Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Menantang Lahar Merapi

Dua desa dilereng merapi (margomulyo dan kemiren, ja-teng) sudah dinyatakan rawan dan sudah dikosongkan sejak 1960, kini dihuni kembali. alasannya sejak 1930 desa itu tak pernah ketimpa lahar.(ds)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lereng Merapi, Jawa Tengah, hujan mulai turun. Ini mencemaskan jutaan kubik lahar di mulut Merapi setiap saat mengancam desa sekitarnya. Dinas Vulkanologi pun berseru agar penduduk berhati-hati, siap mengungsi. Pemda Kabupaten Magelang juga menghimbau mereka agar suka bertransmigrasi. Di saat gawat seperti itu, anehnya, justru ada 2 desa yang sudah dinyatakan rawan -- dan karena itu dikosongkan-kini malah dihuni kembali. Bahkan giat membangun. Yaitu Desa Margomulyo di Kecamatan Dukun dan Kemiren di Srumbung, yang dalam daftar Dinas Volkanologi termasuk "daerah kuning": Maksudnya daerah berbahaya tingkat primer setiap saat bisa lenyap bila Merapi memuntahkan lahar. Dikelilingi Sungai Krasak, Bebeng dan Putih, Margomulyo dan Kemiren sudah dikosongkan dari penduduk sejak 1960 lalu bersama 5 desa lainnya: Kuningan, Gimbal, Ngori, Brubukan dan Kaligesik. Dari Margomulyo berangkat 275 kk bertransmigrasi ke Lampung. Sedang dari Kemiren 150 kk menuju Tanjungkarang. Semuanya dipimpin lurah masing-masing. Kedua desa itu bukan hanya dikosongkan tapi berikutnya juga dihapus secara administratif. Memang tidak semuanya berangkat. Ada sebagian kecil yang cuma diungsikan ke desa lain yang dianggap aman. Nah, para pengungsi inilah yang bikin ulah. Berangsur-angsur ada yang kembali ke kampung halaman. Semula alasannya mengurus panen dan menjual ternak. Tapi lama-lama mereka pun menetap lagi. Bahkan mereka mengangkat pejabat lurah berikut perangkat desanya. Dan sedikit demi sedikit desa hidup kembali. Berita ini rupanya sampai juga ke telinga bekas penduduk yang bertransmigrasi. Mendengar desanya aman -- tidak ketimpa lahar -- Sastrowiharjo, 40 tahun, meninggalkan Balau Kedaton, Tanjung Karang, kembali ke Kemiren bersama kelima anaknya. David Dawud Alasannya, "Kemiren kabarnya tambah baik, sedang di Kedaton masih tenang-tenang saja." Harjosupadi, 42 tahun, menyusul pula bersama 7 anak "karena di Sumatera keluarga saya sering sakit." Lurah Kemiren pun sudah pula menyusul -- tapi tidak mau menetap di desanya kembali. Tidak jelas berapa kk yang lari kembali pulang. Tapi penduduk Margomulyo kini 454 kk (2.224 jiwa) sedang Kemiren berpenghuni 158 kk (739 jiwa). Mereka lagi asyik membangun Balai Desa dan memperbaiki jalan-jalan. Mereka tenang-tenang saja, sebab menganggap Pemda "merestui" penghunian kembali itu. Buktinya "sejak 1973 pemerintah menarik Ipeda lagi," kata David Dawud, 39 tahun. Carik Desa Margomulyo. Bahkan 1977 lalu, desanya menerima bantuan Rp 150.000 untuk membangun saluran irigasi dan tahun berikutnya Rp 300.000 untuk sebuah jembatan. Kemiren bahkan pernah mendapat penghargaan dari Bupati Magelang lantaran kegiatan penarikan Ipeda. Di Jakarta, Dirjen Transmigrasi Kadarusno ternyata belum tahu penghunian kembali itu. Yang jelas, menurut peraturan, penghunian kembali itu tidak dibenarkan. "Tapi kita kan tidak bisa memaksa orang tinggal di satu tempat," katanya. "Mestinya begitu penduduk dipindahkan, Pemda langsung menghutankan desa iru dan menjaga agar tidak dihuni lagi," tambah Dirjen. Benarkah Pemda Magelang meresui penghunian kembali Kemiren dan Margomulyo? "Kami tak bisa berbuat apaapa, sebab sejak dikosongkan desa-desa itu tak pernah menerima ancaman langsung dari Merapi," kata Sakdullah, Ka Subdit Kesra Pemda MagelaJlg. Tapi ia membantah Pemda menganjurkan penduduk kembali pulang. Adapun soal Ipeda, katanya, itu merupakan "soal keadilan". Maksudnya: "Masa Margomulyo dan Kemiren yang hasilnya banyak tidak ditarik, sedang tanah lainnya di bagian bawah dipungut?". Dan soal bantuan, "itu masalah kemanusiaan, sebab di sana kan ada penduduknya," kata Sakdullah lagi. Direstui atau tidak yang paling masuk akal penjelasan David Dawud, Carik Margomulyo "Sejak 1930 desa ini tak pernah ketimpa lahar. Dan paling subur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus