AIR bening mengalir di sela-sela bebatuan. Muda-mudi pedesaan bermandi ria. Alam Pasundan, yang elok dengan sawahnya yang membentang, kini menjadi bingkai pergelaran Ketupat Lebaran acara rutin TVRI menyambut Hari Raya Idulfitri sejak 1972. Tahun-tahun lalu operet seperti ini dikerjakan Papiko (Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota) pimpinan Titiek Puspa -- sekali diselingi Bimbo -- kini diserahkan sepenuhnya pada seniman Bandung yang tergabung dalam Grup Patria (Pengayom Artis Parahiangan). Kehadiran Kelompok Patria pimpinan R. Ading Affandi dan musik oleh Harry Roesli memberi warna baru: operet ini akrab dengan suasana pedesaan. Bukan saja ratusan figurannya orang-orang desa, tetapi artis-artis pendukungnya menghayati benar kehidupan di desa, termasuk kehidupan sosial keaamaannya. Hura-hura dihilangkan atau disulap jadi hura-hura khas pedesaan. "Bentuknya tetap hiburan, tapi kami arahkan pada pengertian agama," kata Ading Affandi, yang juga penulis skenario. Kalangan TVRI mengakui bahwa Ketupat Lebaran tahun ini ada kemajuan. Namun, belum juga memuaskan. Masalah yang dihadapi TVRI adalah sulitnya mencari penulis dan penggarap Ketupat Lebaran yang mengerti musik sekaligus bisa menyampaikan cerita yang menyentuh nilai-nilai agama. Tidak ada yang mau atau masih jarang yang mampu menulis naskah operet," kata Djuha Irawadi, Kepala Seksi Produksi Siaran Musik TVRI. "Yang utama harus ada spirit religius," ucap Suwanto Suwandi, Kepala Bidang Perencanaan TVRI. Tak jadi soal siapa yang akan menulis maupun menggarapnya. Ketika Harry Roesli menyerahkan script dua bulan lalu, TVRI langsung menerimanya. "Ia mampu memberikan napas segar. Musiknya tidak spektakuler, tapi menarik." tutur Suwanto Suwandi. Tidak berat dan malah cenderung mengarah kepada musik pop. Pop versi Harry, tentu saja. Musik itu, sebagaimaaa lazimnya operet, merupakan sajian utama di samping permainan kata dan gerak. Di sinilah peran Harry Roesli dengan kelompoknya menonjol. Musik pop yang penuh warna-warni, lincah, dan dinamis. Ada irama rock, jazz, dangdut, kasidah, sampai suara-suara alam. Harry memanfaatkan teknologi canggih dengan menggunakan musik komputer atau apa yang sekarang populer disebut MIDI. Pengambilan gambar di lapangan inilah operet Lebaran yang seluruh shooting-nya dilakukan di alam terbuka menjadi tidak mudah. Karena ia melibatkan sekitar seribu orang warga Desa Gasol, Kabupaten Cianjur, yang belum pernah berkenalan dengan kamera, selain ada 100 anggota Patria dan bintang-bintang tamu. Pekerjaan yang tidak mudah itu menjadi lancar karena cerita tak asing dengan kehidupan sehari-hari warga Desa Gasol. "Kami memang ingin menampilkan kebiasaan orang desa di bulan-bulan Ramadan," kata Aat Soeratin, yang menjadi pengatur laku operet itu. "Operet ini kami sajikan secara semikolosal," kata Ading Affandi. Pengarah Acara Yudhi D.H. mengaku tak mendapat kesulitan apa-apa menghadapi warga desa itu. "Sebab, peran yang mereka mainkan memang kejadian sehari-hari yang tidak terlalu asing dalam kehidupan mereka," kata Yudhi. Paket Minal Aidin yang diberi judul Kebeningan Selepas Ramadhan ini, kata Yudhi, boleh dibilang tidak mempunyai alur cerita yang baku. "Ini hanya sebuah sketsa tentang berbagai peristiwa selama puasa hingga Lebaran di sebuah desa," ujarnya lagi. Toh ada misi. "Dengan Idulfitri, kita kembali kepada kesucian," kata pengarah acara yang baru pertama kalinya menggarap Ketupat Lebaran ini. Kesucian itu tak cuma dalam hal rohani, juga dalam adegan yang "nyata", seperti mencuci pakaian, menyapu, mandi, membasuh muka. Humor juga muncul sebagai selingan. Misalnya ketika Abah Us-Us menyambut kedatangan dua anaknya (Engkus dan Uyan) yang baru pulan dari kota. Ia mengumpulkan penduduk desa di rumahnya. Sebagai orang terpandang di desanya, ia "wajib" berpidato. "Pidato yang bergengsi harus pakai teks. Maka, Abah juga pakai teks," ujar si Abah. Ketika si anak datang lengkap dengan beberapa pengiring dan grup rebana beraksi, Abah masih terus pidato. Bersamaan dengan pulangnya Engkus dan Uyan, mudik pula Rika dan Corry. Kedua cewek ini tadinya mau mengadu nasib ke kota. Namun, karena sulit mendapat pekerjaan, mereka terjebak jadi pelacur. Di hari Lebaran, Rika (Tri Utami) dan Corry (Atiek C.B.) sungkem ke orangtuanya. Bahwa, begitu yang mau disampaikan, seorang pelacur pun perlu minta maaf pada orangtuanya. Juga bertobat. Di sini sentuhan nilai-nilai tentang agama mengental. Corry pun digambarkan sadar dan jadi orang baik-baik kembali. Namun, tak semudah itu mengubah perilaku seseorang. Rika dilukiskan tetap saja slebor. Itulah misi yang lain dari operet yang disiarkan Minggu malam (7 Mei), yakni godaan hidup lebih banyak di kota. Padahal, desa menjanjikan kehidupan yang tenteram. Untuk apa menyerbu kota? Biaya operet ini tergolong murah, hanya Rp 20 juta. Biaya itu separuh kurang dari anggaran operet tahun lalu. Yang segera membedakan dengan operet-operet tahun lalu, kali ini kehidupan desa benar-benar apa adanya, bukan melihat desa dengan kaca mata orang kota. Tak ada kegenitan orang kota yang datang ke desa, misalnya, menyumbang ini itu. Paket Lebaran ini adalah "dari desa untuk tontonan orang kota, bukan lagi orang desa menonton cerita orang kota," seperti yang dikatakan Aat Soeratin.Yusroni Henridewanto, Tri Budianto Soekarno, Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini