Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ave verum corpus, natumde Maria Virgine,
Vere passum, imolatum
in cruce pro homine
cuius latus perforatum
fluxit aqua et sanguine
(Salam untuk Tubuh Suci, yang terlahir
dari Perawan Maria,
yang menderita dan disalibkan
untuk umat manusia.
Dari bekas lukanya
Mengalirlah air dan darah)
Kata-kata itu menggema di Gereja San Domenico, Arezzo, Italia, saat dua belas penyanyi melantunkannya di depan altar. Baris-barisnya diambil dari manuskrip abad ke-14 yang ditulis oleh seorang biarawan. Himne ekaristi berjudul Ave Verum Corpus itu diaransemen oleh banyak musikus, termasuk Mozart. Yang dinyanyikan selusin penyanyi paduan suara mahasiswa Paragita Universitas Indonesia itu adalah karya komposer kontemporer Imant Karlis Raminsh asal Latvia.
Ave Verum punya kekuatan menggetarkan. Himne ini lazimnya dilambungkan pada saat penerimaan ekaristi suci dalam perayaan misa. Hari itu, 29 Agustus lalu, tak ada pemberkatan roti dan anggur-menjadi Tubuh dan Darah Yesus-di gereja yang dibangun pada abad ke-13 tersebut. Yang ada hanyalah penonton yang hening dan para penyanyi yang meniti nada dengan hati-hati. Meski tanpa pengeras suara, kesalahan sekecil apa pun akan terdengar memalukan.
Saat lagu itu mencapai fortissimo-bagian yang dinyanyikan lebih kencang-vokal mereka memantul ke langit-langit. "O Clemens, O Pie (Wahai Yang Maha Kasih, Wahai Yang Suci)". Suara itu membentur dinding-dinding berhiaskan fresco "Yesus di Antara Para Dokter" karya Giorgio dan Donato di Arezzo. Setiap kord menyambar telinga saya dan penonton lain. Gemanya akan kembali terdengar di kuping para penyanyi setengah detik kemudian. Sebagian suara merembes ke luar gereja melalui jendela kaca patri warna-warni, melebur dalam udara akhir musim panas-dengan suhu 30 derajat Celsius-lalu hilang di bawah langit biru Tuscany.
Ada keagungan yang membuat bulu kuduk saya berdiri saat gaung "O Clemens, O Pie" memenuhi ruangan beraroma lapuk. Aroma itu semestinya belum ada pada akhir abad ke-13, ketika Giovanni Cimabue melukis Kristus Sang Penebus Dosa pada kayu salib yang "melayang" di atas altar, tepat di atas kepala para penyanyi. Kedua tangan dan kaki-Nya dipaku, tubuh-Nya melenting, meronta. Kristus menahan sakit yang terpancar di wajah-Nya. Di panel kiri salib itu ada Yohanes Sang Pembaptis yang cemas. Di sebelah kanan, Bunda Maria menatap dalam dukacita.
Kidung terdengar lebih sayup...
Fili Mariae, fili Mariae
Amen, Amen
Saya dan rombongan Paragita datang ke Arezzo di Provinsi Tuscany untuk menghadiri kompetisi paduan suara Concorso Internazionale Polifonico Guido d'Arezzo. Kami tiba di kota yang memiliki 16 gereja itu setelah menempuh perjalanan selama lima jam dari Roma dengan bus sewaan. Setelah semalam menginap di Hotel Etrusco di pinggir kota, kami bergerak ke Gereja San Domenico di kota tua yang dikelilingi benteng dari susunan batu kelabu.
Bus tak boleh masuk ke dalam benteng. Franco, sopir bus kami, juga tak kuasa memarkir busnya lama-lama di luar benteng, karena takut ditilang polizei. Walhasil, semua anggota rombongan harus menyusuri jalan kerikil dengan kemiringan 35 derajat dengan berjalan kaki. "Ini ibarat pendakian Yesus di Bukit Golgota," ujar Doglas Rambe, ketua rombongan kami, sambil bercanda. Meski baru menyanyi pada hari kedua dan ketiga, saya turut ke San Domenico pada siang di hari pertama itu.
Dinding bata yang mulai lapuk dan bolong terlihat di atas bukit. Penggalian arkeologi yang dilakukan di sekitar dinding ini berhasil menemukan sisa-sisa gerabah ataupun perhiasan emas peninggalan bangsa Etrusca-nenek moyang penduduk kawasan ini sebelum dijajah Romawi. Di balik tembok, tersembunyi kota tua yang dulu disebut Aritim. Menara-menara gereja terlihat menyembul dari kejauhan. Sayup-sayup, terdengar bunyi lonceng yang dibuat pada abad ke-14, berdentang di pucuk Gereja San Domenico.
Kami memasuki Aritim melalui Porta Pozzuolo-satu dari dua gerbang bagi pejalan kaki-yang berada di timur laut. Gerbang untuk pejalan kaki lainnya adalah Porta Stufi. Selain dua gerbang kecil itu, ada empat gerbang utama yang bisa dilalui mobil mini. "Setiap akhir musim panas, di Arezzo selalu ada festival Abad Pertengahan. Ini saat seluruh kota seperti kembali ke zaman dulu," ujar Manila Risorti, dari panitia kompetisi. Sayangnya, kami tak sempat melihat festival ini karena jadwalnya diundurkan.
Pada musim panas, San Domenico berkilau keemasan disinari cahaya matahari yang baru terbenam pada pukul delapan. Suhu Arezzo kadang mencapai 31 derajat Celsius. Cukup untuk membuat kulit terbakar. "Pada musim dingin, salju turun di Arezzo kadang-kadang saja," ujar Suster Nancy asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menonton kami pada hari kedua kompetisi Guido d'Arezzo.
Nama Guido d'Arezzo (991-1033 Masehi) diabadikan untuk kompetisi ini karena dia punya peran besar pada musik. Bukan hanya musik Abad Pertengahan, melainkan juga pada musik modern. Guido Monaco-begitu dia biasa dikenal sebelum pindah ke Arezzo-merupakan tokoh pembaru pra-Renaisans. Dia adalah biarawan dari Ordo Benediktus yang awalnya tinggal di Biara Pomposa, Ferarra, di bagian utara Italia, dekat dengan Laut Adriatik.
Dia datang ke Arezzo karena komunitas penyanyi katedral di sini, yang berada di bawah pimpinan Uskup Tedaldo, mengundang Guido untuk mengajar para penyanyi. Ia mengajar di Katedral Santo Donatus, tempat Paus Gregorius X dimakamkan. Hingga kini, katedral itu masih berdiri tegak.
Di sela-sela kesibukannya mengajar itulah dia menciptakan karya yang membuatnya dikenang hingga kini. Dari stanza pertama himne Ut Queant Laxis, yang merupakan lagu penghormatan untuk Yohanes Pembaptis, Guido menemukan urutan enam nada: ut-re-mi-fa-sol-la. Di bekas rumah Guido di kota ini, kita bisa melihat plakat berhiaskan tangga nada yang asli ini.
Metode ini yang kemudian disebut sebagai "Tangan Guido". Seluruh teorinya dituangkan ke dalam buku bertajuk Micrologus, yang ditulis tujuh tahun menjelang kematiannya. Teori musik inilah yang kemudian menyebar ke seantero Eropa, memicu pencerahan (Renaisans) dalam bidang musik tiga abad kemudian. Ut kemudian diubah menjadi do untuk mempermudah pelafalannya.
Pada hari terakhir kompetisi yang berlangsung tiga hari, kami mengunjungi Piazza Guido Monaco. Dari San Domenico, kami berjalan menyusuri Via de Sassoverde, yang berarti Jalan Para Penjaga dari Saxon, merujuk pada permukiman prajurit asal Jerman di masa lalu.
Di ujung Sassoverde, patung Granduca di Toscana Ferdinando III berdiri tegak. Pose adipati Provinsi Toscana pada abad ke-18 ini mirip Julius Caesar, lengkap dengan mahkota daun zaitun. Kami tidak menyadari bahwa jalan-jalan di sekitar Monumen Ferdinando III ini bisa dilalui mobil. Jika tidak hati-hati, kami bisa saja tertabrak mobil dari arah Via Ricasoli yang melaju kencang di turunan curam Piaggia di Murello. Di Italia, para pengemudi punya kecenderungan ngebut, meskipun mereka tetap memberikan prioritas kepada pejalan kaki.
Menuruni Piaggia Murello, di depan deretan bangunan tua-yang sebagian besar masih ditinggali-saya bisa melihat topografi kota yang sesungguhnya berbukit-bukit. Jalan di dalamnya kecil dan meliuk-liuk. Kadang terlihat gelap, membawa khayalan kita kembali ke Abad Pertengahan, atau masa Renaisans, saat arsitek dan salah satu sejarawan seni terkemuka Italia, George Vasari, membangun rumahnya di Via Chiassaia.
Kami menyusuri Via Cavour dan menemukan Badia Delle Sante Flora e Lucilla, yang direstorasi oleh Vasari pada abad ke-16. Sebelumnya, bangunan ini merupakan biara yang dibangun oleh rahib Ordo Benediktus pada abad ke-12, satu abad setelah kehadiran Guido. Biara yang dibangun untuk menghormati Santa Flora dan Lucilla ini berdampingan dengan toko-toko roti, restoran, butik, studio seni, bahkan perpustakaan. Semua bangunan tua itu tetap terawat tanpa diubah fasadnya.
Di pengujung Via Cavour, ada Piazza San Francesco, yang menjadi pelataran Basilica San Francesco, gereja yang dipersembahkan bagi Santo Fransiskus dari Asisi pada 1290. Tempat ini juga menjadi lokasi pengambilan gambar film karya Roberto Benigni, Life is Beautiful (La vita e bella), pada 1997. "Setiap wisatawan yang melihat tempat ini pasti langsung heboh saat tahu ini tempat syuting film," kata Manila Risorti.
Patung pualam Guido tegak di tengah Arezzo. Wajahnya memandangi jalanan yang menisbatkan namanya. Di belakang tubuh Guido, menara Katedral Donatus terlihat di puncak bukit. "Saya tidak pernah tahu siapa dia, sampai beberapa rombongan kor bercerita kepada saya bahwa dia penemu do-re-mi," ujar Risorti.
Entah berapa banyak penduduk Arezzo yang berjumlah 100 ribu orang dan sebagian besar tinggal di luar tembok kota tua, yang tidak peduli kepada sejarah kota mereka sendiri. Mereka mungkin lebih senang mengunjungi toko gelato Paradiso di salah satu sudut jalan dan memilih menjilat es krim Italia rasa keju mascapone seharga 2 euro (sekitar Rp 32 ribu) seperti yang saya beli pada sore itu.
Subkhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo