Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tambrauw – Masyarakat Distrik Miyah, Kabupaten Tambrauw, percaya pada empat mitos yang lekat kaitannya dengan keseimbangan alam dengan segala isinya. Mitos tersebut cukup berpengaruh terhadap cara pandang mereka terhadap makhluk hidup, secara khusus hewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami percaya, hewan itu seperti manusia. Tidak boleh diperlakukan seenaknya. Kalau tidak, alam akan marah,” kata Helena, perempuan berusia 70-an tahun, saat ditemui di Distrik Miyah, Kabupaten Tambrauw, Rabu, 16 Mei lalu. Helena adalah tetua distrik yang sampai kini terus mendongengi anak-cucunya legenda alam Tambrauw.
Baca juga: Kisah Penjelajahan Menemukan Harta Karun San Jose Rp 241 Triliun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga bercerita pada TEMPO.CO kala berkunjung ke distrik tersebut dalam rangka ekspedisi bersama tim Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw. Mama Helena—begitu sapaannya—yang tak bisa berbahasa Indonesia, bertutur kisah menggunakan bahasa Tambrauw. Lantas diterjemahkan oleh Mama Sofi, Kepala Distrik Miyah.
Mitos pertama ialah tentang kucing. Masyarakat Tambrauw pantang menghadapkan kucing pada cermin. Bila dilanggar, sesuatu yang buruk terjadi pada distrik mereka. Benar saja. Kisah itu bukan bualan semata. Pada 1962, kata, Mama Helena terjadi air bah besar. “Air itu tiba-tiba datang dari pegunungan. Lalu turun ke sini,” ujar Mama Helena.
Air bah meluluh-lantakkan hampir seluruh kampung di Miyah. Sore menjelang petang sebelum peristiwa air bah itu terjadi, seorang warga tertangkap menghadapkan kucing pada cermin. Akibat peristiwa alam yang terjadi tiba-tiba itu, seorang nenek meninggal lantaran hanyut terbawa arus.
Nenek tersebut berkerabat dengan Bupati Tambrauw saat ini, Gabriel Asem. “Memang benar ada cerita tersebut dan nenek itu masih keluarga saya,” kata Bupati Gabriel, mengkonfirmasi.
Mitos kedua adalah tentang burung mirip cenderawasih berwarna putih polos yang dijuluki masyarakat lokal burung watir. Burung itu langka dan hidup di Air Terjun Anenderat, yakni air terjun tujuh tingkat tujuh di punggung Distrik Miyah.
Burung watir konon berasal dari sumber air bernama Sumber Air Syakwa. Ia dan kawanannya akan melintas tiap pagi di Distrik Miyah. Suaranya nyaring seperti orang menyanyi. Kabarnya, burung itu tidak boleh dipotret atau direkam.
Di luar muatan-muatan metafisika, ketentuan adat ini berhubungan dengan upaya masyarakat menjaga keutuhan burung langka. Apabila terkespose keberadaannya, burung watir akan menjadi target buruan “predator darat”.
Adapun mitos ketiga berhubungan dengan kutu rambut. “Kutu rambut tidak boleh dibunuh di batu kali,” ucap Mama Helena.
Baca: Enam Macan Tutul Tertangkap Kamera di Taman Nasional Meru Betiri
Cara hidup masyarakat Miyah masih sangat tradisional. Mereka menggunakan kali sebagai sumber air untuk mandi, makan, minum, dan mencuci baju serta perlengkapan rumah tangga lainnya.
Maka itu, mitos ini erat kaitannya dengan menjada kali yang menjadi pusat kehidupan masyarakat. Membunuh kutu di kali sama dengan mengotori sumber kehidupan mereka.
Mitos keempat alias mitos terakhir berhubungan dengan anjing. Anjing bagi masyarakat setempat adalah sahabat dekat. Anjing tinggal dan dipelihara hampir di setiap rumah.
Legenda yang dipercaya penduduk lokal ialah bila melihat anjing yang tengah bereporoduksi, mereka tidak boleh mengatakannya pada siapa pun. Sebab, hal itu dianggap tabu. “Sama seperti kita memperlakukan manusia,” ujar Sofi, menerjemahkan.
Kisah-kisah mitos ini menjadi nilai adat yang dipercaya sampai sekarang. Keberadaannya terus dihidupi dan akan selalu menjadi sarana kontrol sosial bagi hubungan manusia dan alam sekitarnya.