Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Di Bandung, Rindu itu Terbayar

Scorpions akhirnya naik panggung juga di Indonesia. Musiknya yang usang masih belum kehilangan penggemar.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kota Bandung akhir pekan lalu dibuat heboh oleh kedatangan pasukan "kalajengking". Namun, tak ada wajah ketakutan. Sebaliknya, senyum puas bertaburan menyambut tamu istimewa yang tak lain adalah grup rock Scorpions asal Jerman. Sekalipun sudah beberapa kali datang ke Indonesia, baru pada Minggu malam kemarinl kelompok legendaris ini benar-benar menggelar pertunjukan. Alhasil, rindu sekian tahun menyaksikan aksi langsung Scorpions pun terbayar tuntas. Formasi yang tampil malam itu adalah Klaus Meine (53 tahun, vokal), Rudolf Schenker (53 tahun, gitar), Mathias Jabs (45 tahun, gitar), Ralph Rieckermann (39 tahun, gitar bas), dan James Kottak (39 tahun, drum). Pentas di Kota Kembang tersebut merupakan rangkaian tur promosi album terakhir Scorpions, Acoustica, di Asia. Sesuai dengan namanya, album ini berisi tembang-tembang yang dibawakan dengan alat-alat musik akustik. Maka, apa boleh buat, raungan gitar elektrik, yang sebetulnya merupakan salah satu merek dagang grup ini, tak bisa ditemui dalam pergelaran mereka. Melalui Acoustica pula, Scorpions untuk pertama kalinya membawakan lagu karya musisi lain, seperti Love of My Life dari Queen. Harga tiket sebetulnya lumayan mahal untuk ukuran Bandung—dari Rp 150 ribu hingga Rp 350 ribu. Namun, gedung pertunjukan yang berkapasitas 5.000 orang ini terlihat penuh. Menurut promotor Tommy Pratama, penonton yang dibidiknya memang kalangan eksekutif muda, yang mestinya tak merasa terlalu berat merogoh kocek dalam jumlah tersebut. Penggemar Scorpions memang mayoritas berada dalam posisi yang mapan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kepopuleran grup ini sudah dimulai sekitar 20 tahun lalu. Penggemar yang kini berusia 30-40 tahun tumbuh dengan mengakrabi lagu macam Always Somewhere, Holiday, In Trance, When the Smoke Is Going Down, Still Loving You, ataupun Wind of Change. Bisa dibilang, penggemar di Indonesia lebih kenal lagu lama Scorpions ketimbang lagu baru mereka. Bukti nyata, album-album kompilasi mereka yang diedarkan perusahaan EMI lebih diburu. Album Millennium Collection laku 105 ribu keping, sementara Gold Collection menembus 250 ribu keping. Padahal, materi dua album ini kurang-lebih sama. Apa sebetulnya yang membuat Scorpions punya tempat khusus di sini? Pengamat musik Denny M.R. menilai, kekuatan grup ini terletak pada kemampuannya melahirkan lagu-lagu balada yang bagus untuk tiap album. Lebih istimewa lagi, progresi chord lagu-lagu ini sangat mirip dengan lagu Indonesia. "Coba ganti lirik lagu Scorpions dengan bahasa Indonesia, pasti hasilnya tetap enak di kuping," kata Denny. Hanya, karya-karya terakhir mereka dinilai Denny tak lagi menggigit. Ia menunjuk faktor usia sebagai penyebab utama. Scorpions memang sudah gaek. Cikal-bakal grup ini dimulai pada tahun 1965 di Hanover, Jerman. Semula, Rudolf Schenker dan Klaus Meine, yang saat itu masih remaja, gandrung berat pada Elvis Presley dan The Beatles. Namun, setelah mendengarkan The Yardbirds dan Spooky Tooth (kelompok musik yang turut memelopori aliran hard rock), yang banyak menampilkan kocokan gitar kasar, mereka yakin jenis musik ini yang ingin mereka mainkan. Ikut bergabung dalam formasi ini, Michael Schenker, yang merupakan adik Rudolf. Scorpions perlu waktu tujuh tahun sebelum merilis debut album mereka, Lonesome Crow, pada tahun 1972. Formasi Scorpions selanjutnya berganti-ganti, dengan dua pilar utama Rudolf dan Klaus. Grup ini baru bisa menembus pasar Amerika Utara lewat album Animal Magnetism dengan lagu hit Lady Starlight, yang beredar pada tahun 1980. Puncak ketenaran diraih lewat album Love at First Sting (1984), yang berisi lagu-lagu keren seperti Rock You Like a Hurricane dan Still Loving You. Album yang terjual jutaan kopi ini mengukuhkan status mereka sebagai superstar. Hit terbesar Scorpions tercetak lewat lagu Wind of Change dalam album Crazy World, yang bercerita tentang perubahan politik di Uni Soviet ketika itu. Maraknya gelombang grunge (antara lain dimainkan kelompok Nirvana, Pearl Jam), yang berasal dari Seattle, Amerika Serikat, pada awal 1990-an, membuat musik "para kalajengking" tiba-tiba terdengar usang. Tapi Scorpions mencoba bertahan dengan membuat lagu-lagu yang lebih ngepop untuk meraih pasar dari kalangan lebih muda. Akibatnya? Musik dari album-album terbaru mereka terdengar terlalu encer. Tak mengherankan jika mereka masih saja mengandalkan nomor-nomor lama di saat naik panggung. Di Bandung, keusangan itu terbukti masih saja diminati penonton. Dan rindu mereka pada sengatan manis kalajengking tua ini terbayar sudah. Yusi A. Pareanom dan Bambang Soed

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus