Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dekapan hari yang beranjak siang pada pengujung Agustus lalu di Pantai Gapang, kehidupan kawasan wisata di wilayah Sabang ini seperti sedang menggeliat. Jafaruddin, karyawan Gapang Resort tempat saya menginap, terlihat sigap melayani para tamunya. Wajah pemuda itu tampak semringah saat menyuguhkan kopi panas buat para tamu yang tengah menikmati hamparan pantai dari kedai penginapan. Sebulan terakhir ini memang mulai banyak lagi turis—baik domestik maupun asing—yang menginap di resornya. Setidaknya ada dua-lima turis per harinya. "Itu membuat saya bergairah kerja lagi," tutur pria Bireuen, Aceh Utara, itu.
Setelah status darurat militer dicabut sekitar tiga bulan lalu, Sabang kembali dibuka bagi wisatawan asing. Sabang, yang bertengger di ubun-ubun Sumatera, mewilayahi seluruh Pulau Weh berikut empat pulau kecil di sekitarnya: Klah, Rondo, Seulako, dan Rubiah. Dibandingkan dengan luas wilayah Pulau Sumatra yang misalnya diumpamakan sebesar telapak tangan, Sabang tak lebih dari sebesar kuku jari kelingking. Luasnya hanya 153 kilometer persegi. Tapi wilayah berpenduduk 26.573 jiwa itu mengoleksi panorama pantai dan taman laut yang memikat. Tak aneh, Sabang yang dikenal sebagai pelabuhan bebas sejak 1896 itu cukup dikenal hingga mancanegara lewat wisata baharinya.
Dalam kunjungan ke daerah wisata di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam itu—saya ditemani Yuswardi A. Suud (koresponden Tempo di Banda Aceh)—kami memulai perjalanan dengan kapal cepat dari pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue. Sabang, yang berjarak sekitar 18 mil laut dari Banda Aceh, bisa digapai melalui tiga jalur. Bisa naik pesawat dari Bandar Udara Iskandar Muda, dengan kapal feri dari Pelabuhan Malahayati, atau naik kapal cepat dari Ulee Lheue. Kami pilih yang terakhir karena relatif gampang dijangkau.
Setelah 40 menit di atas kapal cepat, kami tiba di Pelabuhan Balohan. Karena tak ada angkutan yang langsung ke Pantai Gapang dan Iboih, kami singgah dulu ke pusat Kota Sabang. Dari sana, kami menyewa mobil ke Gapang. Matahari telah condong ke barat kala kami tiba di pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu. Di ambang senja itu, suasana Gapang agak sunyi. Kami bermalam di Gapang Resort—satu di antara tiga penginapan yang ada.
Esoknya, kami bertandang ke Pantai Iboih. Hamparan pasir putih bersih pan-tai itu seperti menyambut kedatangan kami. Di lereng-lereng perbukitan sepanjang pantai berderet puluhan pondok kecil dari kayu beratap rumbia yang disewakan. Siang itu, sejumlah turis tampak asyik menikmati siraman sinar matahari pantai. Sedangkan di pondok Rubiah Tirta Divers, lima orang turis asing terlihat sibuk mempersiapkan peralatan selamnya. "Saya gembira Pantai Iboih mulai ramai lagi dikunjungi turis asing," ujar Pak Doden, orang tua yang sejak 1989 membuka usaha penyewaan peralatan menyelam di sana.
Persis di seberang Pantai Iboih, Pulau Rubiah tergelar. Inilah pulau yang menyimpan taman laut. Aneka biota laut dan terumbu karang jenis keras dan lembut bisa dijumpai di sana. Berbagai ikan hias dan sejumlah ikan karang—seperti, kerapu, kakap, napoleon, dan kepe-kepe—berseliweran. Kekayaan taman laut Rubiah tak kalah menakjubkannya dibandingkan dengan Bunaken di Sulawesi Utara. Bahkan sebagian penyelam menyatakan taman bawah laut Rubiah setara dengan taman laut Maldives (Maladewa) di perairan selatan India.
Benar saja. Saat perahu sewaan yang kami tumpangi melintasi perairan dangkal menuju Pulau Rubiah, terumbu karang terlihat jelas dari permukaan. Tak ada buih ombak, sehingga panorama bawah laut tampak seperti bagian dalam akuarium yang hanya dibatasi kaca bening. Selain hamparan terumbu karang berwarna-warni, aneka jenis ikan hias berwarna kuning, merah, dan ungu berlenggak-lenggok. Keindahan itu membentuk mozaik alam bawah laut Rubiah yang menyejukkan mata. Selama sekitar dua jam, kami berkeliling dengan perahu yang dirancang khusus untuk menikmati pemandangan taman bawah laut itu.
Ada sepenggal cerita dalam masyarakat setempat tentang taman laut di perairan Pulau Rubiah itu. Syahdan, ada seorang putri jelita di Pulau Weh yang memohon kepada Sang Mahakuasa agar daratan di sana, termasuk di Pulau Rubiah, tak lagi gersang. Demi permohonannya itu, sang putri pun rela membuang seluruh perhiasan miliknya ke laut sebagai "kaulnya". Tak lama berselang, hujan deras pun tumpah dari langit, disusul gempa bumi dahsyat. Putri jelita itu sendiri kemudian menceburkan diri ke laut. "Nah, akibat putri itu terjun ke laut, terbentuklah taman laut yang indah," tutur Pak Doden.
Selain menikmati wisata bahari, rasanya tak lengkap bila melancong ke Sabang tak menyempatkan diri berkunjung ke Tugu Kilometer Nol di Ujong Ba'u. Tugu yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Sabang itu merupakan tempat paling barat wilayah Indonesia. Ditemani Iwan, seorang petugas pariwisata, kami memulai perjalanan dari gerbang Gapang Resort dengan menumpang sedan. Dari sana, lokasi tugu itu hanya berjarak kira-kira enam kilometer.
Pagi itu, kami menyusuri jalan beraspal selebar dua meter di tepi pantai. Karena kondisi alamnya berbukit-bukit, rute yang dilewati naik-turun, berkelok-kelok, dan terkadang menikung tajam. Sekitar tiga kilometer menjelang tujuan, kami memasuki kawasan hutan lindung. Pohon-pohon cukup tinggi. Semakin dalam memasuki kawasan itu, pepohonan kian rimbun. Sinar matahari pagi yang perkasa seperti tak kuasa menerobos. Suasananya lembap. Batu-batu tertutup lumut tebal. Daun-daun kering menutupi badan jalan. Sempat juga kami berpapasan dengan segerombolan monyet yang bermalas-malasan di pinggir jalan hutan. Kawanan primata itu tampak kaget melihat kehadiran kami.
Begitu tiba di lokasi, kami disambut sebuah tugu bercat putih yang menjulang tegak di antara rimbun pepohonan. "Anda memasuki kawasan KM Nol Negara Re-publik Indonesia," begitu bunyi kalimat yang tertera di papan dekat tugu itu. Di puncak tugu berundak tiga setinggi sekitar 20 meter itu tertancap angka 0 (nol). Agak ke bawah, bertengger patung burung garuda menghadap ke laut lepas. Di bagian utama tugu, terpahat prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografis tempat itu: 05 54' 21.42" Lintang Utara dan 95 13' 00.50" Bujur Timur, yang ditandatangani Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, bertarikh 24 September 1997.
Dari wilayah berketinggian 34,6 meter di atas permukaan laut itu, saya bisa memandang lepas ke Samudra Hindia. Deburan ombak bergulung-gulung dan gemeresik dedaunan benar-benar sebuah kenikmatan yang selama ini tak lagi pernah singgah. Suasana sepi ikut pula bersekutu menyihir saya. Nun di seberang kiri terhampar Pulau Nasi, pulau yang pernah direncanakan oleh pemerintah sebagai penjara bagi anggota Gerakan Aceh Merdeka yang tertawan. "Pulau itu rencananya dijadikan semacam Alcatraz-nya Indonesia," kata Iwan membuyarkan lamunan saya.
Matahari mendaki tinggi, hari beranjak siang, tapi suasana tetap sepi. Benar-benar sepi.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo