Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tukang Pidato Kaki Lima

Penjual obat k-5, modalnya mulut. pidato seks untuk menarik pembeli. bisa ditangkap polisi/petugas kaki lima kalau tidak membawa surat izin praktek. keahlian lain yang dimiliki, main sulap, hipnotis, akrobat. (sd)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Tukang Pidato Kaki Lima
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SUDARA-SAUDARA, buang saja anu saudara kalau baru tempur sekali sudah melengkung. Lebih baik berikan saja pada kucing kalau enggan minum obat," kata Kardi Fuad yang berusia 54 tahun kepada orang banyak. Pidato dengan tema seks itu merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukannya sebagai tukang obat yang sudah operasi sejak usia 18 tahun. Ayah dari 5 orang anak ini kelahiran Bondowoso, Ja-Tim. Seluruh nasib keluarganya kini bergantung pada jual obat. Ia sendiri cukup bangga dan puas dengan profesinya itu. "Karena kalau sudah cukup berdagang macam ini untuk hidup, kenapa mesti ngotot cari yang lain," ujarnya kepada TEMPO. Menurut Kardi pekerjaannya itu tidak memerlukan modal banyak. "Yang mahal bukan obatnya, tapi ini lho yang mahal," katanya sambil menuding mulutnya sendiri. Kardi mengaku seluruh obat yang dijualnya adalah obat-obatan biasa yang juga terdapat di toko dan kios yang berserakan di pinggir jalan mana saja. "Tetapi sebelum saya edarkan, pembungkusnya saya ganti bungkus obat luar negeri," katanya menjelaskan akal bulusnya. Meskipun demikian, sebagaimana juga dokter, ia mempunyai surat izin dan surat jalan keliling. Seringkali, sebagaimana umumnya manusia, ia lupa membawa surat "izin praktek"-nya itu. Akibatnya, ia menjadi sasaran polisi. Satu ketika misalnya, ia pernah ditangkap di Desa Asembagus -- Situbondo. "Saya sempat ditahan semalam," kata bakul obat ini dengan tenang, tidak menyesal. Ahli Ilmu Jiwa Menurut Kardi, seorang pedagang harus juga seorang ahli ilmu jiwa. Kenapa? Lihat saja, kalau penonton sudah berkumpul, tukang obat harus dapat mempesona mereka dengan kemanjuran obatnya. Tidak cukup hanya dengan menyuguhkan sulap atau akrobat. "Kita harus pengaruhi jiwanya dengan cara menyebut bahayanya penyakit satu per satu," kata Kardi dengan mata yang cerdik. Dalam soal mengumpulkan pengunjung Kardi, salah satu dari 20 bakul obat di Bondowoso, memang unggul. Mula-mula gendang dipalu dengan bantuan alat pengeras suara. (Perlu diketahui semua tukang obat di Bondowoso sudah pakai alat pengeras suara). Kalau sudah sedikitnya 10 orang terkumpul, ia mulai main sulap dan akrobat. Dua orang anaknya yang sudah tak sekolah membantu pekerjaannya sebagai pemukul gendang dan pemain senam. Sesudah itu mulailah pidato soal seks yang dibawakan dengan berapi-api. "Awas, jangan diberikan orang hamil, bisa gugur kandungannya," kata Kardi. Lalu mereka yang berkepentingan untuk menggugurkan kandungan merogoh saku dan membeli. Padahal yang dijual semata-mata vitamin dan majun -- ramuan tradisional yang panas. Dengan modal Rp 500, Kardi bisa memperoleh sampai Rp 5000. Pukul rata untungnya sehari mencapai Rp 1000. Apalagi kalau sedang operasi di dalam pasar dan di pelosok desa. Hanya saja akhir-akhir ini ia sering kena razia di kaki lima. Namun demikian ia tidak kapok. Dengan modal obat dan mulutnya itulah ia telah mengembara mengenal berbagai kawasan tanah air seperti: Bali, seluruh Jawa Timur, Jawa Tengah, termasuk juga Madura. "Saya berhenti jadi bakul obat kalau sudah mati, " kata Kardi sembari ketawa cekikikan. Ia gembira terus. Rupanya itu merupakan salah satu syarat dari keberhasilan seorang tukang obat. Optimis. Segala penyakit tidak ada yang tidak bisa digebrak dengan obat. Bung Kelana Ada lelaki berusia 39 tahun di Jember bernama Zainal Arifin. Ia sudah berkelana ke seluruh Indonesia sebagai tukang obat. Dan kini ia lebih suka menyebut dirinya Bung Kelana. Sebenarnya ia seorang guru SD yang sempat berdinas di tahun 1957 sampai dengan 1966. "Tadinya saya coba-coba rangkap dagang di kaki lima, eh tahunya keenakan," kata Bung Kelana. Sejak itu masa depan guru dilupakannya. Bung Kelana memulai debutnya di Denpasar pada 1967, sesudah terlebih dahulu sempat menyerap ilmu sulap dan sedikit hipnotis. Hipnotis yang sederhana saja. Misalnya naik sepeda motor atau menembak balon dengan mata tertutup. Sejak itu ia terus mental dari satu kota ke kota yang lain. "Untuk penghasilan sih sebenarnya begini-begini saja, nggak kaya juga. Hanya dengan berkeliling Indonesia saya beroleh kegembiraan, sambil melihat adat-istiadat antar suku bangsa sendiri," ujarnya kepada TEMPO yang sempat memergokinya di Jakarta. Menurut Bung Kelana kini sudah terasa adanya perbedaan tuntutan dari masyarakat. "Kalau dulu dengan boneka-boneka elektronik saja sudah bisa menarik perhatian, sekarang kan maunya dengan atraksi segala," ujarnya. Sementara itu ia merasa kepintarannya dalam ilmu hipnotis mulai tidak sebanding kalau dipamerkan di jalanan. Jadi kalau ada panggilan khusus baru dipertontonkannya. Ia sering main hipnotis di kampung-kampung. Kadang-kadang bergabung bersama beberapa rekannya, ia mengadakan atraksi di lapangan dengan izin lurah atau camat setempat. Untuk lawakan ia pun menyewa anak-anak kecil dengan imbalan sekedarnya. "Walaupun pada akhirnya kita jual obat juga," kata Bung Kelana. Menurut Kelana, di daerah, penjual obat masih dihargai. Tidak demikian halnya di Jakarta. Ia sering diejek. Sekali waktu sedang praktek di daerah Galur, para penumpang kendaraan yang lewat meneriakinya: "Bohong! Bohong! Biasa jual obat banyak omong!" Akibatnya penonton ikut mengkeret. Mereka enggan mengeluarkan Rp 200 untuk membeli multivitamin yang dijualnya. Kelana selama ini memang menjual multivitamin dengan propaganda sejuta khasiat. Termasuk untuk sakit pinggang dan lemah syahwat. "Saya tak pernah jual obat resep, banyak risikonya," ujarnya. Ia juga sependapat bahwa seks memegang peranan penting dalam pidato gratisnya di pinggir jalan itu. "Jadi bukan di film dan di novei saja seks penting," kata Kelana. Menurut Kelana tri godaan bagi penjual obat wanita, judi dan minum. "Biasanya karena di rantau kita tidak ada yang kontrol, jadi mudah terpengaruh. Karena itu banyak penjual obat punya istri lebih dari satu, katanya dengan terus-terang. Ia mengumpamakan tukang obat seperti pelaut, di mana tempat punya simpanan. "Tapi, saya sering bawa istri keliling, biar lebih terkontrol," kata pengembara yang sudah memiliki 6 orang anak itu. Sejauh pengamatan Kelana, penyakit paru-paru paling banyak mengalungi tukang obat. "Aneh kan, jual obat, malah dirinya yang tidak diperhatikan," katanya. Ini lantaran tukang obat operasi siang malam dan tidak mengenal cuaca. Habis kalau tidak operasi tidak ada duit masuk. Apa lagi banyak yang senang jualan malam hari karena udaranya tidak panas. Kelana sekarang punya target operasi di Jakarta sampai Maret tahun depan. Ia menginap di sebuah pondokan di Tanjung Priok bersama rekan penjual obat lainnya. Untuk keperluan transpor ia menyewa sebuah Holden tahun 60-an -- Rp 2000 sehari -- ditanggung bersama 2-3 rekan lainnya. Rasa senasib sepenanggungan di kalangan penjual obat menurut Kelana tebal. Kadang-kadang obat yang dijual adalah milik teman. Kalau yang satu bokek, yang lain buka kocek. Satu-satunya yang jadi harapan bekas guru SD ini adalah lokalisasi buat tukang obat supaya bebas berpidato. "Pokoknya bagaimana pemerintah bisa membantu mengangkat kami, jangan hanya diuber-uber dan dianggap liar," ujarnya. "Kami bersedia diarahkan untuk tujuan yang baik itu, di samping nafkah kami juga akan terjamin. "Musuh saya hanya dua " kata Jamaluddin (30 tahun), penjuai obat di Medan. "Pertama hujan. Kedua petugas Kotapraja." Ia benar. Tapi sebetulnya tidak hanya itu. Ada lagi yang disebut "uang preman" yakni upeti kepada pemuda-pemuda brandal, sekitar 200 sehari. Jamaluddin sebenarnya tak keberatan yang terakhir ini. "Mereka cari makan saya juga cari makan," katanya. Seperti apa yang dikatakan Kelana, kebiasaan mengembara memang menyebabkan tukang obat punya banyak istri. Ia pernah punya istri 3 orang. Tapi sejak 5 tahun yang lalu, semua istrinya dicerai, kecuali Saodah (20 tahun). Kini ia memiliki tiga orang anak, yang paling besar berusia 7 tahun. Penghasilannya lumayan. Kadangkala ia bisa menggaet Rp 20 ribu sehari. (Ini pengakuannya lho). Wajar kalau tahun yang lalu ia berhasil membangun sebuah rumah. Kecil, tapi lumayan untuk tempat berteduh. Kesan Angker Jamaluddin adalah putra tertua dari Isa, seorang dukun yang berusia 70 tahun. Isa ahli memijat dan ahli obat reramuan kuno. Dari Isalah Jamaluddin mewarisi ilmu pengobatan. Sekarang ia sudah bisa meramu obat sendiri. Bahannya hanya akar dan kulit kayu dari kampung. Ia percaya pada kemanjuran obatnya. Tetapi kenapa ia mesti berjualan di pinggir jalan kalau percaya? "Mana mungkin bersaing dengan obat luar negeri? Mana mungkin bersaing dengan Afitson, Sloan, Counterpain?" kata anak dukun itu. Untuk menarik perhatian pembeli, Jamaluddin mempergunakan dandanan angker, dengan sebilah keris dan tongkat kayu gabha. Di atas plastik usang dipajanglah gambar-gambar guntingan koran yang menimbulkan kesan angker dan kuno. Dulu ia juga memakai ular: Alhasil, usaha itu cukup memikat. Sudah setahun ia bisnis di emperan sebuah toko. Seperti Jamaluddin, Suharmi (50 tahun) tukang obat yang sudah mengembara selama 31 tahun, kini lebih suka menetap. Setelah sempat menjelajah sampai ke Sumatera, ia menjadi penjual jamu di lapangan Tegallega -- Bandung. Untuk berkelana dan berjuang di kaki lima ia sudah terlalu tua. Risikonya terlalu besar. Ia pernah diobrak-abrik oleh TIBUM (pasukan ketertiban umum). Kini ia menunggu jamunya dengan sabar, ditemani oleh mainan tikus dari kain untuk daya pikat. Suharmi barangkali boleh dianggap sebagai masa depan dari setiap tukang obat. Barangkali ada yang berhasil kaya. Tapi satu ketika pengembara itu pasti akan menetap dan menerima nafkah seadanya. Seperti kata Suharmi: "Untuk biaya anak-anak sekolah saja tidak memadai."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus