SETELAH tiga tahun dioperasikan, UU Kepailitan terbukti tak mampu menjadi instrumen hukum untuk menyelesaikan kasus kredit macet. Undang-undang pengganti aturan warisan Belanda Faillissements-verordening tahun 1905 itu memang dibuat terburu-buru pada 1998. Kini, agar program restrukturisasi ekonomi bisa lebih baik, pemerintah telah membentuk tim revisi UU Kepailitan. Rencananya, rancangan revisi yang hampir final itu akan diajukan ke DPR pada 2002.
Salah satu materi penting dalam revisi UU Kepailitan adalah penyempurnaan definisi utang, yang dalam praktek UU Kepailitan acap menimbulkan perbedaan penafsiran. Menurut revisi, definisi utang diperluas tak sekadar diakibatkan oleh perjanjian utang-piutang, namun termasuk pula kewajiban yang timbul dari undang-undang.
Mungkin utang versi baru termasuk pula kerugian akibat terjadinya perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Menurut salah seorang anggota tim revisi, hakim niaga Syamsudin Manan Sinaga, kewajiban yang timbul karena undang-undang, misalnya, putusan dari pejabat pajak.
Selain itu, ketentuan batas waktu 30 hari bagi proses perkara pailit juga diperbaiki menjadi 60 hari. Boleh jadi, jangka waktu 30 hari dianggap terlalu sempit oleh kalangan hakim niaga untuk mengadili dan memutus perkara pailit, yang sering tak gampang karena berkaitan dengan seluk-beluk finansial perusahaan debitor dan mekanisme kredit macet. Buat debitor yang benar-benar mau menyelamatkan perusahaannya, bukan sekadar bermanuver mengemplang utang, waktu 30 hari pun dinilai tak cukup.
Sayangnya, revisi UU Kepailitan enggan mematok minimal jumlah utang yang bisa dituntut ke pengadilan niaga. Tentu jadi aneh bila, katakanlah, kreditor dengan tagihan Rp 200 juta bisa memailitkan debitor yang usahanya masih berprospek bagus dan asetnya masih sekitar Rp 200 miliar.
Praktisi hukum yang juga Ketua Tim Analisa dan Evaluasi Peradilan Niaga, Ricardo Simanjuntak, juga berharap agar lembaga penyanderaan badan (gijzeling) diterapkan agar penegakan hukum kepailitan bisa bergigi. "Banyak debitor yang pengusaha kuat cuek saja dengan putusan pailit. Kurator juga nggak berani," ujar Ricardo.
Pendapat Ricardo dibenarkan oleh Syamsudin Sinaga. "Sebagian debitor yang konglomerat menggunakan uang dan kekuasaannya untuk menghambat putusan hakim niaga yang merugikan mereka,’’ kata Syamsudin.
Memang, lembaga gijzeling sudah dihidupkan kembali oleh MA lewat sebuah peraturan. Menurut peraturan itu, debitor yang tak beritikad baik untuk melunasi utang minimal Rp 1 miliar, baik terhadap negara maupun kreditor swasta, bisa dikurung selama enam bulan di tahanan negara. Bila masih mengemplang utang, ia bisa disandera lagi selama enam bulan. Namun, sampai kini belum ada debitor yang terkena gijzeling.
Yang jelas, itikad baik debitor untuk melunasi utang merupakan esensi utama penyelesaian kredit macet. Tapi UU Kepailitan tak memberikan sanksi bagi debitor curang, bahkan menipu seperti pada kasus munculnya kreditor fiktif. Demikian pula bila debitor yang tak terkena pedang kepailitan hakim, tapi hanya putusan penundaan utang, ternyata tak melaksanakan restrukturisasi utang bersamaan dengan restrukturisasi bisnisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini