Titi, nyanyi lagu Ekspresi, dong!" Tiap kali naik panggung, Titi D.J. kerap didaulat penonton untuk melantunkan beberapa hit lamanya dari tahun 1980-an. Kalau tidak Ekspresi, ya, lagu Salahkah Aku atau Dunia Boleh Tertawa. Yang namanya keinginan penggemar tentu dituruti. Namun, usai membawakan lagu-lagu tersebut, Titi ternyata diserang lagi dengan permintaan lain. "Di mana bisa beli kaset lagu itu? Soalnya, sudah dicari-cari di toko tetap tidak ketemu."
Berangkat dari hal tersebut, Titi berpikir untuk mengumpulkan lagu-lagu lamanya dalam satu album kompilasi. Namun, ia tak yakin dengan kualitas master lagu-lagunya yang lama. Apa akal? "Kenapa saya enggak bikin dengan aransemen baru saja?" kata Titi. Ia mengakui sukses Chrisye dalam album Badai Pasti Berlalu yang beraransemen baru ikut melecut semangatnya. Maka, lahirlah album Menyanyikan Kembali. Album ini berisi lagu-lagu lama Titi plus dua lagu baru sebagai bentuk komprominya dengan produser.
Pilihan Titi lumayan jitu. Album barunya mendapat sambutan bagus, terjual di atas 100 ribu keping. Dibandingkan dengan angka penjualan mendekati 2 juta keping per album milik Dewa, Padi, Jamrud, atau Sheila on 7, prestasi Titi memang kalah moncer. Namun, untuk album jenis "kompilasi", pencapaian Titi tak bisa dianggap remeh.
Penyanyi ini tidak sendirian dalam hal mengusung lagu lama. Beberapa album lagu era 80-an dari penyanyi seperti Dian Pramana Putra, Fariz R.M., January Christie, Vina Panduwinata, dan Tika Bisono kini bisa di-temui kembali di rak-rak toko kaset. Ada yang berupa album kompilasi (yang murni atau plus satu-dua lagu baru), ada pula yang berupa satu judul album yang dirilis ulang.
Hasil penjualannya? "Kita jangan mimpi album penyanyi lama akan meledak, tapi juga jangan khawatir akan rugi," kata Seno M. Hardjo dari perusahaan rekaman Target Pop, yang banyak merilis album lagu era 80-an. Awalnya, Seno merilis album-album tersebut karena ia ingin berbagi jenis musik yang disukainya. Namun, ia juga yakin, ada pangsa pasar tersendiri untuk jenis produk yang dia rilis.
Seno lantas mencontohkan hasil penjualan beberapa penyanyi 80-an yang ditanganinya. Album Terbaik Dian Pramana Poetra, misalnya. CD-nya terjual 2.300, kasetnya laku 42.200; Dian Pramana Poetra and Friends, CD: 1.300, kaset: 8.200; Fariz R.M. Dua Dekade, CD: 2.200, kaset: 24.000. Seno menyebut titik impas satu album berada pada angka penjualan 8.000-14.000. Khusus untuk album yang memakai klip promosi model terbaik Dian P.P., titik impasnya lebih tinggi, sekitar 24 ribu keping.
Lagu-lagu era 80-an memang kembali digemari sepanjang tahun ini. Astrid Soeleman dari I-radio, stasiun yang khusus memutar lagu-lagu Indonesia, menyebut acara I-Klasik yang menampilkan lagu era 70-an dan 80-an termasuk yang paling dinanti pen-dengar. Untuk memenuhi antusiasme pendengar jugalah radio tersebut merilis album Cinta Indonesia, yang berisikan kumpulan lagu era 80-an yang dibawakan Dian P.P., Vina, Utha Likumahuwa, Chaseiro, dan Harvey Maleiholo. Album ini juga mendapat sambutan yang menggembirakan.
Persoalan nostalgia tak bisa dilepaskan dari gejala ini. Pencinta musik di mana saja cenderung mengoleksi ulang lagu yang benar-benar disukainya kala koleksi lamanya rusak. Namun, musisi Addie M.S. menilai kembali populernya lagu-lagu era 80-an bukan soal nostalgia semata. Ia mencontohkan lagu Dia, yang dulu dibawakan Vina, kembali sukses saat dilantunkan Reza. Begitu juga tatkala Shelomita mendendangkan Kekagumanku dari Candra Darusman. "Ini bukan nostalgia lagi, karena pasarnya berbeda," kata Addie, konduktor Twilight Orchestra yang pada era 80-an banyak menata musik untuk albumVina.
Lantas? Menurut Addie, musik "pop kreatif" (nama yang dilabelkan pengamat saat itu, untuk membedakannya dengan pop yang diciptakan Rinto Harahap dan Pance Pondaag) punya kekuatan di melodi, lirik, juga harmoni lagu. Uniknya, kekuatan ini justru muncul karena keterbatasan. Addie menyebut, pada era itu, untuk membikin lagu, alat yang tersedia cuma gitar dan piano. "Karenanya, orang lebih mengutak-atik unsur musiknya itu sendiri," kata Addie.
Pengamat musik Denny M.R. menyebut keterbatasan teknologi membuat ekspresi musisi 80-an tak sekaya musisi era 90-an. Pilihan irama dan sound pop 80-an juga terbatas. Namun justru karena itu, unsur harmoni menjadi perhatian utama. Faktor ke-selarasan inilah yang membuat musik pop 80-an masih bertahan—bahkan mengilhami beberapa grup, Dewa, antara lain. Meminjam kata-kata Denny: "Penyanyinya bisa tergusur, tapi konsep 80-an masih akan awet."
Yusi Avianto Pareanom, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini