Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekad Juwono Sudarsono sudah bulat. Perkara korupsi yang melibatkan tentara aktif diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kamis dua pekan lalu, dari kantornya di Jalan Merdeka Barat, Menteri Juwono meluncur ke kantor komisi itu di Jalan Veteran, Jakarta. Sejumlah petinggi Departemen Pertahanan ikut menemani Pak Menteri yang kalem ini.
Dua setengah jam di situ, petinggi dua lembaga itu berbicara soal reformasi birokrasi. Juga, ”Kemungkinan KPK menyelidiki kasus korupsi militer aktif setelah ada laporan Badan Pemeriksa Keuangan,” kata Brigadir Jenderal Edy Butar Butar, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan. Dalam waktu dekat, dua lembaga ini meneken nota kesepahaman (MoU).
Selama ini memang banyak kasus korupsi yang melibatkan tentara aktif. Karena masih berdinas, mereka diadili oleh oditur militer. Mereka paling banter diseret ke pengadilan koneksitas jika korupsi itu hasil persekutuan orang sipil dan militer. Banyak yang diusut, tapi banyak pula yang rontok. Umumnya kasus mereka ditutup dengan keluarnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) lantaran miskin barang bukti.
Beberapa kasus kini tengah diproses. Dugaan korupsi penggunaan dana Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), misalnya, sedang diselidiki pengadilan koneksitas. Kasus ini bermula pada 1996, saat direktur utama perusahaan itu dijabat Mayor Jenderal Subarda Midjaja.
Suatu saat, seorang pengusaha bernama Henry Leo menawarkan kerja sama guna membiakkan uang ASABRI. Menurut Subarda, Henry mengaku punya kenalan di Bank Negara Indonesia (BNI) yang bisa memberikan bunga tinggi seperti bank swasta. Uang bisa disimpan di bank pemerintah dengan suku bunga bank swasta. Menggiurkan memang. Duit para prajurit itu lalu dibenamkan di BNI dalam deposito berjangka. Jumlahnya Rp 410 miliar.
Setahun pertama, proyek pembiakan berlangsung sukses. Bunga terus mengalir ke saku ASABRI. Tahun kedua, jenis simpanan dipindahkan ke deposito biasa. Panen bunga masih berlanjut. Tahun ketiga, setoran bunga itu mulai seret. Subarda mengaku terkejut karena Henry membenamkan duit itu ke sejumlah usaha.
Sayangnya, usaha itu macet. Dan duit segunung itu terancam pupus. Pada 1997, Subarda dicopot dari kursi direktur utama dan diperiksa Departemen Pertahanan. Dua tahun kemudian, kasus ini dilimpahkan ke polisi. Meski sudah lima tahun kasus ini diselidiki, bukti korupsi tidak kunjung ditemukan. Lalu, pada 2004, keluar surat keputusan penghentian penyidikan. Kasus ini pun ditutup.
Tapi itu cuma sementara. Maret 2006, kasus ini hidup kembali. Kali ini yang meniupnya adalah Ade Daud Nasution, anggota Komisi Pertahanan di Senayan. Ade mempertanyakan kelanjutan penyidikan kasus ini. Awal Agustus 2006, Departemen Pertahanan melimpahkan persoalan ini ke Pusat Polisi Militer Angkatan Darat. Dari sana, kasus ini disetor ke tim koneksitas.
Bulan lalu, kejaksaan menetapkan dua tersangka yang oleh kejaksaan hanya disebut inisialnya. ”Mereka adalah HL dan SM. Tidak tertutup kemungkinan bertambah,” kata M. Salim, Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Dua nama yang cocok dengan inisial itu adalah Henry Leo dan Subarda Midjaja. Tim penyidik koneksitas juga terdiri atas dua orang perwira purnawirawan. Kamis pekan lalu, mantan Kepala Cabang BNI Jakarta Kota, Togar Hutapea, diperiksa sebagai saksi.
Walau surat penetapan tersangka sudah diterbitkan bulan lalu, Henry Leo belum menerimanya. ”Surat penetapan tersangka itu belum kami terima,” kata Yuli, istri Henry. Dia juga meminta kerugian Rp 410 miliar itu diaudit lembaga independen. Soalnya, keluarga, kata dia, sudah menyerahkan uang Rp 150 miliar dan 57 aset.
Yuli mengaku pernah meminta penggunaan auditor independen untuk menghitung jumlah kerugian. Tapi dia menambahkan, ”Sampai sekarang, mereka belum bisa masuk mengaudit.”
Subarda kini sudah purnawirawan. Dalam wawancara dengan Koran Tempo beberapa waktu lalu, Subarda memastikan pengelolaan dana itu semata-mata untuk kepentingan prajurit. Dia bilang, ”Sasaran kami setiap tahun 10 ribu rumah.”
Kasus yang juga melibatkan sejumlah tentara aktif adalah dugaan korupsi helikopter Mi-17. Perkara bermula dari rencana pembelian empat helikopter Mi-17 oleh Departemen Pertahanan pada April 2002. Dana diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pelaksana proyek dicari dengan cara lelang yang digelar 26 April 2002.
Lelang dimenangi PT Putra Pobiagam, perusahaan yang sudah biasa berbisnis peralatan militer. Proyek ini tidak mulus karena Rosoboron Export, sebagai penyedia dari Rusia, mempersoalkan bank guarantee. Datanglah seorang pelaku bisnis peralatan militer membawa Swifth Air Industrial Supply, yang bisa memberikan bank guarantee itu. Tapi proyek tetap kandas, padahal uang muka sudah meluncur. Kerugian negara ditaksir sekitar Rp 29 miliar.
Karena melibatkan tentara aktif, kasus ini ditangani tim koneksitas. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Sidang kasus ini sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Musyaman Faried, jaksa penuntut umum kasus ini, menilai pembayaran uang muka itu, ”Tidak seusai dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 dan surat keputusan Menteri Pertahanan.”
Ada yang disidangkan, ada pula yang dikuburkan karena miskin barang bukti. Lihatlah kasus dugaan korupsi technical assistance contract (TAC) yang melibatkan Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas. Proyek ini digelar untuk mengelola lapangan minyak di Pendopo, Prabumulih, Bunyi, dan Jatibarang, Jawa Barat. Kerugian negara diperkirakan US$ 23 juta.
Faisal Abda’oe (mantan Direktur Utama Pertamina, kini sudah almarhum), Praptono Hanggopati (Direktur Utama Ustraindo), dan Ginandjar Kartasasmita (saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah) ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini diadili pengadilan koneksitas karena, saat proyek itu digarap, Ginandjar adalah tentara aktif. Tapi, Oktober 2004, kejaksaan menerbitkan SP3. Alasannya, miskin barang bukti.
Beberapa pekan setelah menjabat jaksa agung, Abdul Rahman Saleh berjanji membuka kembali kasus yang disetop, termasuk TAC. Juli 2005, kejaksaan membentuk tim pembaruan hukum yang bertugas memberikan pendapat pembanding terhadap kasus ini. Tapi, hingga kini, kasus ini belum ada kemajuan.
Kasus paling anyar yang melibatkan tentara aktif adalah dugaan korupsi pengadaan 16 helikopter Angkatan Laut Mi-2. Proyek senilai Rp 100 miliar itu dilakukan sejak 2002, tapi baru mencuat saat rapat dengar pendapat Angkatan Laut dengan Komisi Pertahanan di badan legislatif akhir Maret lalu.
Belum ada tersangka memang. Tapi Juwono Sudarsono memastikan kasus ini akan diselesaikan lewat jalur hukum. Cuma, Pak Menteri lebih sreg jika kasus ini diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Saya lebih memilih KPK yang menangani kasus ini, biar lebih cepat dan jelas,” katanya dua pekan lalu. Selain lebih cepat, KPK tidak mengenal SP3. Artinya, semua kasus yang diselidiki masuk meja hijau.
Sejumlah wakil rakyat di Senayan juga mendukung Juwono. ”Kalau hambatannya anggota militer aktif, paling hanya satu-dua orang. Sisanya sudah purnawirawan,” kata anggota Komisi Pertahanan, Djoko Susilo.
Sayangnya, terobosan dari Merdeka Barat, tempat Juwono berkantor, ini tampaknya sulit terlaksana. Sebab, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menutup pintu keterlibatan lembaga itu mengusut korupsi tentara aktif.
Setitik peluang tercantum di pasal 41. Di sana disebutkan bahwa komisi itu boleh bekerja sama dengan lembaga hukum lain. Tapi wewenang itu sekadar pembuka jalan saja. Komisi itu, misalnya, pernah melakukan penyidikan pengadaan rumah anggota TNI. Kasus ini kemudian ditangani Kejaksaan Agung. Kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., ”Yang punya wewenang dalam peradilan koneksitas adalah Kejaksaan Agung, bukan kami.”
Wenseslaus Manggut, Raden Rachmadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo