Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Empat Nyawa Melayang, Pendakian Carstensz Perlu Regulasi Ketat

Sepanjang 7 bulan, ada empat pendaki meninggal di dalam pendakian Carstensz di Papua. Dua pendaki sebelumnya dari Surabaya dan Cina.

2 Maret 2025 | 18.16 WIB

Puncak Carstensz Pyramid pada 2015. Foto: Istimewa
Perbesar
Puncak Carstensz Pyramid pada 2015. Foto: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi di puncak Carstensz, Papua, menarik perhatian para pendaki Indonesia. Peristiwa tragis ini menelan nyawa dua pendaki, Lilie Wijayati Poegiono dan Elsa Laksono. Keduanya diduga terserang hipotermia pada 1 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendaki gunung, Robertus Robet, mengatakan sangat penting membuat aturan yang ketat perihal pendakian gunung dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu. "Perlu regulasi pendakian di Carstensz," kata Robertus saat dihubungi Tempo, Ahad, 2 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Bidang Panjat Tebing Alam dan Rekreasi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) ini, mengatakan, regulasi sangat penting bagi operator yang menangani pendakian ke Carstensz Pyramid. Alasannya, sejak September 2024-Maret 2025, sudah ada empat pendaki yang tewas di gunung ini. 

Sebelumnya, pendaki asal Surabaya berinisial HT, 60 tahun, meninggal dunia saat perjalanan turun dalam pendakian puncak Carstensz pada 23 September 2024. Di tahun yang sama pendaki asal Cina, LDF, dinyatakan meninggal setelah jatuh dari tebing. Ia meninggal pada 16 Oktober 2024. Korban lain adalah Lilie dan Elsa. "Nah, kenapa sampai ada yang meninggal ini?" ujarnya.

Dugaan Penyebab Kematian 

Robertus mengatakan, jika dilihat dari dua korban terbaru, penyebab itu diduga karena cuaca buruk dan serangan hipotermia. Ia menyatakan berduka cita atas peristiwa ini. Namun, secara rasional dan objektif perlu mencari cara bagaimana mencegah kematian pendaki terus berulang.

Menurut dia, saat pendakian puncak Carstensz dibuka seperti saat ini, akan banyak orang mendaki. Sebab itu, perlu ada regulasi dalam memitigasi keamanan dan keselamatan pendaki. "Tidak ada gunung tanpa risiko, setinggi apa pun gunung itu," kata dosen yang pernah mendaki Gunung Everest dan berhenti di Everest Base Camp, pada 2019.

Menurut dia, dari informasi yang beredar, sehari tiba di Lembah Kuning, keesokan harinya tim Lilie dan Elsa langsung berjalan menuju puncak. "Jadi mereka hanya aklimatisasi kurang dari satu hari," ucap Robertus.

Aklimatisasi Tidak Boleh Dikurangi

Robertus menjelaskan, bagi pendaki profesional dan berpengalaman—dan sebelumnya melakukan aklimatisasi yang cukup—metode aklimatisasi dalam sehari bisa cukup. "Tapi bagi pendaki amatir atau yang baru mencoba pendakian, itu sangat riskan dan berbahaya," katanya.

Dia mengatakan, aklimatisasi tidak boleh dikurangi dengan alasan apa pun. Operator pendakian gunung kerap tidak memerhatikan proses aklimatisasi yang cukup sebagai bagian dari aspek keamanan. "Nah, ini kerap membuat pendakian itu berisiko," katanya.

Sebab itu, prosedur pendakian semacam aklimatisasi ini perlu diperhatikan dan ditetapkan. Untuk menetapkan prosedur ketat demi keselamatan tim dalam pendakian, kata Robertus, membutuhkan regulasi dari pemangku kepentingan maupun pemegang permit pendakian Carstensz. "Itu harus dilakukan," ujarnya.

Rujukan Membuat Regulasi Pendakian 

Menurut Robertus, pemangku kepentingan bisa membuat regulasi pendakian dengan merujuk pada aturan Federasi Panjat Tebing dan Pendakian Gunung Internasional (UIAA). Federasi ini berdiri pada 1932 dengan tujuan mempromosikan dan melindungi minat pendakian gunung dan panjat tebing di seluruh dunia. UIAA mewakili lebih dari 90 asosiasi dan federasi anggota di 68 negara.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta itu mengatakan, UIAA sudah mencantol berbagai aturan pendakian dan keselamatan. Mulai dari urusan tenda, tali-temali, hingga medis, telah dirinci dengan jelas. "Nah, semua itu harus diaplikasikan," ucap Robertus, yang pernah melakukan ekspedisi Gunung Yala Peak di daerah Langtang, Nepal.

Berikutnya, Robertus mengatakan pemegang otoritas Carstensz dapat bekerja sama dengan Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) untuk menyusun regulasi dan menetapkan standar keselamatan. "Bahkan FPTI bisa membantu pelatihan safety seperti apa," ujarnya.

Kerja sama ini bertujuan membangun keseragaman dalam semangat pendakian gunung disertai keamanan dan keselamatan. Hal itu bisa membuat industri wisata pendakian Carstensz ke depan semakin bagus. "Orang yang mendaki gunung ingin mendapatkan kegembiraan," tutur Robertus.

Pendakian Berisiko Tinggi

Pendaki gunung Indonesia, Laksmi Prasvita, merespons kabar meninggalnya Lilie dan Elsa dalam perjalanan turun dari pendakian Carstensz. Ia menyatakan sedih kehilangan teman pendaki yang segenerasi.

"Mendaki gunung bukan sekadar berjalan-jalan, tetapi aktivitas berisiko tinggi," kata Ketua Zero Sixers Trekking Club itu kepada Tempo, Ahad dinihari, 2 Maret 2025. Zero Sixers adalah komunitas pendaki gunung alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Menurut Laksmi, semua pihak—pendaki, operator pendakian, guide, dan petugas taman nasional—bertanggung jawab atas keselamatan. Hal itu bisa dilakukan dengan disiplin dalam penilaian risiko, seperti mengcek cuaca, perlengkapan, kesiapan fisik, dan rencana pendakian. Jika kondisi memburuk, kata dia, jangan ragu untuk segera turun.

"Keselamatan adalah prioritas utama, karena nyawa tak tergantikan, sementara gunung selalu menunggu," kata perempuan 56 tahun yang 30 kali mendaki gunung di Indonesia dan Kilimanjaro, itu.

Carstensz yang, juga dikenal sebagai Puncak Jaya, berada di Pegunungan Jayawijaya, Papua. Gunung ini merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan masuk dalam World Seven Summits. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus