Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zen Hae*
Berdepan-depan dengan bahasa asing, bangsa kita menempuh pelbagai cara. Dari yang paling mudah, yakni menyerap, hingga yang sulit, yaitu menerjemahkan dan memadankan. Menyerap istilah asing sudah terjadi sejak pertama kali nenek moyang kita berhubungan dengan bangsa asing, terutama lewat perdagangan, penyebaran agama, dan penjajahan. Bahasa Indonesia hari ini adalah bahasa Melayu yang diperkaya oleh anasir bahasa Sanskerta, Arab, Persia, Hindi, Tamil, Portugis, Belanda, Cina, Jepang, dan Inggris-di samping anasir bahasa daerah.
Dengan menyerap, kita mengambil alih istilah yang semula asing menjadi milik kita. Tepatnya, kita "meminjam"-karena itu, mereka disebut "kata pinjaman" (loanword). Ketika kita tidak memiliki kata untuk menamai "tempat duduk", kita meminjam banco (Portugis) dan melafalkannya bangku, juga kursi (Arab) dengan lafal yang sama dan variasinya: kerosi, kerusi, korsi. Tapi kita punya pesawat udara dan kapal terbang sebagai terjemahan dan padanan aeroplane.
Dengan menyerap, kita menyesuaikan istilah asing itu dengan lidah kita yang tidak terlampau suka kesulitan. Kata biefstuk (Belanda), yang mengandung gugus konsonan f-s-t, menyulitkan lidah kita, maka kita menyerapnya menjadi bistik, dengan variasi béstik, besték, bisték. Demikianlah, berangkat dari tradisi percakapan dan hasrat kita akan kemudahan, penyerapan sebuah istilah asing bisa menghasilkan pelafalan yang berbeda.
Dalam percakapan, penyerapan istilah asing sebenarnya berlangsung nyaris tanpa masalah. Masalah baru muncul ketika kita akan menuliskannya. Bagaimana kita menyesuaikan penulisan serapan itu dengan kaidah bahasa kita? Apakah kita akan menuliskannya sebagaimana kita melafalkannya atau sesuai dengan fonem-fonem yang membangunnya? Adakah pedomannya? Ada.
Menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga (2007), penyerapan istilah asing berlangsung lewat sejumlah pola: (1) dengan penyesuaian ejaan dan lafal: camera Ý kamera; (2) dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal: design Ý desain; (3) tanpa penyesuaian ejaan, tapi dengan penyesuaian lafal: bias Ý bias; (4) tanpa penyesuaian ejaan dan lafal: a) jika ejaan dan lafal asing itu tidak berubah dalam banyak bahasa modern, dicetak miring: status quo; b) jika istilah itu dipakai luas dalam kosakata umum, tidak dicetak miring: golf, internet.
Orang yang tidak memahami pedoman ini bisa jadi menuduh penyerapan istilah asing ke bahasa Indonesia berlangsung tidak ajek alias semau gue. Kita menggunakan bukan hanya satu pola penyerapan, melainkan beberapa pola sekaligus, tergantung mana yang cocok. Beragamnya pola penyerapan ini juga memperluas gugus homonim, yakni kata yang sama bunyi dan penulisannya tapi mengandung makna yang berbeda-beda.
Kata seksi dalam bahasa Indonesia, misalnya, mengandung sedikitnya empat makna: "bagian", "setengah peleton", "pengirisan", dan "merangsang rasa berahi" (KBBI Edisi Keempat: 1245). Kata ini kita serap dari dua kata berbeda: sectie (Belanda) dengan tiga makna pertama dan sexy (Inggris) dengan makna yang terakhir. Sedangkan Kamus Dewan (Malaysia) mendaftar seksyen (section) dan seksi (sexy). Seksi dalam arti "bagian" didaftar juga, tapi selalu dikembalikan ke lema seksyen.
Lain halnya dengan kata shalah (Arab). Sejak ejaan Van Ophuysen (1901), huruf tsa, sin, dan shad yang terkandung dalam kata-kata Arab diserap menjadi s, sementara syin diserap menjadi sy. Maka shalah diserap menjadi salat, bukan shalat, sholat, atau solat. Namun ada sebagian dari kita yang lebih suka menuliskan sholat, ketimbang salat, terutama dalam buku-buku pelajaran agama Islam. Mereka hendak mempertahankan kefasihan pelafalan dan ketepatan makna karena bahasa Arab adalah bahasa Quran dan ibadah umat Islam.
Ada pula sebab lain. Di samping karena ketidaktahuan akan kaidah bahasa Indonesia, adanya argumen tentang makna yang meleset. Salat dalam bahasa Arab bermakna "keranjang", bukan "sembahyang". Mereka juga enggan menggunakan kata sembahyang ("menyembah Hyang") seraya mengganti puasa (Sanskerta: upavasa) dengan shaum (Arab) karena kata itu berbau Hindu. Sedangkan kita punya frasa air sembahyang ("air wudu") dan itu tidak bisa diubah menjadi air salat atau air sholat.
Adapun dalam menerjemahkan dan memadankan, soalnya jauh berbeda. Di sini kita mempertaruhkan kemampuan bahasa kita untuk mengatakan sesuatu yang semula tidak ada dalam khazanah pengetahuan kita-jika perlu dengan menggunakan kata pinjaman lain, misalnya dari bahasa Sanskerta. Kita tengah menantang bahasa kita agar selalu bisa mengatakan hal-hal baru, agar ia bisa menjadi bahasa yang modern dan kaya.
Dalam esainya, "Asosiasi antara Timur dan Barat", di majalah Wasita, Agustus/September 1929, Ki Hadjar Dewantara memberi padanan kata dansa (dari dans [Belanda] dan dança [Portugis]) dengan tayub Eropah. Meskipun tayub Eropah kini tidak digunakan lagi, dengan istilah itu Ki Hadjar berhasil menjembatani kesenjangan pengetahuan dan memberi perbandingan yang lumayan berhasil antara tarian bangsa Belanda-Eropa dan khazanah tari tradisional Jawa. Dengan caranya pula ia telah menantang bahasa Indonesia yang tengah tumbuh saat itu mampu mengatakan sesuatu yang asing dengan kosakatanya sendiri.
Hari ini, di tengah meluasnya penggunaan bahasa Inggris, menyerap istilah Inggris dianggap lebih mudah, gaul, dan modern, ketimbang menerjemahkan dan memadankannya dengan bahasa Indonesia. Media sosial membuat arus penyerapan yang nyaris tanpa daya cipta ini menjadi lebih deras lagi. Walhasil, kita menjadi modern di bawah ancaman wabah "kematian bahasa" dan penumpulan daya cipta. l
Penyair dan kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo