Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Hawaii Yang Dilupakan

Taman laut di maluku mengalami kerusakan berat. obyek-obyek wisata lain, penyelaman mutiara, pohon cengkeh berusia ratusan thn, museum siwa lima. hotel anggrek di ambon jadi tempat pelacuran. (pws)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALUKU, pernah dijuluki Hawaiinya Indonesia. Tapi sampai sekarang, bagaimana penggalakan industri pariwisatanya? Jauh ketinggalan dibandingkan daerah-daerah pariwisata lainnya seperti Bali, Danau Toba, bahkan Toraja. Ini menyedihkan. Itulah kata-kata pahit Peter Engel, seorang putera Maluku lulusan Akademi Perhotelan Bandung, yang pernah ikut memimnin Hotel Anggrek milik Pemda Maluku di Ambon. Setelah 5 tahun meninggalkan kampung halamannya, akhir 1977 Peter sempat pulang ke Ambon, Saparua dan Nusa Laut selama dua bulan, menyaksikan perkembangan industri tak berasap di Maluku sekarang. Betapa tidak. Dari Maluku Tenggara terbetik berita, bahwa sebagian besar karang laut di sekitar kepulauan Aru--terutama di pesisir Malakafani, Pulau Wokam, Pulau Wamar dan Pulau Babi dekat Dobo--mengalami kerusakan berat. Bila tak segera ditanggulangi akan terancam kelestariannya, begitu dikemukakan ahli-ahli biologi laut Stasiun Penelitian LON (Lembaga Oseanologi Nasional) di Ambon kepada Antara, ketika mengikuti ekspedisi Rumphius III di perairan Maluku beberapa bulan lalu. Selain taman laut yang di Aru itu, di Kabupaten Maluku Tengah pun masih ada beberapa taman laut lain. Misalnya di Pulau Pisang dekat Banda, kemudian di Teluk Ambon sendiri. Di taman laut itu, turis-turis yang sekedar mau mengagumi keindahan maupun yang sedikit berpretensi ilmiah, dengan peralatan sederhana (kotak kaca) atau perlengkapan selam dapat menyaksikan kombinasi karang, kerang, dan ikan dengan aneka corak dan warnanya. Di samping taman laut di pelbagai pelosok propinsi 999 pulau itu, untunglah masih ada obyek-obyek wisata lainnya. Misalnya: penyelaman mutiara, juga di sekitar Dobo, Pulau Aru. Bagi yang tertarik pada sejarah dan botani, pohonpohon cengkeh kuno berusia ratusan tahun di Nusa Laut dan Maluku Utara, tentunya merupakan obyek yang menarik pula. Pohon-pohon kuno itu tingginya sampai puluhan meter, dan masih setia menghasilkan puluhan kilo bunga cengkeh sekali panen. Itulah saksi bisu kolonialisme Portugis dan Belanda tempo dulu, yang kebetulan dapat luput dari pembasmian pelayaran hongi karena jauh tersembunyi di tengah hutan. Museum Pertama Kolonialis datang, agama Kristen pun mulai menjejakkan kakinya di 'kepulauan para raja', begitu saudagar-saudagar Arab dulu menamakannya (Maluku asalnya dari kata malik, pemimpin). Ada dua gereja kuno yang masih berfungsi hingga kini di Negeri Sila, Pulau Nusa Laut, dan satunya lagi di Negeri Hila Pulau Ambon. Belum jelas mana di antara kedua gereja kuno itu tempat Injil pertama dibacakan di Maluku, tahun 1643. Dan akhirnya, menurut keyakinan orang-orang Maluku Tengah, museum pertama pun dibangun Belanda lebih dulu di Maluku bukan di Jakarta (d/h Batavia). Yakni di Siwa Lima, kota Ambon. Sampai sekarang, museum Siwa Lima yang sudah diperbaiki pemerintah setempat itu masih menyimpan sebuah tengkorak purba yang mungkin merupakan nenek moyang orang-orang Melanesia, serta gelang tangan Tiongkok dari abad ke-2, yang konon tinggal duplikatnya saja di Negeri Cina. Maluku Tenggara, yang kaya dengan taman laut dan mutiara, masih dianugerahi pula pelbagai satwa istimewa yang resminya dilindungi karena terancam kepunahan. Yakni burung sorga alias cenderawasih dan kanguru, yang serumpun dengan cenderawasih dan kanguru Irian bagian selatan. Sementara itu di Maluku Utara--Pulau Obi dan Bacan - masih berkeliaran biawak kuno yang kerdil badannya dan senang mendekam di air dan rawa-rawa: hydrosaurus Amboinensis. Biawak mini begini, dengan sisik-tanduk di punggung seperti nenek moyangnya (Dinosaurus), pernah dipergoki oleh Seksi PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) Jakarta setelah dipermak taxidermy). Begitu pula cenderawasih Dobo dan sepupunya dari Irian. Lewat Jam 12 Malam Membeberkan segala potensi pariwisata Maluku itu, Peter Engel tak lupa memuji usaha penerbangan perintis Merpati yang sudah memungkinkan orang keliling dari Utara sampai Tenggara. Sayangnya, perusahaan pelayaran nusantara Berdikari milik Pemda Maluku tak sepesat itu mengimbanginya di laut (lihat: TEMPO, 14 Januari). Untung masih ada motor-motor tempel swasta yang berusaha mengisi kekosongan itu. Lantas, bagaimana Kota Ambon sendiri berbenah sebagai terminal jalurjalur pariwisata laut dan udara? Tentunya Hotel Anggrek itulah fasilitas akomodasi yang utama. Tapi berabenya, kata Peter Engel, "hotel milik Pemda itu bukannya dijadikan alat penunjang industri pariwisata daerah, malah sebaliknya jadi tempat praktek pelacuran." Mengutip keterangan Ketua RK Batu Kerbau serta pejabat Kantor Walikota bagian susila, bekas pembantu manajer Hotel Anggrek itu mengungkapkan jika telah lewat jam 12 malam, orang boleh menyewa kamar hotel dengan tarif ekstra Rp 6 ribu semalam, tanpa diusut KTP maupun surat nikah. Bila dihitung, dengan demikian pejabat manajer Hotel Anggrek, Bob Achmad dapat memperoleh pendapatan tambahan Rp 750 ribu sebulan. Jadi lebih dari cukup untuk menutupi biaya pengeluaran gaji karyawan, sewa listrik air dan telepon sebesar Rp 400 ribu sebulan. Tapi nyatanya, hotel yang pernah jadi kebanggaan gubernur-gubernur Maluku dulu sekarang masih tetap bocor berat, barang inventarisnya tak pernah ditambah, malah 20 orang karyawan sempat diberhentikan dengan alasan "perusahaan rugi". Tanpa protes sedikit pun dari DPRD. Sambil angkat bahu, Peter hanya bilang: "Kalau semua hambatan pariwisata ini tak dibereskan, Maluku bisa jadi Hawaii yang dilupakan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus