Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi masih seorang mahasiswa yang pusing dengan disertasi. Setiap Jumat sampai Minggu, ia melakukan riset kuantitatif-menyebarkan kuesioner, lalu mengolahnya. Lebih dari satu tahun ia mengerjakan disertasi berjudul "Pengaruh Pemilihan Kepala Daerah Langsung terhadap Korupsi Kepala Daerah di Indonesia" yang akhirnya rampung itu. "Ujian tertutupnya sudah bulan lalu," katanya, sumringah.
Selasa pagi pekan lalu di kantornya di Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Gamawan menemui kami dengan membawa buku disertasi setebal 400 halaman itu di tangan. Duduk sambil menyilangkan kaki, ia kemudian memperlihatkan buku bersampul kuning itu. "Bukan tebalnya yang berarti bagi saya, melainkan semangat belajar saya yang tak pernah padam," ujar Gamawan, yang mengambil program studi doktor ilmu pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Namun soal pemilihan kepala daerah langsung tetap membuat Gamawan pusing. Setelah disertasinya kelar, kini dia dipusingkan oleh perdebatan soal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada)-yang tengah dibahas Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan undang-undang ini jadi populer karena sejumlah partai politik-khususnya yang mendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden lalu-ingin kepala daerah dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bagi banyak orang, cara seperti ini merupakan perampokan suara rakyat, yang sudah sepuluh tahun bisa menentukan langsung kepala daerahnya.
RUU Pilkada merupakan inisiatif Kementerian Dalam Negeri-diusung sejak 2012. Tentu saja rancangan itu digulirkan atas persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gamawan sendiri yang melakukan presentasi di depan sidang kabinet sebanyak empat kali untuk mengegolkan rancangan itu buat diusulkan ke DPR.
Gamawan berangkat dari kajian kementeriannya yang menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung sering menimbulkan konflik horizontal, biaya tinggi, politik uang, hingga banyak yang terjerat kasus korupsi-sesuai dengan disertasinya. "Ini bukan soal apakah pemilihan lewat DPRD itu langkah mundur atau maju, melainkan bagaimana yang paling efektif bagi masyarakat. Keduanya sama-sama demokratis," ucapnya kepada Budi Setyarso, Heru Triyono, Tika Primandari, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo.
Kenapa pemerintah mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD?
Selama sembilan tahun sistem pemilihan kepala daerah secara langsung diberlakukan, telah terjadi 1.027 pemilihan. Pemilihan seperti ini idealnya di negara yang pendidikannya sudah baik dan kesejahteraannya tinggi. Kita terlalu cepat. Bayangkan, selama sembilan tahun, ada banyak kasus kekerasan, pembakaran rumah, dan 75 orang meninggal karena konflik horizontal.
Tapi kan ada banyak kepala daerah yang bagus muncul dari sana?
Ada 321 kepala daerah-dari total 524 kepala daerah yang dipilih secara langsung-yang terjerat hukum, 287 di antaranya terkait dengan korupsi.
Artinya?
Kepala daerah yang dipilih tidak melaksanakan tugas dengan baik. Ini karena beban kepala daerah untuk mengembalikan modal saat kampanye dan mahalnya biaya buat membeli "perahu".
Maksud Anda membeli dukungan partai agar dia bisa dicalonkan?
Iya, perahu itu istilah lapangannya. Semestinya biaya itu jadi tanggung jawab partai. Ini kan tidak. Yang mau mencalonkan bisa menghabiskan miliaran rupiah. Setelah jadi, banyak pula partai yang minta macam-macam. Terlalu berat bebannya. Makanya muncul angka 287 tadi yang terjerat korupsi.
Berapa yang dibutuhkan bagi calon kepala daerah untuk maju?
Tergantung luas wilayah dan jumlah penduduk. Kenapa? Karena masyarakat saat ini bertarif. Misalnya si calon mau pasang baliho besar, itu ada biaya penunggunya. Kalau tidak, malam hari bisa hilang.
Tepatnya berapa kisaran para calon itu menggelontorkan uang?
Saya tidak tahu pasti. Orang tidak akan mau jujur. Tapi di dalam disertasi saya dituliskan bahwa ada tiga tahap yang harus dilewati calon. Yang pertama tahap pengenalan-belum pakai partai, cukup foto di baliho dulu. Kemudian tahap kedua pelaksanaan kampanye dan yang ketiga tahap akhir-biasanya pengesahan, bayar pengacara untuk sidang sengketa, dan ucapan terima kasih kepada tim. Itu pakai biaya semua.
Pengalaman Anda saat maju menjadi Bupati Solok dan Gubernur Sumatera Barat berapa biaya dikeluarkan?
Tidak satu sen pun. Dulu saya pernah ditawari satu partai yang minta Rp 8 miliar. Saya tidak mau.
Jadi Anda tidak keluar uang sama sekali?
Saat saya mencalonkan diri jadi Gubernur Sumatera Barat, yang membantu adalah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan PBB (Partai Bulan Bintang) serta masyarakat. Saya terima bersih. Bahkan ada yang mengantarkan satu mobil boks dari Pekanbaru dan Jakarta sudah dalam bentuk spanduk dan stiker.
Saat itu Anda dipilih langsung?
Iya. Saya merasakan tiga fase pemilu, dari pemilihan pada Orde Baru, pemilihan saat multipartai (27 partai), sampai pemilihan langsung.
Nah, dari contoh Anda sendiri sudah membuktikan bahwa orang yang kredibel itu biaya kampanyenya bisa kecil.
Saya bisa begitu karena masyarakat sudah tahu track record saya. Kalau memang tokoh itu kredibel, ya, bisa saja. Saya tidak kampanye, saya akan menang juga. Kampanye itu hanya mengangkat popularitas 10 persen. Saya juga yakin, kalau Bu Risma (Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya) maju lagi, tidak usah kampanye, dia pasti menang.
Artinya kan kita tidak perlu mengubah sistem, tapi tinggal menuntut partai untuk mencari orang yang kredibel.
Apa partai mau seperti itu? Elite partai akan berbicara: saya yang besarkan partai, pakai uang saya, kemudian yang jadi bupati orang lain. Apa ikhlas? Hal seperti ini memerlukan waktu. Lagi pula yang terjadi sekarang itu memakan biaya juga. Pemilihan terjadi di Sumatera Barat, orangnya didatangkan dari Jakarta. Ongkosnya besar juga.
Menurut Anda, bisa tidak partai dituntut memilih tokoh kredibel seperti itu?
Contoh saja, misalnya, Bandung (Ridwan Kamil). Dia sudah dikenal karena terobosan tata ruangnya sebagai konsultan. Dia sudah dikenal dan populer dengan pemikirannya. Tapi orang seperti ini tidak banyak.
Pemilihan lewat DPRD juga akan menghambat calon independen.
Peluang calon independen kecil. Hanya tiga dari sekian ratus kepala daerah, termasuk Aceng Fikri. Ini jadi tidak efektif. Ada yang bagus juga memang, tapi cuma satu. Lupa saya dia dari mana. Dari Kalimantan kalau tidak salah.
Pemilihan tak langsung yang diusulkan pemerintah dinilai sebagai kemunduran demokrasi?
Pendapat itu terlalu sederhana. Ini bukan soal mundur atau maju, melainkan bagaimana yang paling efektif bagi masyarakat. Keduanya, baik langsung maupun tak langsung, sama-sama demokratis.
Menurut Anda, seperti apa idealnya pemilihan kepala daerah dengan kondisi Indonesia saat ini?
Ideal itu tidak ada karena dua-duanya pasti ada plus-minusnya. Makanya kedua-duanya ada perbaikannya. Harus diikuti dengan sejumlah regulasi.
Kenapa memaksakan UU Pilkada disahkan oleh DPR yang masa jabatannya akan habis? Tidak bisa menunggu disahkan oleh DPR baru?
Inilah saatnya. Tinggal rancangan ini yang belum disahkan. Undang-Undang Pilkada itu terkait dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Desa, yang sudah disahkan. Tiga paket undang-undang ini terkait satu sama lain.
Kapan target ketuk palu?
Selama sidang berjalan-sampai Oktober.
Apakah waktunya cukup?
Ini sudah sembilan kali masa sidang berlalu. Undang-Undang Desa saja bisa, kenapa yang ini (RUU Pilkada) tidak bisa?
Catatan penting Anda yang dianggap krusial dalam RUU Pilkada?
Sejumlah regulasi harus dirapikan, antara lain pengawasan terhadap orang yang memilih (DPRD). Jangan sampai terjadi politik dagang sapi.
Apa bisa mengawasi anggota DPRD agar tidak memperdagangkan suara mereka?
Bisa, dengan meminta penegak hukum untuk menyadap Dewan. Akan diatur juga jangan sampai partai pengusung calon kepala daerah merasa jadi atasan kepala daerah. Apalagi kepala daerah kemudian dijadikan "ATM" (anjungan tunai mandiri).
Seandainya DPR tidak setuju pemilihan lewat DPRD, apa skenario selanjutnya?
Kami ingin pemilihan kepala daerah dilakukan dengan serentak dan ada penghematan biaya kampanye yang dikontrol Komisi Pemilihan Umum.
Berapa banyak uang yang bisa dihemat kalau pemilihan dilakukan serentak?
Sebesar 30-40 persen. Saya tidak tahu angka pastinya, tapi sebagian besar dana pemilihan-sekitar 60 persen-habis untuk honor petugas. Kita harus exercise risiko-risiko yang timbul untuk mencari jalan yang terbaik bagi semua orang.
Terbaik bagi semua orang atau terbaik bagi koalisi partai?
Bukan soal koalisi mana yang menang dan kalah. Itu susah. Saya, yang akan mengakhiri tugas 40 hari lagi, tidak memiliki kepentingan dalam mengusulkan rancangan ini. Kami berdiskusi untuk kepentingan bangsa, bukan ingin menjegal.
Tapi yang terjadi di Senayan kan memang pemilihan lewat DPRD disokong untuk kepentingan Koalisi Merah Putih.
Ha-ha-ha…. Silakan Anda menilai. Saya tidak mau.
Jika pemilihan melalui DPRD, Koalisi Merah Putih akan menguasai semua kursi kepala daerah.
Saya tidak berpikir politik praktis. Orang berpikir bagaimana memperoleh, mempertaruhkan, dan menggunakan kekuasaan. Saya tidak begitu.
Anda mungkin tidak, tapi yang menentukan di DPR kan berpikir praktis, termasuk politikus Partai Demokrat, yang menjadi kunci dalam pengesahan itu. Bagaimana sikap Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat?
Saya dalam hal ini tidak berkomunikasi dengan beliau sebagai ketua partai. Saya belum sempat berbicara dengan Pak SBY sebagai ketua umum partai, hanya beliau sebagai presiden.
Presiden sendiri ingin bagaimana?
Beliau cenderung ingin langsung untuk pemilihan kepala daerah. Tapi, kalau kondisinya belum ideal, silakan dipertimbangkan. Itu kata Presiden, saya masih ingat.
Apa yang ditawarkan pemerintah sebagai jalan tengah?
Saya mengusulkan pemilihan diserahkan kepada pemerintah daerah saja. Mau langsung atau tidak, biar jadi perda (peraturan daerah) provinsi saja untuk mengatur.
Keuntungannya apa?
Jalan ini tidak merusak sistem sosial di daerah. Setiap daerah tidak sama. Ada yang maju seperti Jakarta, ada juga Papua yang masih rentan konflik antarsuku. Makanya di Papua diberlakukan sistem noken (pencoblosan dalam pemilihan diserahkan kepada kepala suku). Risikonya, penerapan perda bisa jadi kepentingan gubernur dan partainya. Peran pusat akan mengatur itu secara lebih detail, sebagai pengontrol peraturan daerah agar tidak disalahgunakan.
Apa salah satu poin utama yang saat ini masih jadi pembahasan di DPR?
Masalah pemilihan kepala daerah-apakah dilakukan secara paket (kepala dan wakil) atau tidak. Yang nonpaket itu hanya kepala daerahnya yang dipilih. Di Papua, ada kabupaten yang penduduknya hanya 25 ribu orang-jadi tidak perlu wakil. Sedangkan di Jawa Timur, dengan jumlah penduduk mencapai 40 juta, dimungkinkan wakil gubernurnya dua atau tiga.
Kalau kepala daerah yang tidak memiliki wakil mangkat, siapa yang akan menjalankan tugasnya?
Bisa sekretaris daerah jadi PJ (penjabat) sampai pemilihan berikutnya. Di-PJ-kan saja dulu.
Dalam RUU Pilkada itu juga ada pembatasan politik dinasti....
Yang tidak kami setujui adalah kalau anggota keluarga bupati mencalonkan diri langsung setelah bupati itu tak lagi menjabat. Sebab, bupati bertahan banyak yang menggunakan kekuasaannya untuk mencalonkan anggota keluarganya sebagai pengganti. Karena itu, harus ada jeda satu periode. Harus tunggu lima tahun lagi, baru anggota keluarganya boleh maju. Kami batasi di situ.
Keluarga yang dimaksud itu yang satu darah?
Keluarga ke samping, ke bawah, ke atas, yaitu bapak, ibu, adik, kakak, istri, dan sebagainya.
Dewan sudah setuju?
Masih dibahas.
Ketika Anda menawarkan RUU Pilkada pada 6 Juni 2012, bagaimana respons anggota Dewan?
Sebagian besar menolak. Kami pun mengikuti mereka untuk membenahi banyak hal dalam rancangan saat itu. Dari situ muncul usul pemilihan serentak dan penghematan kampanye yang dikontrol oleh KPU.
Tapi kemudian dalam perkembangannya malah berbeda. Mereka justru setuju pemilihan lewat DPRD.
Keadaan memang berubah, apalagi setelah pemilihan presiden. Saat dulu saya melakukan presentasi di depan presiden di sidang kabinet-sebanyak empat kali-banyak juga silang pendapat, tapi tetap tidak bulat pada satu kesimpulan.
Anda tidak merasa dibuat bingung dengan sikap bolak-balik DPR?
Inilah politik praktis. Apa pun pilihan DPR, kami siapkan juga pembenahannya.
Apa yang akan Anda lakukan selepas jadi menteri?
Mau banyak mengaji dan bermain dengan cucu saja.
Tidak ingin membuat album baru?
He-he-he…. Enggak. Di daerah sudah ada tiga album. Biasanya saya juga tidak mau bernyanyi di depan Pak SBY. Pas kemarin nyanyi malah diminta terus.
Berniat pulang ke Padang?
Orang Padang itu kalau sudah merantau pantang pulang.
Ada yang menawari jadi menteri atau maju jadi gubernur lagi?
Pak SBY pernah menunjukkan survei kepada saya untuk maju jadi gubernur lagi. Tapi saya bilang bahwa orientasi saya kerja bukan di partai. Saya harus tahu kapan memulai dan mengakhiri. Cukup 20 tahun menjadi pejabat negara.
Gamawan Fauzi Tempat dan Tanggal Lahir: Solok, 9 November 1957 Pendidikan: Doktor ilmu pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2014), Doctor honoris causa bidang kebijakan pendidikan Universitas Negeri Padang (2011), Magister manajemen kebijakan publik Universitas Negeri Padang (2002), Sarjana hukum tata negara Universitas Andalas (1981) Karier: Menteri Dalam Negeri (2009), Gubernur Provinsi Sumatera Barat (2005), Bupati Solok (2000), Bupati Solok (1995), Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (1994), Sekretaris Pribadi Gubernur Sumatera Barat (1993), Wakil Sekretaris Korps Pegawai Republik Indonesia Tingkat I Sumatera Barat (1991), Kepala Bagian Penerangan dan Pemberitaan Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Barat (1989), Kepala Seksi Pengamanan Sosial Budaya dan Pengawasan Orang Asing Sumatera Barat (1985) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo