DALAM konperensi Jenewa tahun 1954 mengenai masalah Indocina,
salah satu masalah yang sulit dipecahkan adalah tuntutan Vietnam
Utara, agar konperensi mengakui adanya wakil dari kaum komunis
Kamboja di samping utusan pemerintahan Sihanouk. Usul ini, yang
dikemukakan oleh delegasi Vietnam, Pham Van Dong (sekarang
Perdana Menteri Vietnam yang bersatu) ditolak konperensi. Dari
konperensi inilah netralitas Kamboja mendapat pengakuan
internasional. Sangat menonjol waktu itu adalah peranan Chou En
Lai, Perdana Menteri RRT, yang ikut mendesak Vietnam Utara agar
menerima Sihanouk sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah di
Kamboja.
Contoh di atas merupakan ilustrasi betapa dalamnya pertentangan
antara dua tetangga, Kamboja dan Vietnam. Pertentangan itu
melampaui persamaan ideologi resmi yang mereka miliki sekarang.
Pertentangan ini merupakan warisan sejarah dan melibatkan
perbedaan kebudayaan serta pengalaman masing-masing negara.
Bagian selatan Vietnam sekarang, yang dulunya disebut Cochin
Cina sampai pertengahan abad ke-18 sebagian besar masih
merupakan wilayah Kamboja, yang kemudian dikuasai oleh Vietnam
pada masa dinasti Nguyen. Sampai sekarang masih ada sekitar tiga
perempat juta penduduk berbangsa Kamboja yang lazimnya disebut
Kampuchea Crom atau Khmer Krom. Sebagai minoritas, perlakuan
terhadap mereka seringkali menimbulkan protes dari penguasa di
Phnom Penh.
Cao Ky Vs Lon Nol
Sebaliknya, di Kamboja juga terdapat minoritas orang Vietnam.
Mula-mula mereka datang sebagai pedagang dan pegawai kolonial
Perancis. Jumlahnya antara 400 sampai 450 ribu orang, umumnya
tinggal di Phnom Penh dan di propinsi-propinsi yang berbatasan
dengan Vietnam bagian selatan. Rejim-rejim di Saigon seringkali
melakukan perembesan ke Kamboja dengan alasan melindungi
orang-orang Vietnam yang tertindas. Pertentangan rasial misalnya
terjadi pada masa pemerintahan Lon Nol, segera setelah kudeta
bulan Maret 1970. Ribuan orang Vietnam dibunuh tentara Lon Nol
sehingga Marsekal Nguyen Cao Ky memimpin sendiri divisi
tentaranya untuk "mengakhiri pembantaian terhadap orang-orang
Vietnam." Hanyalah dengan desakan Amerika Serikat, sisa-sisa
tentara Ky sebanyak 25 ribu orang yang masih tinggal, bisa
disuruh keluar dari Kamboja.
Karena pertentangan dengan tetangganya ini, politik luarnegeri
Kamboja didasarkan pada usaha mencari sekutu negara agak besar
tapi yang tidak berbatasan dengannya. Pada masa Sihanouk,
sahabat Kamboja adalah RRT, India dan Indonesia. Pada masa Lon
Nol, sahabatnya adalah Indonesia, di samping Amerika Serikat,
yang melihat Kamboja sebagai bagian dari politiknya di Vietnam.
Pada masa sekarang, sekutu Kamboja terdekat adalah RRT kembali.
Walaupun sama-sama komunis, kemenangan Khieu Samphan dan
kawan-kawannya di Kamboja tidak banyak bergantung pada bantuan
Vietnam. Ini berbeda dengan Laos, yang memerlukan suplai dari
Hanoi untuk persenjataannya, terutama pada akhir 1960-an dan
pada awal 1970-an.
Kaum komunis Kamboja lebih independen dan mencerminkan revolusi
petani yang sederhana. Pimpinan partai komunis Kamboja
memperoleh pendidikan politiknya di Paris dan hutan-hutan
Kamboja, karena tidak pernah menjadi bagian dari bekas Partai
Komunis Indocina yang didirikan Ho Chi Minh pada tahun 1930-an.
Tak Ada Yang Membela
Akibatnya, Vietnam juga tidak dapat berharap banyak dari rejim
Phnom Penh untuk kerjasama yang diperlukan sekarang. Salahsatu
program mendesak untuk Vietnam adalah perbaikan irigasi di
sepanjang sungai Mekong, terutama di wilayah delta yang subur
itu, untuk mengatasi krisis pangan.
Muangthai dan Laos sudah setuju terhadap program tersebut, yang
akan dibiayai oleh badan-badan internasional. Tapi Kamboja tetap
menolak, sebagian mungkin karena sentimen lama hahwa delta yang
subur itu dulunya adalah wilayah Kamboja. Tanpa kerjasama
Kamboja, program semacam itu akan sulit terlaksana, karena
sungai Mekong juga melewati Kamboja, untuk kemudian mengalir
melalui propinsi yang berbatasan dengan Vietnam.
Di propinsi-propinsi inilah pertempuran sekarang berlangsung,
yakni di propinsi Svay Rieng dan Prey Veng di daerah aliran
sungai Mekong. Pertempuran-pertempuran sekarang membenarkan
pengalaman sejarah bahwa apapun ideologinya, kedua negara
tetangga tersebut akan tetap jadi musuh. Ironisnya, di
tengah-tengah invasi Vietnam sekarang, tidak ada satu suarapun
yang membela integritas Kamboja, karena politik dalam negeri
Khieu Samphan dkk telah membuat pengecam-pengecamnya menjadi
tidak perduli dengan nasib negara kecil yang diserbu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini