MALUKU, pernah dijuluki Hawaiinya Indonesia. Tapi sampai
sekarang, bagaimana penggalakan industri pariwisatanya? Jauh
ketinggalan dibandingkan daerah-daerah pariwisata lainnya
seperti Bali, Danau Toba, bahkan Toraja. Ini menyedihkan. Itulah
kata-kata pahit Peter Engel, seorang putera Maluku lulusan
Akademi Perhotelan Bandung, yang pernah ikut memimnin Hotel
Anggrek milik Pemda Maluku di Ambon.
Setelah 5 tahun meninggalkan kampung halamannya, akhir 1977
Peter sempat pulang ke Ambon, Saparua dan Nusa Laut selama dua
bulan, menyaksikan perkembangan industri tak berasap di Maluku
sekarang.
Betapa tidak. Dari Maluku Tenggara terbetik berita, bahwa
sebagian besar karang laut di sekitar kepulauan Aru--terutama di
pesisir Malakafani, Pulau Wokam, Pulau Wamar dan Pulau Babi
dekat Dobo--mengalami kerusakan berat. Bila tak segera
ditanggulangi akan terancam kelestariannya, begitu dikemukakan
ahli-ahli biologi laut Stasiun Penelitian LON (Lembaga
Oseanologi Nasional) di Ambon kepada Antara, ketika mengikuti
ekspedisi Rumphius III di perairan Maluku beberapa bulan lalu.
Selain taman laut yang di Aru itu, di Kabupaten Maluku Tengah
pun masih ada beberapa taman laut lain. Misalnya di Pulau Pisang
dekat Banda, kemudian di Teluk Ambon sendiri. Di taman laut itu,
turis-turis yang sekedar mau mengagumi keindahan maupun yang
sedikit berpretensi ilmiah, dengan peralatan sederhana (kotak
kaca) atau perlengkapan selam dapat menyaksikan kombinasi
karang, kerang, dan ikan dengan aneka corak dan warnanya.
Di samping taman laut di pelbagai pelosok propinsi 999 pulau
itu, untunglah masih ada obyek-obyek wisata lainnya. Misalnya:
penyelaman mutiara, juga di sekitar Dobo, Pulau Aru. Bagi yang
tertarik pada sejarah dan botani, pohonpohon cengkeh kuno
berusia ratusan tahun di Nusa Laut dan Maluku Utara, tentunya
merupakan obyek yang menarik pula. Pohon-pohon kuno itu
tingginya sampai puluhan meter, dan masih setia menghasilkan
puluhan kilo bunga cengkeh sekali panen. Itulah saksi bisu
kolonialisme Portugis dan Belanda tempo dulu, yang kebetulan
dapat luput dari pembasmian pelayaran hongi karena jauh
tersembunyi di tengah hutan.
Museum Pertama
Kolonialis datang, agama Kristen pun mulai menjejakkan kakinya
di 'kepulauan para raja', begitu saudagar-saudagar Arab dulu
menamakannya (Maluku asalnya dari kata malik, pemimpin). Ada dua
gereja kuno yang masih berfungsi hingga kini di Negeri Sila,
Pulau Nusa Laut, dan satunya lagi di Negeri Hila Pulau Ambon.
Belum jelas mana di antara kedua gereja kuno itu tempat Injil
pertama dibacakan di Maluku, tahun 1643. Dan akhirnya, menurut
keyakinan orang-orang Maluku Tengah, museum pertama pun dibangun
Belanda lebih dulu di Maluku bukan di Jakarta (d/h Batavia).
Yakni di Siwa Lima, kota Ambon. Sampai sekarang, museum Siwa
Lima yang sudah diperbaiki pemerintah setempat itu masih
menyimpan sebuah tengkorak purba yang mungkin merupakan nenek
moyang orang-orang Melanesia, serta gelang tangan Tiongkok dari
abad ke-2, yang konon tinggal duplikatnya saja di Negeri Cina.
Maluku Tenggara, yang kaya dengan taman laut dan mutiara, masih
dianugerahi pula pelbagai satwa istimewa yang resminya
dilindungi karena terancam kepunahan. Yakni burung sorga alias
cenderawasih dan kanguru, yang serumpun dengan cenderawasih dan
kanguru Irian bagian selatan. Sementara itu di Maluku
Utara--Pulau Obi dan Bacan - masih berkeliaran biawak kuno yang
kerdil badannya dan senang mendekam di air dan rawa-rawa:
hydrosaurus Amboinensis. Biawak mini begini, dengan sisik-tanduk
di punggung seperti nenek moyangnya (Dinosaurus), pernah
dipergoki oleh Seksi PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam)
Jakarta setelah dipermak taxidermy). Begitu pula cenderawasih
Dobo dan sepupunya dari Irian.
Lewat Jam 12 Malam
Membeberkan segala potensi pariwisata Maluku itu, Peter Engel
tak lupa memuji usaha penerbangan perintis Merpati yang sudah
memungkinkan orang keliling dari Utara sampai Tenggara.
Sayangnya, perusahaan pelayaran nusantara Berdikari milik Pemda
Maluku tak sepesat itu mengimbanginya di laut (lihat: TEMPO, 14
Januari). Untung masih ada motor-motor tempel swasta yang
berusaha mengisi kekosongan itu.
Lantas, bagaimana Kota Ambon sendiri berbenah sebagai terminal
jalurjalur pariwisata laut dan udara? Tentunya Hotel Anggrek
itulah fasilitas akomodasi yang utama. Tapi berabenya, kata
Peter Engel, "hotel milik Pemda itu bukannya dijadikan alat
penunjang industri pariwisata daerah, malah sebaliknya jadi
tempat praktek pelacuran." Mengutip keterangan Ketua RK Batu
Kerbau serta pejabat Kantor Walikota bagian susila, bekas
pembantu manajer Hotel Anggrek itu mengungkapkan jika telah
lewat jam 12 malam, orang boleh menyewa kamar hotel dengan tarif
ekstra Rp 6 ribu semalam, tanpa diusut KTP maupun surat nikah.
Bila dihitung, dengan demikian pejabat manajer Hotel Anggrek,
Bob Achmad dapat memperoleh pendapatan tambahan Rp 750 ribu
sebulan. Jadi lebih dari cukup untuk menutupi biaya pengeluaran
gaji karyawan, sewa listrik air dan telepon sebesar Rp 400 ribu
sebulan. Tapi nyatanya, hotel yang pernah jadi kebanggaan
gubernur-gubernur Maluku dulu sekarang masih tetap bocor berat,
barang inventarisnya tak pernah ditambah, malah 20 orang
karyawan sempat diberhentikan dengan alasan "perusahaan rugi".
Tanpa protes sedikit pun dari DPRD. Sambil angkat bahu, Peter
hanya bilang: "Kalau semua hambatan pariwisata ini tak
dibereskan, Maluku bisa jadi Hawaii yang dilupakan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini