HIBURAN minggu terakhir bulan lalu di pentas Gelanggang Samudra, Taman Impian Jaya Ancol Jakarta, sebuah pertunjukan lucu: Festival dan Atraksi Monyet. Di sana beraksi 15 rombongan yang biasa ngamen di berbagai pelosok tanah Jawa dengan membawa nama daerah masing-masing. Ada topeng monyet dari Jawa Barat dan Jakarta, tandak bedes asal Surabaya atau ronggeng kunyuk-nya orang Tegal dan Cirebon. Suguhan mereka rata-rata sih sama saja. Monyet, yang jadi lakon hari itu, selalu dimunculkan berpakaian dan berperan sebagai manusia berjalan tegak, berpayung fantasi dan menenteng tas, lenggak-lenggok bak nyonya besar hendak belanja ke pasar. Yang jantan memikul kayu atau mendorong gerobak. Sebagai "bintang pembantu" tampil anjing ras kampung dengan lidah menjulur menghela kereta dengan monyet duduk melengut sebagai majikan. Binatang lain, ular misalnya, beberapa kali muncul --yang ditampilkan cuma kejinakannya saja -- menyelingi nomor-nomor monyet. Acara hari itu memang milik sang monyet. Tingkah kera genit terlatih itu, yang biasa mengundang gelak di gelanggang ngamen kaki lima, memang tidak mengecewakan pengunjung festival monyet pertama di Ancol (dan se-Indonesia) kemarin. Mereka didatangkan Gelanggang Samudra Ancol yang bekerja sama dengan Lembaga Ekologi Univ. Nasional dan PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam), dari berbagai daerah operasi. Biaya transpor, Rp 8.000 setiap kelompok, ditanggung panitia. Semua grup boleh tampil selama 10 menit bergaya di hadapan penonton. Di belakang mereka juga duduk memperhatikan sebuah tim juri yang akan menilai siapa di antara peserta festival yang berhak menggondol hadiah Rp 25 ribu dan hadiah-hadiah lain. Yang dinilai, menurut juri, tidak hanya keberhasilan sang kera mengumpulkan tempik sorak penontonnya. Di samping menilai macam hal yang bisa dipertunjukkan binatang yang namanya monyet itu, kerja sama antara bintang dengan rekan bintang lainnya dan dengan pelatihnya juga dihitung. Juri juga tidak lupa mensyaratkan keseharan. "Selain hiburan," ujar seorang panitia, "festival juga dimaksudkan untuk memberi penyuluhan kepada pelatih bagaimana cara merawat binatang." Hadiah pertama direbut oleh topeng monyet yang dibawa Subandi. Rombongan yang baru berumur 4 tahun ini menurut Subandi, pelatih yang merangkap "manajer", boleh dikatakan sudah beroperasi di setiap sudut Ja-Bar. Daerah kelananya memang hanya di situ Selama dua bulan Subandi membawa rombongannya berkenalan dengan mengambil waktu cuti setiap kali dua minggu untuk berkumpul bersama keluarganya di Madiun (Ja-Tim). Dari topeng monyet itulah keluarga Subandi dan "asisten"-nya, yang bertugas memukul tambur atau gendang, bergantung penuh. Penghasilan berkelana bersama monyet, menurut Subandi, lumayan juga. Sekali pertunjukan dari penanggapnya bisa ditarik bayaran Rp 400 atau Rp 500 (jika ular diminta ambil bagian). Setelah dipotong ongkos makan dan jajan sekedarnya bisalah Rp 1.000 masuk tabungan setiap hari. Ilmu melatih monyet, anjing dan ular diperoleh Subandi dari tetangganya di Madiun sana. Sebelum menerjunkan monyetnya dalam bisnis, katanya, Subandi harus melatihnya selama 12 bulan. Mula-mula, sebelum mulai berlatih ekor binatang itu dipotong lebih dulu - agar bisa duduk secara rapi. Kemudian, selama beberapa minggu, dilatih berjalan tegak. Latihannya keras juga kedua tangan kera diikat supaya tidak aktif lagi. Setelah mampu berdiri dan berjalan tegak, barulah diajar macam-macam membawa payung, menenteng tas, memikul dan macam-macam lagi. Dan terakhir - ini kunci kemenangan monyet Subandi dalam festival di Ancol monyet dari Madiun itu mampu memberi hormat kepada penontonnya dan melakukan gerakan-gerakan kecil mirip orang lagi sembahyang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini