SUDARA-SAUDARA, buang saja anu saudara kalau baru tempur sekali
sudah melengkung. Lebih baik berikan saja pada kucing kalau
enggan minum obat," kata Kardi Fuad yang berusia 54 tahun kepada
orang banyak. Pidato dengan tema seks itu merupakan salah satu
kegiatan rutin yang dilakukannya sebagai tukang obat yang sudah
operasi sejak usia 18 tahun.
Ayah dari 5 orang anak ini kelahiran Bondowoso, Ja-Tim. Seluruh
nasib keluarganya kini bergantung pada jual obat. Ia sendiri
cukup bangga dan puas dengan profesinya itu. "Karena kalau sudah
cukup berdagang macam ini untuk hidup, kenapa mesti ngotot cari
yang lain," ujarnya kepada TEMPO. Menurut Kardi pekerjaannya itu
tidak memerlukan modal banyak. "Yang mahal bukan obatnya, tapi
ini lho yang mahal," katanya sambil menuding mulutnya sendiri.
Kardi mengaku seluruh obat yang dijualnya adalah obat-obatan
biasa yang juga terdapat di toko dan kios yang berserakan di
pinggir jalan mana saja. "Tetapi sebelum saya edarkan,
pembungkusnya saya ganti bungkus obat luar negeri," katanya
menjelaskan akal bulusnya. Meskipun demikian, sebagaimana juga
dokter, ia mempunyai surat izin dan surat jalan keliling.
Seringkali, sebagaimana umumnya manusia, ia lupa membawa surat
"izin praktek"-nya itu. Akibatnya, ia menjadi sasaran polisi.
Satu ketika misalnya, ia pernah ditangkap di Desa Asembagus --
Situbondo. "Saya sempat ditahan semalam," kata bakul obat ini
dengan tenang, tidak menyesal.
Ahli Ilmu Jiwa
Menurut Kardi, seorang pedagang harus juga seorang ahli ilmu
jiwa. Kenapa? Lihat saja, kalau penonton sudah berkumpul, tukang
obat harus dapat mempesona mereka dengan kemanjuran obatnya.
Tidak cukup hanya dengan menyuguhkan sulap atau akrobat. "Kita
harus pengaruhi jiwanya dengan cara menyebut bahayanya penyakit
satu per satu," kata Kardi dengan mata yang cerdik.
Dalam soal mengumpulkan pengunjung Kardi, salah satu dari 20
bakul obat di Bondowoso, memang unggul. Mula-mula gendang dipalu
dengan bantuan alat pengeras suara. (Perlu diketahui semua
tukang obat di Bondowoso sudah pakai alat pengeras suara). Kalau
sudah sedikitnya 10 orang terkumpul, ia mulai main sulap dan
akrobat. Dua orang anaknya yang sudah tak sekolah membantu
pekerjaannya sebagai pemukul gendang dan pemain senam. Sesudah
itu mulailah pidato soal seks yang dibawakan dengan berapi-api.
"Awas, jangan diberikan orang hamil, bisa gugur kandungannya,"
kata Kardi. Lalu mereka yang berkepentingan untuk menggugurkan
kandungan merogoh saku dan membeli. Padahal yang dijual
semata-mata vitamin dan majun -- ramuan tradisional yang panas.
Dengan modal Rp 500, Kardi bisa memperoleh sampai Rp 5000. Pukul
rata untungnya sehari mencapai Rp 1000. Apalagi kalau sedang
operasi di dalam pasar dan di pelosok desa. Hanya saja
akhir-akhir ini ia sering kena razia di kaki lima. Namun
demikian ia tidak kapok. Dengan modal obat dan mulutnya itulah
ia telah mengembara mengenal berbagai kawasan tanah air seperti:
Bali, seluruh Jawa Timur, Jawa Tengah, termasuk juga Madura.
"Saya berhenti jadi bakul obat kalau sudah mati, " kata Kardi
sembari ketawa cekikikan. Ia gembira terus. Rupanya itu
merupakan salah satu syarat dari keberhasilan seorang tukang
obat. Optimis. Segala penyakit tidak ada yang tidak bisa
digebrak dengan obat.
Bung Kelana
Ada lelaki berusia 39 tahun di Jember bernama Zainal Arifin. Ia
sudah berkelana ke seluruh Indonesia sebagai tukang obat. Dan
kini ia lebih suka menyebut dirinya Bung Kelana. Sebenarnya ia
seorang guru SD yang sempat berdinas di tahun 1957 sampai dengan
1966. "Tadinya saya coba-coba rangkap dagang di kaki lima, eh
tahunya keenakan," kata Bung Kelana. Sejak itu masa depan guru
dilupakannya.
Bung Kelana memulai debutnya di Denpasar pada 1967, sesudah
terlebih dahulu sempat menyerap ilmu sulap dan sedikit hipnotis.
Hipnotis yang sederhana saja. Misalnya naik sepeda motor atau
menembak balon dengan mata tertutup. Sejak itu ia terus mental
dari satu kota ke kota yang lain. "Untuk penghasilan sih
sebenarnya begini-begini saja, nggak kaya juga. Hanya dengan
berkeliling Indonesia saya beroleh kegembiraan, sambil melihat
adat-istiadat antar suku bangsa sendiri," ujarnya kepada TEMPO
yang sempat memergokinya di Jakarta.
Menurut Bung Kelana kini sudah terasa adanya perbedaan tuntutan
dari masyarakat. "Kalau dulu dengan boneka-boneka elektronik
saja sudah bisa menarik perhatian, sekarang kan maunya dengan
atraksi segala," ujarnya. Sementara itu ia merasa kepintarannya
dalam ilmu hipnotis mulai tidak sebanding kalau dipamerkan di
jalanan. Jadi kalau ada panggilan khusus baru dipertontonkannya.
Ia sering main hipnotis di kampung-kampung. Kadang-kadang
bergabung bersama beberapa rekannya, ia mengadakan atraksi di
lapangan dengan izin lurah atau camat setempat. Untuk lawakan ia
pun menyewa anak-anak kecil dengan imbalan sekedarnya. "Walaupun
pada akhirnya kita jual obat juga," kata Bung Kelana.
Menurut Kelana, di daerah, penjual obat masih dihargai. Tidak
demikian halnya di Jakarta. Ia sering diejek. Sekali waktu
sedang praktek di daerah Galur, para penumpang kendaraan yang
lewat meneriakinya: "Bohong! Bohong! Biasa jual obat banyak
omong!" Akibatnya penonton ikut mengkeret. Mereka enggan
mengeluarkan Rp 200 untuk membeli multivitamin yang dijualnya.
Kelana selama ini memang menjual multivitamin dengan propaganda
sejuta khasiat. Termasuk untuk sakit pinggang dan lemah syahwat.
"Saya tak pernah jual obat resep, banyak risikonya," ujarnya. Ia
juga sependapat bahwa seks memegang peranan penting dalam pidato
gratisnya di pinggir jalan itu. "Jadi bukan di film dan di novei
saja seks penting," kata Kelana.
Menurut Kelana tri godaan bagi penjual obat wanita, judi dan
minum. "Biasanya karena di rantau kita tidak ada yang kontrol,
jadi mudah terpengaruh. Karena itu banyak penjual obat punya
istri lebih dari satu, katanya dengan terus-terang. Ia
mengumpamakan tukang obat seperti pelaut, di mana tempat punya
simpanan. "Tapi, saya sering bawa istri keliling, biar lebih
terkontrol," kata pengembara yang sudah memiliki 6 orang anak
itu.
Sejauh pengamatan Kelana, penyakit paru-paru paling banyak
mengalungi tukang obat. "Aneh kan, jual obat, malah dirinya yang
tidak diperhatikan," katanya. Ini lantaran tukang obat operasi
siang malam dan tidak mengenal cuaca. Habis kalau tidak operasi
tidak ada duit masuk. Apa lagi banyak yang senang jualan malam
hari karena udaranya tidak panas.
Kelana sekarang punya target operasi di Jakarta sampai Maret
tahun depan. Ia menginap di sebuah pondokan di Tanjung Priok
bersama rekan penjual obat lainnya. Untuk keperluan transpor ia
menyewa sebuah Holden tahun 60-an -- Rp 2000 sehari --
ditanggung bersama 2-3 rekan lainnya.
Rasa senasib sepenanggungan di kalangan penjual obat menurut
Kelana tebal. Kadang-kadang obat yang dijual adalah milik teman.
Kalau yang satu bokek, yang lain buka kocek. Satu-satunya yang
jadi harapan bekas guru SD ini adalah lokalisasi buat tukang
obat supaya bebas berpidato. "Pokoknya bagaimana pemerintah bisa
membantu mengangkat kami, jangan hanya diuber-uber dan dianggap
liar," ujarnya. "Kami bersedia diarahkan untuk tujuan yang baik
itu, di samping nafkah kami juga akan terjamin.
"Musuh saya hanya dua " kata Jamaluddin (30 tahun), penjuai obat
di Medan. "Pertama hujan. Kedua petugas Kotapraja." Ia benar.
Tapi sebetulnya tidak hanya itu. Ada lagi yang disebut "uang
preman" yakni upeti kepada pemuda-pemuda brandal, sekitar 200
sehari. Jamaluddin sebenarnya tak keberatan yang terakhir ini.
"Mereka cari makan saya juga cari makan," katanya.
Seperti apa yang dikatakan Kelana, kebiasaan mengembara memang
menyebabkan tukang obat punya banyak istri. Ia pernah punya
istri 3 orang. Tapi sejak 5 tahun yang lalu, semua istrinya
dicerai, kecuali Saodah (20 tahun). Kini ia memiliki tiga orang
anak, yang paling besar berusia 7 tahun. Penghasilannya lumayan.
Kadangkala ia bisa menggaet Rp 20 ribu sehari. (Ini pengakuannya
lho). Wajar kalau tahun yang lalu ia berhasil membangun sebuah
rumah. Kecil, tapi lumayan untuk tempat berteduh.
Kesan Angker
Jamaluddin adalah putra tertua dari Isa, seorang dukun yang
berusia 70 tahun. Isa ahli memijat dan ahli obat reramuan kuno.
Dari Isalah Jamaluddin mewarisi ilmu pengobatan. Sekarang ia
sudah bisa meramu obat sendiri. Bahannya hanya akar dan kulit
kayu dari kampung. Ia percaya pada kemanjuran obatnya. Tetapi
kenapa ia mesti berjualan di pinggir jalan kalau percaya? "Mana
mungkin bersaing dengan obat luar negeri? Mana mungkin bersaing
dengan Afitson, Sloan, Counterpain?" kata anak dukun itu.
Untuk menarik perhatian pembeli, Jamaluddin mempergunakan
dandanan angker, dengan sebilah keris dan tongkat kayu gabha. Di
atas plastik usang dipajanglah gambar-gambar guntingan koran
yang menimbulkan kesan angker dan kuno. Dulu ia juga memakai
ular: Alhasil, usaha itu cukup memikat. Sudah setahun ia bisnis
di emperan sebuah toko.
Seperti Jamaluddin, Suharmi (50 tahun) tukang obat yang sudah
mengembara selama 31 tahun, kini lebih suka menetap. Setelah
sempat menjelajah sampai ke Sumatera, ia menjadi penjual jamu di
lapangan Tegallega -- Bandung. Untuk berkelana dan berjuang di
kaki lima ia sudah terlalu tua. Risikonya terlalu besar. Ia
pernah diobrak-abrik oleh TIBUM (pasukan ketertiban umum).
Kini ia menunggu jamunya dengan sabar, ditemani oleh mainan
tikus dari kain untuk daya pikat. Suharmi barangkali boleh
dianggap sebagai masa depan dari setiap tukang obat. Barangkali
ada yang berhasil kaya. Tapi satu ketika pengembara itu pasti
akan menetap dan menerima nafkah seadanya. Seperti kata Suharmi:
"Untuk biaya anak-anak sekolah saja tidak memadai."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini