KAMPUNG Abulung, terletak di Desa Sungai Batang, Kecamatan
Martapura, 47 kilometer dari Banjarmasin. M tempat kecil itu,
ada cerita tentang bagaimana Islam berkembang. Sedikit mirip
cerita Syekh Siti Jenar yang ada di Demak, Jawa Tengah.
Puluhan tahun yang lalu, ada seorang syekh yang bernama Haji
Abdulhamid. Ulama ini telah pergi belajar menimba ilmu agama di
Mekkah dan memperdalam ilmunya di bidang marifat (tauhid dan
tazauf). Saking pandainya, banyak orang dan pengikutnya yang
tidak bisa memahami jalan fikiran sang Ulama. Yaitu menjurus ke
aliran kebatinan yang sulit dicerna begitu saja oleh orang awam.
Hal ini membahayakan, begitu fikiran Tahmidillah, yang waktu itu
menjadi Sultan di Martapura. Bisa-bisa, rakyatnya sesat kalau
terus mendengarkan ajaran Abdulhamid.
Kodrat Tuhan
Maka dipanggillah Haji Abdulhamid oleh Sultan ke istana untuk
sekedar didengar pendapat dan keterangannya. Utusan Sultan
kembali dengan tangan kosong. Abdulhamid tak berhasil diboyong
ke istana. Sembah orang suruhan kepada Sultan: "Hamba tak
berdaya, karena beliau berkata: Tak ada Abdulhamid di sini. Yang
ada Tuhan." Sultan Tahmidillah sedikit kaget mendengar ulah
membangkang Abdulhamid dan kemudian berkata: "Panggilkan seperti
yang disebutkannya!".
Utusan kembali ke rumah Haji Abdulhamid Oleh sang kyai,
permintaan utusan itu dijawab: "Di sini tak ada Tuhan, yang ada
Abdulhamid!". Apalah daya sang utusan, diapun kembali ke istana
dan mengabarkan hal itu. Sultan yang merasa dipermainkan, jadi
murka. Dengan keras dia pun berseru: "Jadilah! Panggil
dua-duanya seperti yang dikatakannya!". Utusan kembali ke istana
dan mengabarkan kepada Sultan bahwa Abdulhamid bersedia datang
ke istana.
Sultan Tahmidillah yang murka dan dendam itu kemudian menyuruh
pengawalnya menyediakan jebakan maut untuk Haji Abdulhamid.
Yaitu sebuah balok besar yang bertumpu dengan tali ditaruh di
atas jalan yang akan dilewati Abdulhamid. Begitu nanti ulama
lewat, tali akan disentakkan dan jatuhlah balok tepat menimpa
kepala dan tubuh Abdulhamid. Itu rencana Sultan.
Tanpa curiga, Haji Abdulhamid melalui jalan jebakan tersebut.
Bum! Suara keras menimpa bumi ketika Abdulnamid lewat. Tapi sang
ulama selamat dari maut. Eaok kayu besar cuma berada beberapa
sentimeter dari jarak Abdulhamid berdiri. Sang Haji menengok ke
atas melihat konstruksi jebakan. Tidak berkata apa-apa tapi cuma
berkata: "Manusia punya rencana, tapi kodrad dan iradat ada di
tangan Tuhan."
Sultan Tahmidillah bertambah geram. Berbagai usaha dijalankan
untuk menghabisi nyawa Abdulhamid. Pernah sang haji dimasukkan
ke dalam kerangkeng besi kemudian direndam di sungai. Aneh,
setiap orang yang lalu lalang di sungai selalu mendengar suara
sayup-sayup orang berzikir. Kerangkeng kemudian diangkat -
setelah direndam heberapa hari--dan lebih aneh lagi, keluarlah
Abdulhamid dalam keadaan segar .bugar dan cuma basah bagai orang
habis mandi.
Kasihan melihat usaha Sultan untuk menghabisi nyawanya,
Abdulhamid kemudian memberikan saran kepada Sultan bagaimana
seharusnya sang nyawa bisa keluar dari tubuhnya. "Silakan gores
sedikit tubuh saya dengan keris pusaka. Tapi ini harus dilakukan
tanpa rasa dendam, sekedar melukai jangat tubuh saya. Dan itu
harus dilakukan secara mendadak." Apa boleh buat, nasehat
Abdulhamid pun diturut Sultan.
Pada suatu subuh, ketika Abdulhamid sembahyang. Seorang prajurit
utusan Tahmidillah datang mengendap-endap mendekat sang kyai.
Dan ces, bagai dicolek sedikit, tubuh Abdulhamid bersentuhan
dengan keris pusaka. Tidak disangka tidak dinyana, Haji
Abdulhamid roboh. Darah mengucur dari tubuhnya dan membentuk
tulisan Arab yang dilafazkan berbunyi "Lailla ha-illalah".
Kemudian terdengar suara orang berzikir terus-menerus sementara
darah tetap muncrat.
Ketika mendengar berita kematian Abdulhamid dan mendengar
bagaimana sang kyai meninggal, Sultan Tahmidillah berhati
masygul. Sadarlah Sultan bahwa Abdulhamid harus dimakamkan
sebagai orang yang keramat. Dengan segala upacara dan hormat,
mayatnya kemudian dimakamkan di Kartasuta, di daerah Kayu Tangi.
Kartasuta adalah bekas pusat kerajaan Banjar sebelum kcrajaan
itu pindah dari Kuin Banjarmasin untuk kemudian menetap di
Martapura.
Balampah
Beberapa puluh tahun yang lampau, pernah makam itu dilupakan
orang. Menyemak dan membelukar. Sampai pada suatu subuh, seorang
bertemu dengan orang yang tampaknya mengepit dua nisan dalam
keadaan tergesa-gesa. Ketika ditegor mau ke mana, orang yang
membawa nisan itu cuma menjawab: "Dari Kartasuta mau ke
seberang." Kartasuta dan sekelilingnya waktu itu, dianggap
tempat kosong yang penuh semak belukar, Tidak ada seorang pun
yang mengingat bahwa di situ pernah dimakamkan seorang haji
yang bernama Abdulhamid.
Ketika tangan orang yang membawa nisan itu akan dijamah, dia
pun gaib. Yang ada cuma bau kemenyan menyerbak, Larilah dia dan
hebohlah pagi yang tejng di Desa Sungai Batang. Tanah kosong
di seberang Kartasuta kemudian diperiksa orang. Dibersihkan dari
semak belukar, kemudian tampak terpancang dua nisan. Banyak
yang bersumpah, bahwa sebelumnya tanah di seberang Kartasuta
tadinya cuma tanah kosong belaka. Kok sekarang ada dua nisan.
Orang tua-tua di kampung itupun kemudian mengingat-ingat bahwa
ada cerita unik puluhan tahun yang lampau, ketika Banjar masih
sebuah kerajaan. Kepada anak cucu, kemudian diceritakan kembali
peristiwa Sultan Tahmidillah dan Haji Abdulhamid. Dan itulah
makam Abdulhamid yang telah berpindah dari Kartasuta ke
seberang. Penduduk kemudian membersihkan dan memelihara makam
tersebut.
Kini, makam itu disebut sebagai keramat Datuk Abulung. Seperti
biasa banyak orang datang berziarah ke situ. Kebanyakan mereka
yang mempunyai niat ingin membersihkan batin. Istilah kampung
situ, orang yang melakukan balampah, yang di Jawa mirip orang
nyepi atau semedi. Hasil uang dari para peziarah untuk
memperbaiki makam. Bentuk makam kini baaikan kubah masjid.
Yang datang bahkan berasal dari luar Kalimantan. Ada dari Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Ada yang cuma seminggu, bahkan ada yang
berbulan-bulan berdiam di makam. "Mereka berzikir, mengaji dan
berdoa semalam suntuk di makam," ujar Haji Abdussamad yang
usianya telah 57 tahun. Abdussamad adalah santri dan pemuka Desa
Sungai Batang. Asalusul Abdulhamid tidak diketahui dengan jelas.
Seperti dikatakan oleh Abdussamad: "Ada yang mengatakan dari
Kuin Banjarmasin. Tapi ada pula yang menyebutnya dari Bahgdad.
Tidak jelaslah."
Hingga kini, makam tetap ramai. Orang Bangkalan dari Madura,
juga turut ramai berziarah ke makam. Dalam makam yang resik itu
tampak pula sebuah peti besi antik untuk menampung sedekah
peziarah. Karena pengunjung biasanya tinggal beberapa hari,
disediakan juga peralatan makan seperti piring dan sendok. Ada
pula tikar lusuh dan air dalam tempayan.
Juru kunci menceritakan bahwa sering tampak ular besar atau
katak raksasa. di malam hari. "Tapi bagi orang halampah yang
tabah, dia harus terus saja berzikir atau mengaji, godaan akan
hilang," ujar si juru kunci.
Hingga kini, tidak ada silsilah yang jelas tentang Abdulhamid
dan makam yang banyak dikunjungi orang tersebut. Juga tidak ada
peninggalan tertulis tentang tempat keramat itu. Cuma, Walikta
Banjarmasin telah mengadakan kaulan besar di Abulung. Dia adalah
Ridwan Iman. Mungkin sang Walikota merasa terpanggil nyalinya
mengenang kebesaran orang yang dianggap warga kotanya. Mungkin
pula, Ridwan Iman dulunya, pernah pula berziarah ke situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini