DULU dibuat terburu-buru, ternyata hasilnya janggal melulu. Begitulah nasib pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang sudah lebih dari tiga tahun. Pengadilan niaga dioperasikan sejak 1 September 1998 untuk menegakkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan (kebangkrutan).
Dulu, tatkala krisis ekonomi menggila, UU Kepailitan lahir karena desakan Dana Moneter Internasional (IMF). Undang-undang itu diharapkan bisa mengatasi masalah kredit macet. Melalui pengadilan niaga, kreditor yang kebanyakan perusahaan asing bisa memperoleh kembali piutangnya secara cepat dari debitor yang sebagian besar perusahaan lokal.
Pengadilan niaga dan UU Kepailitan dipercaya sebagai obat pamungkas sekaligus perlindungan bagi kreditor (perusahaan pemberi utang) terhadap ulah debitor (perusahaan pengutang) yang mengemplang kewajiban. Di pengadilan niaga, ditaksir petisi kepailitan terhadap debitor bisa menumpuk sampai 1.600 kasus.
Ternyata, setahun cuma ada 60 sampai 70 perkara pailit di pengadilan niaga. Pada tahun 2001 masuk 61 gugatan pailit, tapi dicabut 5 perkara. Dari jumlah itu pun (lihat infografik), tuntutan pailit yang dikabulkan pengadilan hanya 16 perkara. Berarti, tak sampai 40 persen. Selebihnya, petisi pailit berujung dengan penolakan dan penundaan (kewajiban pembayaran) utang.
Adakah jumlah gugatan pailit yang sedikit itu lantaran kreditor lebih suka memburu tagihannya di luar pengadilan? Atau mereka meragukan efektivitas pengadilan niaga? Agaknya, mutu vonis peradilan pailit masih disangsikan. Bahkan hakim niaga diduga kurang memahami masalah kepailitan dan seluk-beluk kredit macet.
Contohnya, perkara kepailitan Asap Oil. Pada forum kreditor, mayoritas pengutang berharap agar debitor dipailitkan, sehingga asetnya bisa dikenai sita umum dan dilelang untuk melunasi utang. Karena itu, mereka menolak perdamaian berupa restrukturisasi utang yang diusulkan debitor. Tak dinyana, hakim memutuskan penundaan utang.
Ada satu perkara kepailitan yang lebih janggal. Dalam perkara ini, debitor bisa menikmati penundaan utang sampai 400 hari. Padahal, berdasarkan UU Kepailitan, jangka waktu penundaan utang maksimal 270 hari. "Bila melewati batas waktu itu, debitor otomatis pailit demi hukum," kata praktisi hukum Ricardo Simanjuntak, yang juga menjadi Ketua Tim Analisa dan Evaluasi Peradilan Niaga. Kenyataannya, debitor tersebut tidak pailit.
Masih banyak lagi contoh vonis kepailitan yang melenceng dari harapan. Yang paling sulit dilupakan adalah perkara kepailitan PT Davomas Abadi, Panca Overseas, dan Dharmala Sakti Sejahtera. Soalnya, tiba-tiba muncul kreditor fiktif. Bahkan dalam kasus Panca, terbit sindikat 14 kreditor dengan nilai tagihan Rp 1,6 triliun.
Toh, hakim pengawas tak peduli dengan dugaan kreditor rekayasa. Dan, majelis hakim niaga pun tak membangkrutkan debitor. Penerima utang ini boleh menjadwalkan kembali pencicilan utang plus pemotongan utang.
Kendati terjadi banyak vonis kontroversial, Ketua Pengadilan Niaga Subardi berpendapat bahwa para hakim niaga sudah berupaya memutus yang terbaik dan tepat waktu (tak sampai 30 hari). Ia juga menandaskan bahwa peradilan niaga setelah beroperasi selama tiga tahun kini bisa dinilai efektif. "Kalau dianggap tak efektif, itu suara miring dari mereka yang dikalahkan. Yang menang tentu tak berkata begitu," ujar Subardi.
Tanggapan senada juga diutarakan oleh dua hakim niaga, Syamsudin Manan Sinaga dan Asep Iwan Irawan. Mereka menegaskan bahwa kalangan hakim niaga sudah mengadili perkara pailit sesuai dengan UU Kepailitan. "Pengadilan niaga hanya menangani utang yang sudah jatuh tempo dan sederhana pembuktiannya. Kalau yang sulit-sulit, itu wewenang peradilan lain (peradilan perdata)," kata Syamsudin.
Persoalannya, tambah Asep Iwan Irawan, lebih karena penyelesaian perkara di peradilan niaga tak konsisten di tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA). "Pengadilan niaga sudah memutus A tapi MA memutus B. Kalau diikuti putusan B, eh, MA menentukan A lagi. Mana konsistensinya?" kata Asep.
Argumentasi Asep mungkin bisa dirujukkan dengan perkara kepailitan Fadel Muhammad. Semula, pengadilan niaga memailitkan pengusaha semasa Orde Baru yang juga ketua Golkar itu. Fadel, yang pernah berkiprah di PT Bukaka Teknik Utama dan Bank Intan, dianggap mengemplang utang Rp 40 miliar pada Bank IFI sebesar US$ 4,8 juta atau Rp 48 miliar pada ING Barings Singapura, dan sebesar Rp 93 miliar pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Ternyata, pada 2 November 2001, MA mementahkan vonis pailit itu. MA menganggap utang Fadel sampai Rp 181 miliar itu belum bisa dipastikan jumlahnya. Padahal, bila Fadel divonis pailit, berarti ia bangkrut karena semua hartanya dilelang untuk melunasi utang. Dalam kondisi nol itu, bahkan mungkin minus, agak riskan juga jika akhirnya Fadel menjadi pejabat publik, setelah dilantik sebagai gubernur pertama Gorontalo pada 10 Desember 2001.
Tapi benarkah MA tak menguasai masalah kepailitan? Direktur Niaga MA, Parwoto, malah menduga ada faktor penting yang menghambat efektivitas peradilan niaga, yakni itikad baik debitor. Hal ini setidaknya bisa ditilik pada kasus kreditor fiktif dalam perkara Davomas, Panca, dan Dharmala. Selain itu, debitor juga masih punya persepsi "kalau waktu bisa diulur, kenapa utang tak mungkin ditunda?". Tak aneh bila kepailitan yang dikasasi tahun 2001 mencapai 47 perkara, sementara di tingkat peninjauan kembali sebanyak 30 perkara.
Ahmad Taufik, Hendriko L. Wiremmer, dan Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini