Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Horas, Dewa ’Underground’ Datang, Bah!

Penonton dari negara tetangga ikut mengalir ke Medan untuk menyaksikan atraksi Megadeth yang memikat.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Horas Indonesia! Sudah lama kita tunggu untuk tampil di Medan, ujar Dave Mustaine dalam bahasa Indonesia terbata-bata. Sepuluh ribu penonton di Stadion Teladan Medan sontak tersenyum mendengar salam vokalis merangkap gitaris grup metal Megadeth asal Amerika Serikat ini. Keakraban berlanjut saat Mustaine mengacungkan jari tengah sembari meneriakkan maki-makian dalam "bahasa Amerika". Penonton berjingkrakan dan menirukan makian-makian itu dengan gembira. Lalu musik pun meluncur.... Nomor pembuka langsung menyengat penonton. Digawangi Mustaine, David Ellefson (gitar bas), Jimmy de Graso (drum), dan Al Pitrelli (gitar ritem) Megadeth tak mau lama berbasa-basi. Lagu demi lagu mereka nyanyikan dengan gaya panggung ganas namun sedap dipandang. Terbakar oleh histeria, mereka yang berdiri dekat panggung merangsek maju merebut tempat para juru foto. Pada lagu keempat, berliter air disemburkan untuk mengurangi gerah. Toh kegerahan tak berkurang karena selama dua jam berikutnya, goyang head-bang atawa menganggukkan kepala dengan liar nyaris tak berhenti. Di tengah pertunjukan, sekitar seribu penonton tanpa tiket menyerbu masuk. Mereka adalah penggemar berat yang berkantong cekak. Untuk ukuran Medan, tiket seharga Rp 35 ribu sampai Rp 50 ribu lumayan tinggi. Namun, penonton gratisan ini menyumbang kesemarakan dengan kor mereka mengiringi lengkingan Mustaine. Sebelum memungkasi pertunjukan, Megadeth me-lakukan aksi standar: pura-pura pamit sebelum membawakan nomor encore. Usai tembang penutup Holly War, stadion jadi terang benderang oleh penyulutan kembang api. Mustaine meninggalkan panggung dengan melempar pemetik gitarnya yang langsung jadi rebutan penonton. Pertunjukan pada Selasa pekan lalu itu adalah bagian dari tur promosi album ter-baru Megadeth, The World Needs A Hero. Untuk konser di Medan, mereka mengusung juga lagu lama dari sebelas album terdahulu. Nomor macam Hangar 18, Angry Again, Tornado of Soul, dan Symphony of Destruction dibawakan nyaris tanpa cacat. Cheo, pria 40 tahun asal Malaysia yang khusus datang ke Medan untuk menonton Megadeth, mengaku amat puas. "Beruntung saye bisa tengok acara akbar ini, karena kerajaan (negara Malaysia) tak beri lisen (izin) Megadeth main di sana," katanya. Kefanatikan Cheo juga terlihat dengan entengnya ia membeli kaus bergambar grup pujaannya seharga Rp 700 ribu sebagai suvenir. Yang datang meluruk bukanlah Cheo seorang. Ratusan penonton mengalir dari Malaysia dan Singapura—serta Jakarta—untuk menikmati atraksi Megadeth di Medan. Memang, Medan kurang lazim sebagai ajang pertunjukan. Namun, pilihan ini di-sengaja karena suhu politik Jakarta yang kurang menguntungkan bagi pertunjukan senilai Rp 700 juta itu. "Kami tidak mengurus politik, bagi kami yang penting adalah bermain musik yang mengalir seperti air," kata Mustaine. Kata-kata pentolan grup cadas ini tak berlebihan. Sejak lahir pada 1983, grup ini terus berkarya. Hebatnya, mereka setia pada jalur thrash metal. Hal ini membuat Megadeth jadi se-macam dewa dan panutan di kalangan pecinta musik underground. (terutama di Amerika). Grup lain seangkatan mereka praktis tak ada lagi. Metallica, tempat Mustaine pernah bergabung sebelum dipecat karena masalah obat terlarang, yang juga dianggap lokomotif aliran ini, dinilai telah "berkhianat" sejak meluncurkan Black Album yang condong ke mainstream hard rock. Adapun grup lain macam Pantera ataupun Venom tak lagi terdengar namanya. Menurut pengamat musik Denny M.R., kekuatan Megadeth memang terletak pada konsistensi mereka. Selain itu, teknik permainan dan kualitas rekaman pun kian istimewa. Ia mencontohkan permainan gitar duet gitaris Megadeth yang galak tapi rapi. Namun, konsistensi ini membawa risiko yang tak kalah besar. "Secara artistik, praktis Megadeth tak berkembang," kata Denny. Lebih parah lagi, teriakan protes dalam lirik lagu mereka saat ini dinilai Denny tak lagi jujur seperti dulu. Pilihan untuk bertahan di jalur thrash (sebetulnya album-album terakhir sudah mulai masuk speed metal yang lebih "manis") juga membawa risiko komersial. Album-album Megadeth tak pernah benar-benar meledak. Di Indonesia, misalnya, tiap album mereka tak pernah laku lebih dari 20 ribu keping. Bagi Wiwid Sutanto dari EMI Music Indonesia—distributor album Megadeth—angka ini adalah titik impas. Alhasil, kendati amat loyal, jumlah fans mereka terbatas. Tapi, buat sang "dewa", jumlah boleh jadi tak terlalu penting selama masih ada penggemar yang terus bersetia pada musik Megadeth. Yusi A. Pareanom, Arif A. Kuswardono, Bambang Soed (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus