Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya sampai juga ke Gili Trawangan. Pulau indah di dekat Pulau Lombok itu, tanggal 1 Januari lalu ingar bingar dengan para turis. Suasana malam tahun baru masih terasa. Turis- turis bule berseliweran dengan pakaian minim –juga beberapa bergelimpangan di pasir, berkolor, berbikini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lama saya menjanjikan membawa keluarga melihat Gili Trawangan. Karena itulah ketika dua bulan sebelumnya saya minta mereka mencari-cari tiket penerbangan ke Lombok dengan pertimbangan “waktu libur dan harga tiket murah,” dengan sigap mereka melakukan. Saya sendiri “kebagian tugas” untuk mencari tempat penginapan di Gili.
Bagi saya ke Gili Trawangan bukan yang pertama. Sekitar 15 atau 18 tahun lalu saya pernah ke pulau ini. Waktu itu ada tugas kantor dan Mas Supriyantho Khafid, teman wartawan yang tinggal di Mataram menawarkan apakah saya ingin melongok Pulau (Gili) Trawangan. Ketika itu nama Gili Trawangan mulai popular dengan embel-embel, “tempat yang disukai turis bule karena lebih bebas ketimbang Pantai Kuta…”
Kala itu, setelah selesai melakukan sejumlah wawancara dan meliput sejumlah tempat di Lombok yang menurut saya menarik -termasuk komunitas “Islam Watu Telu,” komunitas yang hanya mengerjakan salat tiga waktu, tidak lima waktu seperti lazimnya, saya pergi ke Gili Trawangan. Dengan perahu motor, hanya berdua dengan Mas Supriyantho, kami meluncur ke Gili, sekitar pukul 10.00.
Gili Trawangan masih sebuah tempat yang tidak ramai. Saya ingat, hanya ada satu dua perahu yang bersandar. Begitu sampai dan jalan-jalan sebentar, saya kemudian nyemplung ke laut. Terumbu karang indah terlihat di dasar laut yang dangkal dan jernih. Dengan “kamera bawah air” yang saya beli di Mataram saya memotret pemandangan bawah laut itu. Sejumlah turis perempuan bertelanjang dada, tiduran di pasir, di pantai Gili yang bersih –tak ada sampah- kecuali tunggul-tunggul bekas pohon yang sudah tumbang dan entah hilang ke mana.
Itu Gili Trawangan dulu….
Akhirnya sampai juga ke Gili Trawangan. Dari Mas Supriyantho juga, awal Januari itu, saya mendapat nomor telepon orang yang bisa mengantar kami ke Pelabuhan Bangsal, tempat penyeberangan menuju Gili. Dan benar, ketika pukul 08.00 kami sekeluarga tiba di bandara internasional Lombok, Pak Lalu, demikian saya memanggilnya sudah standby di Bandara.
Sesuai rencana yang saya buat, saya minta Pak Lalu mengantar kami ke tempat wisata di Mataram yang sejalur dengan perjalanan ke Bangsal. Saya juga minta untuk diantar melihat Mesjid Mataram –Islamic Centre Mataram- yang disebut-sebut paling megah se-NTB-NTT itu -juga sekalian mencari sarapan menu “ayam taliwang.”
Maka Pak Lalu mengajak kami ke desa tenun khas Lombok Sukarara. Pagi itu, kami tamu pertama yang datang ke tempat itu. Di sini juga disediakan fasilitas bagi mereka yang ingin berfoto dengan baju bertenun khas Lombok.
RENCANA ke Gili Trawangan naik perahu dari Pelabuhan Bangsal batal karena Pak Lalu menyarankan menyewa perahu motor sendiri. Dengan pertimbangan waktu lebih cepat dan keselamatan, akhirnya saya setuju. Setelah menelusuri jalan sepanjang Pantai Senggigi kami sampai Teluk Nara, “pelabuhan swasta” tempat penyeberangan ke Gili. Ongkos menyeberang Rp 400 ribu dan jika pulang pergi Rp 700.000. Begitu naik, kapal segera meluncur, membelah ombak, ke Gili.
GILI TRAWANGAN sudah jauh berubah. Hiruk pikuk dan, menurut saya, kotor. Sampah, botol mineral, berserakan di mana-mana. Tempat sampah tak banyak saya temui di Gili. Mestinya pemerintah setempat menyediakan kotak sampah yang cukup banyak di tempat-tempat yang banyak lalu lalang turis. Saya tidak tahu, kenapa hal sepele ini tidak dilakukan. Yang tetap menarik, adalah pemandangan laut birunya. Kita tak akan pernah bosan menyaksikan biru laut Gili Trawangan dengan ombaknya yang tenang.
Tapi, terumbu karang yang bisa dilihat tak jauh dari pantai sudah tak ada lagi. Laut di tepi pantai Gili sudah tak jernih seperti yang dulu saya datangi. Kini semata biru. Tempat dulu saya berenang-renang sendiri, menikmati deretan terumbu karang di dasar laut dengan ikannya warna-warni sudah dipenuhi jejeran perahu yang siap mengantar ke mana pun turis mau. Pemandangan terumbu karang kini hanya bisa disaksikan di perairan Gili Meno atau Gili Air –dan untuk itu harus naik kapal.
Dengan keluarga, naik sepeda, saya mengitari Gili Trawangan. Saya menyaksikan bagaimana tanah-tanah di dekat pantai sudah dikapling-kapling sebagai hotel atau calon hotel. Sejumlah lahan terlihat dipasang papan pengumuman: DIJUAL.
Naik sepeda di Gili –sewa per sepeda Rp 50 ribu– asyik. Kita bisa mencari rute masuk ke luar hutan yang sepi, lewat pemukiman warga yang sangat sederhana. Sesungguhnya “kehidupan” di Gili memang lebih banyak berpusat di tepi pantai –tepatnya di dekat pelabuhan yang tak jauh dari Masjid Baiturrahman.
Gili kini memang bakal punya mesjid besar. Tiga malam di Gili sepanjang hari saya mendengar azan dan salawat dari loudspeaker mesjid yang menurut saya, setidaknya suaranya mencapai tiga perempat pulau ini (atau jangan-jangan seluruh pulau). Ajaran Islam melarang perempuan memperlihatkan auratnya. Saya tidak tahu apakah kelak akan ada larangan orang berbikini di pulau ini? Atau muncul orang atau sekelompok orang “garis keras” yang minta Gili Trawangan bersih dari turis-turis berbikini, minuman alkohol dan seterusnya? Mudah-mudahan, jika pun ada perubahan nilai-nilai atau aturan-aturan, semua berjalan smooth, tanpa konflik. Betapa pun kehidupan di Gili, sumber ekonomi banyak masyarakat di sana, sampai kini adalah dari turis asing yang datang sepanjang tahun ke pulau seluas sekitar 15 kilometer persegi itu.
Bersama istri dan anak saya juga menikmati snorkeling di Gili. Saya beruntung ada Bagas, anak tertua yang saat kuliah di ITB ikut unit selam Nautika dan punya brevet menyelam. Dialah yang menjaga ibunya, juga mengambil foto-foto saat kami snorkeling. Berbeda dengan kami yang memakai pelampung, Bagas hanya memakain vin –kaki katak- dan kacamata renang. Saya merasa aman, ada Bagas, karena dia segera akan turun tangan jika saya atau istri saya mengalami kesulitan dengan pelampung atau alat bantu pernafasan yang kami pakai.
Tiga malam, empat hari di Gili cukuplah buat saya dan keluarga menikmati liburan akhir tahun. Hari ke empat, dengan kapal cepat, kami meninggalkan Gili menuju Bali. Ada rencana lain di Bali yang sejak dulu sangat saya inginkan dan rasanya akan menyesal seumur hidup jika tidak melakukannya.
Meninggalkan Gili, dari kejauhan, menatap pulau itu, saya berpikir, sampai kapan pulau itu bisa mempertahkankan keindahannya. Bisa menarik hati para turis, bisa tetap menjadi destinasi idaman turis asing seperti sekarang, bisa tetap tenang, aman, dan damai, tak ada konflik atas nama agama, sosial atau ekonomi.
Jika pemerintah daerah dan masyarakat di sana tidak segera memecahkan masalah yang kini mengancam: sampah-sampah yang semakin banyak dan menimbulkan pemandangan tak sedap, terumbu karang yang terancam makin habis karena perburuan ikan, atau gagal mengatasi masalah ketersediaan air bersih, bisa jadi kelak Gili Trawangan akan tinggal kenangan.
Tulisan ini sudah tayang di Catatanbaskoro