DI lereng Merapi, Jawa Tengah, hujan mulai turun. Ini
mencemaskan jutaan kubik lahar di mulut Merapi setiap saat
mengancam desa sekitarnya. Dinas Vulkanologi pun berseru agar
penduduk berhati-hati, siap mengungsi. Pemda Kabupaten Magelang
juga menghimbau mereka agar suka bertransmigrasi.
Di saat gawat seperti itu, anehnya, justru ada 2 desa yang sudah
dinyatakan rawan -- dan karena itu dikosongkan-kini malah dihuni
kembali. Bahkan giat membangun. Yaitu Desa Margomulyo di
Kecamatan Dukun dan Kemiren di Srumbung, yang dalam daftar Dinas
Volkanologi termasuk "daerah kuning": Maksudnya daerah berbahaya
tingkat primer setiap saat bisa lenyap bila Merapi memuntahkan
lahar.
Dikelilingi Sungai Krasak, Bebeng dan Putih, Margomulyo dan
Kemiren sudah dikosongkan dari penduduk sejak 1960 lalu bersama
5 desa lainnya: Kuningan, Gimbal, Ngori, Brubukan dan Kaligesik.
Dari Margomulyo berangkat 275 kk bertransmigrasi ke Lampung.
Sedang dari Kemiren 150 kk menuju Tanjungkarang. Semuanya
dipimpin lurah masing-masing. Kedua desa itu bukan hanya
dikosongkan tapi berikutnya juga dihapus secara administratif.
Memang tidak semuanya berangkat. Ada sebagian kecil yang cuma
diungsikan ke desa lain yang dianggap aman. Nah, para pengungsi
inilah yang bikin ulah. Berangsur-angsur ada yang kembali ke
kampung halaman. Semula alasannya mengurus panen dan menjual
ternak. Tapi lama-lama mereka pun menetap lagi.
Bahkan mereka mengangkat pejabat lurah berikut perangkat
desanya. Dan sedikit demi sedikit desa hidup kembali. Berita ini
rupanya sampai juga ke telinga bekas penduduk yang
bertransmigrasi. Mendengar desanya aman -- tidak ketimpa lahar
-- Sastrowiharjo, 40 tahun, meninggalkan Balau Kedaton, Tanjung
Karang, kembali ke Kemiren bersama kelima anaknya.
David Dawud
Alasannya, "Kemiren kabarnya tambah baik, sedang di Kedaton
masih tenang-tenang saja." Harjosupadi, 42 tahun, menyusul pula
bersama 7 anak "karena di Sumatera keluarga saya sering sakit."
Lurah Kemiren pun sudah pula menyusul -- tapi tidak mau menetap
di desanya kembali.
Tidak jelas berapa kk yang lari kembali pulang. Tapi penduduk
Margomulyo kini 454 kk (2.224 jiwa) sedang Kemiren berpenghuni
158 kk (739 jiwa). Mereka lagi asyik membangun Balai Desa dan
memperbaiki jalan-jalan.
Mereka tenang-tenang saja, sebab menganggap Pemda "merestui"
penghunian kembali itu. Buktinya "sejak 1973 pemerintah menarik
Ipeda lagi," kata David Dawud, 39 tahun. Carik Desa Margomulyo.
Bahkan 1977 lalu, desanya menerima bantuan Rp 150.000 untuk
membangun saluran irigasi dan tahun berikutnya Rp 300.000 untuk
sebuah jembatan. Kemiren bahkan pernah mendapat penghargaan dari
Bupati Magelang lantaran kegiatan penarikan Ipeda.
Di Jakarta, Dirjen Transmigrasi Kadarusno ternyata belum tahu
penghunian kembali itu. Yang jelas, menurut peraturan,
penghunian kembali itu tidak dibenarkan. "Tapi kita kan tidak
bisa memaksa orang tinggal di satu tempat," katanya. "Mestinya
begitu penduduk dipindahkan, Pemda langsung menghutankan desa
iru dan menjaga agar tidak dihuni lagi," tambah Dirjen.
Benarkah Pemda Magelang meresui penghunian kembali Kemiren dan
Margomulyo? "Kami tak bisa berbuat apaapa, sebab sejak
dikosongkan desa-desa itu tak pernah menerima ancaman langsung
dari Merapi," kata Sakdullah, Ka Subdit Kesra Pemda MagelaJlg.
Tapi ia membantah Pemda menganjurkan penduduk kembali pulang.
Adapun soal Ipeda, katanya, itu merupakan "soal keadilan".
Maksudnya: "Masa Margomulyo dan Kemiren yang hasilnya banyak
tidak ditarik, sedang tanah lainnya di bagian bawah dipungut?".
Dan soal bantuan, "itu masalah kemanusiaan, sebab di sana kan
ada penduduknya," kata Sakdullah lagi.
Direstui atau tidak yang paling masuk akal penjelasan David
Dawud, Carik Margomulyo "Sejak 1930 desa ini tak pernah ketimpa
lahar. Dan paling subur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini