa Kannon di Tokyo, tempat suci Thosogu di Nikko, istana Nijo dan kuil Kinkakuji di Kyoto, serta kuil Todaiji di bekas ibukota Jepang pertama, Nara (sebelum Kyoto dan Tokyo sekarang). Tempat-tempat itu ternyata tidak cuma didatangi orang-orang asing. Juga banjir turis domestik. Bagi kelompok terakhir itu, terutama tempat-tempat suci atau kuil, bukan sekedar tempat piknik. Sekaligus itu tempat untuk beribadah. Di sana tercatat tak kurang dari 200 kuil Shinto dan 1500 buah kuil Budha. Menarik juga menyaksikan anak-anak muda Jepang (berblue-jeans dengan kaos ditutup jaket), yang khusuk terbungkuk di depan Budha, minum air dingin dan membasuh muka dengan asap pedupaan. Jepang konon sedang dijangkiti keinginan kembali ke kehidupan rohani. Anak-anak muda makin banyak menulis haiku, sajak pendek tradisionil itu. Merogoh Kantong Bagi rombongan yang datang dari Jakarta itu, objek-objek turis itu tidak semuanya menarik. Tempat-tempat belanja, paling banyak memikat peserta wanita. Ada juga beberapa tempat yang memang sayang kalau tidak sempat disaksikan. Misalnya Nikko (kira-kira 3 jam perjalanan dengan bis ke sebelah utara Tokyo) dengan saljunya. Atau danau Chuzenji dan air terjun Kegon yang bersuhu 5 derajat di bawah titik beku waktu itu. Ada beberapa tempat yang kelihatannya kurang terawat baik. Misalnya istana Nijo (luas 28 hektar, didirikan oleh Shogun Tokugawa I, memerintah antara 1542-1616, di Kyoto). Walaupun pintu gerbangnya yang dilapis logam itu mengkilat bersih, beberapa bagian dinding yang terbuat dari kertas itu ada yang sudah bolong-bolong. Bahkan di kuil Kinkakuji yang berumur lebih tua dari istana itu sepuhan emas yang menutup hampir sebagian besar dinding dan atap paviliunnya bersinar agak gurem. Mungkin karena sering tertutup salju. Toh istana yang bolong dan kuil yang bersinar gurem itu tidak bisa membunuh kesan bahwa Jepang ada merawat peninggalan-peninggalannya dengan baik. Misalnya, lihat saja kuil Todayi yang menyimpan patung Budha terbesar di dunia (berat 450 ton, tinggi 16,2 meter). Kuil itu kini sudah terkurung oleh bangunan besar segi empat yang melindunginya. Pintu gerbangnya sengaja dibiarkan dalam bentuk arsitektur asli. Tapi kuilnya sendiri dari jauh seperti bangunan hotel modern. Di dalam agak gelap memang. Namun pedupaan toh masih terus juga berasap. Air dingin untuk diminum masih telap mengalir, sementara pedagang-pedagang suvenir (rata-rata orang-orang tua) yang berjajar mulai dari pintu masuk bagian luar sampai ke depan kuil, siap merogoh kantong turis. Jepang dengan adat dan kekunoannya, menjual dunia pariwisata. Bali juga laku karena memiliki hal serupa. Tapi Bali bukan Jepang. Meskipun pulau yang lebih terkenal dari pada negaranya itu tidak sedikit kedatangan turis. Soalnya kini bagaimana agar jumlah wisatawan itu semakin bertambah. Dan Garuda mulai pertengahan Desember tahun lalu berusaha membantu melancarkan arus penumpang dengan membuka 2 rute baru: Denpasar-Hongkong dan Denpasar-Hongkong -Tokyo. Apakah dua jalur baru Garuda itu bisa mengkatrol pertambahan turis yang masuk ke Bali? Belum bisa dilihat sekarang. Kabarnya dari ibukota Jepang, penerbangan pernah kosong. Maklum dari Tokyo saingannya tidak sedikit. Orang kan boleh memilih penerbangan yang menurut anggapannya Sip. Apakah Garuda tidak sip? Terlalu gegabah untuk berprasangka begitu. Lebih-lebih jalur penerbangan itu sudah dipersiapkan semenarik mungkin agar bukan hanya Garuda yang beruntung, tapi Bali pun bakal kecipratan. Itulah sebabnya akhir minggu Januari lalu Garuda melakukan penerbangan perdana ke Tokyo sebagai "contoh barang" yang sedang dijual. Pagi itu jam 06.00 lewat, DC 8 Siliwangi mengudara agak terlambat dari jadwal, membawa penumpang yang hampir semuanya undangan. Beberapa baris kursi masih kosong. Memang ada kira-kira sepuluhan penumpang biasa yang naik di Denpasar dan Hongkong. Tapi minus penumpang undangan, Garuda yang tiba di Tokyo jam 19.00 waktu setempat itu agaknya akan jauh dari penuh. Menjerat turis dengan rute baru Garuda itu agaknya masih memerlukan perjuangan besar. Sebab Bali harus bersaing, misalnya dengan Pattaya, Hawaii atau Taipeh. Tempat-tempat itu paling banyak kedatangan turis Jepang. Orang Jepang jarang yang mampu berbahasa Inggeris, dan di Indonesia hampir tak ada pandu wisata berbahasa Jepang. "Sebaiknya di pesawat ditarok juga pramugari orang Jepang", ujar Roekmini, orang Satria Travel. Sistim menggunakan pramugari berbagai bangsa memang bukan soal baru dalam dunia penerbangan. Tapi yang lebih baik ialah melatih berbahasa Jepang para penerima tamu -- sejak di Ganda sampai dengan di hotel. Mungkin baik pihak Garuda ataupun orang-orang pariwisata belum memikirkan cara itu. Namun usaha lain bukan tidak dijalankan. Misalnya kerja sama yang menurut J: Voerman, manager Garuda untuk Jepang, kini sedang dijalin dengan Jepang yaitu mencetak brosur-brosur promosi dalam bahasa Jepang. Hasilnya, menurut Voerman, bulan Maret mendatang beberapa rombongan turis Jepang sudah mulai memperiiapkan diri. Titik terang? Untuk mengetahui apakah penerbangan rutin seminggu sekali itu akan berumur panjang atau tidak, masih menunggu waktu dulu. "Paling cepat dalam waktu enam bulan sampai satu tahun", ujar Voerman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus