SIDANG Istimewa MPR yang dipercepat dan melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid memang sudah usai. Namun, peristiwa bersejarah itu masih menyisakan beberapa masalah tata negara. Yang pertama, soal belum tercantumnya Sidang Istimewa MPR dan impeachment (pemecatan) presiden dalam konstitusi (UUD 1945).
Masalah lainnya adalah kedudukan anggota DPR/MPR yang sudah dipecat partainya. Dalam hal ini ada Matori Abdul Djalil, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan tiga rekannya sesama unsur PKB. Lantas ada dua anggota Partai Bulan Bintang (PBB), Hartono Mardjono dan Abdul Qadir Djaelani, yang sudah dipecat dari keanggotaan PBB di DPR sejak Februari 2001.
Matori dan tiga rekannya dipecat karena dituding membelot dari PKB, yang pro-Presiden Abdurrahman dan tak mengakui Sidang Istimewa MPR. Adapun Hartono dan Djaelani, yang mendirikan PBB versi mereka, telah bertikai dengan PBB kubu Yusril Ihza Mahendra.
Lucunya, pada Sidang Istimewa MPR, mereka yang dipecat oleh partainya dari kedudukan sebagai anggota DPR/MPR ternyata tetap mengikuti sidang MPR dengan bergabung dalam kelompok nonfraksi. Di satuan nonfraksi ini masuk pula Hussein Naro. Dengan posisi itu, mereka ikut voting untuk memecat Presiden.
Keruan saja posisi dan peran mereka dipersoalkan. Apalagi dengan posisi Matori yang Wakil Ketua MPR, sebagaimana dipertanyakan antara lain oleh Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional. Mereka ada di DPR dan ikut sidang MPR sesungguhnya sebagai apa dan mewakili siapa.
Tapi Matori punya alasan. Ia, katanya, hadir atas nama pimpinan MPR. Sebagai anggota Fraksi PKB, ia memang menyatakan tak hadir. "Pimpinan MPR dan para anggota MPR bisa menerima posisi saya. Jadi, pada saat sidang dan voting, PKB tetap dianggap tak hadir,'' kata Matori.
Alwi Shihab, Ketua Umum PKB setelah Matori dicopot dari jabatan Ketua Umum PKB, tak bisa menerima alasan Matori. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Tata Tertib MPR dalam Ketetapan MPR Nomor 2 Tahun 1999, setiap anggota MPR wajib tergabung dalam salah satu fraksi di MPR.
Buat Effendi Choirie, salah seorang pengurus PKB, Matori mewakili dirinya sendiri sebagai pendukung Megawati Sukarnoputri, wakil presiden yang akhirnya menjadi presiden setelah MPR memberhentikan Presiden Abdurrahman.
Agaknya, simpang pendapat tentang legalitas lima anggota DPR/MPR itu lantaran tiadanya ketentuan recalling (pemecatan ataupun penarikan kembali) anggota DPR. Dulu, semasa Orde Baru, recalling menjadi senjata ampuh bagi rezim Soeharto untuk membungkam wakil rakyat yang kritis.
Namun, Undang-Undang (UU) Partai Politik dan UU DPR Tahun 1999 menghapus lembaga recalling. Sekarang, anggota DPR hanya bisa dipecat bila antara lain mengundurkan diri, menjadi pejabat pemerintah, berbisnis dengan dana dari APBN, atau melanggar sumpah jabatan.
Jadi, mereka tetap anggota DPR/MPR, meski tak berpartai? Menurut Sahar L. Hasan, Wakil Ketua Umum PBB kubu Yusril, mereka bisa menjadi anggota DPR karena mewakili partai politik. Kalau mereka dipecat oleh partainya, berarti mereka tak bisa ditempatkan lagi di DPR. Karena itu, "Hartono dan Djaelani otomatis harus keluar dari Senayan (DPR),'' ujar Sahar.
Hal senada juga diutarakan Alwi Shihab terhadap Matori dan tiga rekannya. Namun, Alwi memilih jalan hukum melalui pengunduran diri. "Secara moral, mereka harus mengundurkan diri dari DPR/MPR," kata Menteri Luar Negeri demisioner itu.
Terlepas dari soal internal PKB dan PBB untuk menyelesaikan sengketa anggotanya itu, yang jelas masalah hukum lima anggota DPR itu amat serius bagi perkembangan sistem perwakilan rakyat. Bila recalling tiada, sebagaimana dikatakan ahli hukum tata negara Harun Alrasid, yang juga penasihat hukum Presiden Abdurrahman, parlemen bisa menjadi kekuatan tirani untuk kepentingan politik sesaat terhadap eksekutif (presiden). Tapi, kalau ada recalling, lembaga ini bisa dimanipulasi eksekutif lewat partai politik.
Menurut seorang anggota tim perancang perubahan undang-undang politik, Djohermansyah Djohan, mestinya recalling ada. Caranya, melalui pengaduan dari DPR, partai politik, dan masyarakat ke Badan Kehormatan DPR sebagai lembaga pengujinya. Tentu, pemberhentian anggota DPR nantinya tetap dengan keputusan presiden selaku kepala negara.
Hps., Ahmad Taufik, Gita Widya Laksmini, dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini