Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Festival Payung Indonesia kembali digelar di Surakarta, Jawa Tengah, pada 6-8 September 2024.
Menampilkan payung karya lebih dari 1.400 seniman dari berbagai daerah di Indonesia.
Memadukan payung dengan kain tradisional atau catra dengan wastra.
ARAK-ARAKAN awan putih di langit biru menambah semarak Taman Balekambang Surakarta, Jawa Tengah, pada Jumat petang, 6 September 2024. Taman yang dibangun pada 1921 oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII itu menjelma bustan seribu payung seiring dengan berlangsungnya Festival Payung Indonesia pada 6-8 September 2024. Pergelaran itu diramaikan 1.450 seniman dari 35 kabupaten/kota se-Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pergelaran tahunan yang berlangsung sejak 2014 itu, sejumlah payung yang terbuat dari wastra Nusantara mencuri perhatian pengunjung, dari batik, lurik, tenun, hingga sulam dan rajut. Setiap payung itu merupakan perwujudan dua produk kerajinan, yakni catra atau payung serta wastra atau kain tradisional. Keduanya senada dengan tema Festival Payung Indonesia 2024, yakni "Catra Wastra".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Festival Payung Indonesia Heru Mataya, perpaduan catra dengan wastra sudah melekat di beberapa daerah. Heru berharap perajin di daerah lain bisa mengikutinya. Ia yakin perpaduan catra dengan wastra dapat meningkatkan pendapatan para perajin payung. "Karena apa? Kerangkanya sudah ada di para perajin itu, lalu dipadukan dengan ragam wastra. Kita jadi membangun pasar baru," katanya kepada Tempo pada Sabtu, 7 September 2024.
Dulu pemakaian motif atau corak wastra tertentu, seperti batik dan tenun, memiliki pakem khusus yang tidak boleh dilanggar. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, wastra Nusantara banyak mengalami transformasi.
Aprilia, perajin batik Gunawan asal Solo yang tampil dalam Festival Payung Indonesia, mengatakan para perajin kini kian bebas memanfaatkan wastra untuk berkreasi. Untuk membuat payung, mereka biasa memodifikasi dan menggabungkan sejumlah motif batik yang biasa digunakan untuk busana. "Tidak ada pakem batik tertentu," ujarnya di lokasi festival.
Dulu ada banyak aturan soal penggunaan batik. Motif tertentu hanya bisa dipakai kalangan tertentu. Contohnya, motif parang hanya digunakan para raja dan keluarganya dalam acara adat tertentu. "Seiring dengan perkembangan zaman, semua orang boleh pakai, asalkan bukan untuk fungsi yang mistik," ucap Aprilia. Kini motif parang mudah ditemui pada payung-payung tradisi, termasuk yang dipamerkan dalam Festival Payung Indonesia 2024. Pantangan penggunaan motif parang hanya berlaku saat masyarakat awam datang ke keraton.
Kain tenun juga kian terbebas dari pantangan dalam pemakaiannya. Kalaupun ada, menurut perajin tenun Nusa Amin, hanya segelintir. Misalnya, di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, ada kain tenun tertentu yang hanya boleh dikenakan saat seserahan pernikahan.
(arah jarum jam) Tenun Goyor Jombang, Batik dan sulam dari Komunitas Sulam Nusantara 2, Batik Gunawan Solo, Batik dan sulam dari Komunitas Sulam Nusantara. TEMPO/Ecka Paramitha
Nusa Amin adalah perajin dari Jombang, Jawa Timur, dengan ciri khas tenun yang terbuat dari benang rayon—lebih dikenal dengan goyor. Wastra itu dipadukan dengan kain batik untuk membuat payung tradisi dan menjadi busana siap pakai (ready to wear). Dia berharap kain tenun bisa sepopuler batik. "Apalagi penggunaan tenun kan bukan hanya sebagai selembar kain, melainkan juga bisa untuk berbagai fungsi," kata Nusa.
Meskipun pakem telah bersalin rupa, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pembuatan batik masih tetap lestari. Hal ini tak terlepas dari pembuatan wastra yang panjang sebelum menjadi kain dan dikenakan, termasuk dijadikan payung tradisi. Para perajin berkreasi memadupadankan batik tulis dengan cap, juga mengkombinasikan motif klasik dengan motif kontemporer pada payung-payung tradisi. Ada pula kombinasi kain batik dengan sulaman dan tenun.
Salah satu perajin sulam yang memadukan wastra dan sulam adalah Martina. Anggota komunitas Sulam Nusantara dari Bandung, Jawa Barat, ini memamerkan hasil karyanya yang memadukan kain batik dengan sulam. Dia mengikuti tema festival, "Catra Wastra". "Di komunitas, kami menerjemahkan wastra lewat kreasi masing-masing," ujarnya.
Festival Payung Indonesia 2024 juga menampilkan teknik membatik ala Jepang, shibori. Shibori merupakan teknik pewarnaan kain yang mengandalkan ikatan dan celupan. Peserta festival yang memamerkan karya ini adalah Rosita Batik Shibori. "Kami memilih motif yang bisa dikreasikan dengan teknik shibori, seperti kawung," ucap Feni Rosita, pemilik usaha Rosita Batik Shibori.
Rosita, perajin Batik Shibori. TEMPO/Ecka Paramitha
Menurut Feni, teknik pewarnaan kain dari luar negeri yang dipadukan dengan cara membatik di Indonesia akan menambah kekayaan wastra Nusantara. Apalagi shibori tetap mengutamakan penggunaan warna alami yang banyak tersedia di Indonesia, seperti secang dan jati.
Festival Payung Indonesia 2024 tak cuma soal kain tradisional dan payung, tapi juga pengenalan budaya literasi melalui buku berjudul Catra Citra. Bekerja sama dengan komunitas Nulis Aja Dulu, buku ini mengulas tradisi payung di berbagai daerah di Indonesia beserta pembuatannya.
Panitia berharap buku Catra Citra membuka mata masyarakat tentang tradisi dan keunikan payung di Indonesia, yang bukan semata pelindung tubuh dari panas dan hujan. "Tapi juga bagian dari warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi," ujar Heru Mataya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo