Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arman A.Z.
Penulis sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di sini bukan desa tertinggal, tapi desa yang ditinggalkan...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat bernada satire itu membuat saya tercekat. Saya cegah kepala saya yang hendak menoleh ke kanan, ke arah sumber suara. Lelaki paruh baya itu baru selesai mandi sore. Aroma wangi menguar dari tubuhnya. Dia mengenakan kaus abu-abu lengan panjang dan kain sarung cokelat bermotif kotak-kotak. Kami baru beberapa menit berkenalan, namun celetukannya barusan seolah-olah menyadarkan saya bahwa ada perih masa silam di balik keindahan Pulau Pisang, yang tidak atau belum banyak diketahui orang lain.
Sembari menunggu azan magrib, dia singgah ke homestay tempat saya menginap. Dari pemilik homestay yang nimbrung mengobrol, saya mendapat info bahwa lelaki itu bekerja di Krui, ibu kota Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang lokasinya di seberang Pulau Pisang. Ia bekerja sebagai sopir travel atau sopir truk. Dua minggu sekali dia pulang karena anak-istrinya masih ada di pulau itu.
Kami duduk di beranda rumah panggung. Persis di seberang jalan, ada rumah yang kondisinya mengenaskan. Beberapa sisi temboknya terkelupas hingga susunan bata terlihat jelas, genting melorot bahkan hancur di sana-sini, lubang jendela menganga, dan halaman tak berpagar dipenuhi belukar. Rumah itu telah lama ditinggalkan pemiliknya. Sama seperti puluhan rumah lain di Pulau Pisang.
Pulau Pisang terletak di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Di era Hindia Belanda, pulau ini masuk dalam Keresidenan Bengkulu. Sejak 1980, Pulau Pisang masuk wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Seiring dengan otonomi daerah, terbentuklah Kabupaten Pesisir Barat yang beribu kota di Krui.
Krui adalah destinasi peselancar mancanegara. Banyak spot selancar yang menantang di sana. Jika ombak sedang tidak bersahabat, sejumlah peselancar dan turis-turis bule serta turis lokal bertandang ke Pulau Pisang untuk menikmati suasana berbeda.
Untuk sampai ke Pulau Pisang, kita harus menuju Krui lebih dulu. Dari Bandara Radin Inten II, Bandar Lampung, menuju Krui dapat ditempuh sekitar tujuh jam perjalanan darat. Ada dua pilihan jalur untuk sampai ke Krui: lintas barat atau lintas tengah. Jika memilih lintas barat Sumatera, kita akan melewati Kota Pringsewu-Kotaagung-Krui. Sedangkan di rute lintas tengah, kita akan melewati rute Bandar Jaya-Kotabumi-Bukit Kemuning-Liwa-Krui. Kedua jalur tersebut melewati jalan raya yang turun-naik meliuk-liuk. Kita juga akan melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Untuk menuju Pulau Pisang, kita bisa menggunakan perahu tradisional (jukung) dari dua dermaga tradisional di Krui, yakni Kuala Stabas dan Tebakak. Jika memilih dari Kuala Stabas di Krui, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam. Sedangkan jika berangkat dari dermaga Tebakak, perjalanan hanya 20-30 menit.
Jika cuaca cerah, gelombang laut tidak begitu tinggi sehingga tidak perlu merasa cemas. Namun, saat cuaca sedang tak bersahabat, baiknya keberangkatan ditunda. Bagi yang baru pertama kali menaiki jukung, santai saja. Percayakan saja perjalanan pada nelayan. Sebab, terbiasa hidup di lautan, mereka menjadi lebih memahami cuaca dan alam.
Setiba di dermaga Pulau Pisang, kita langsung disambut pemandangan indah: bentangan pasir putih, deretan pohon kelapa yang menjulang, juga debur ombak menyentuh bibir pantai. Dermaga semen berbentuk L yang bersebelahan dengan pasir putih membentang adalah spot pertama yang cocok untuk berfoto, terlebih lagi dermaga itu jarang dimanfaatkan. Para nelayan memilih menambatkan perahu di pasir pantai.
Hampir semua jalan setapak di Pulau Pisang telah disemen. Wisatawan dapat berjalan kaki menyusuri perkampungan. Jika menyewa sepeda motor untuk mengelilingi pulau hingga ke puncaknya, niscaya perjalanan dapat diselesaikan kurang dari satu hari.
Pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini mungkin akan heran melihat banyak rumah kosong melompong tak terawat. Banyak bagian rumah bahkan sudah hancur; entah atap, jendela, atau pintunya. Di balik lengang Pulau Pisang dan rumah-rumah berwajah murung yang ditinggalkan penghuninya, ada kisah panjang tentang kejayaan pulau dan penghuninya.
Pada era penjajahan Inggris dan Belanda, Pulau Pisang terkenal sebagai penghasil cengkih. Hingga 1970-1980-an, pemilik kebun cengkih di Pulau Pisang hidup sejahtera, bahkan berlimpah harta. Banyak cerita romantis, konyol, sekaligus lucu pada masa kejayaan cengkih. Namun kebijakan pemerintah Orde Baru yang membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada 1992 membuat era cengkih runtuh.
Kebijakan itu mewajibkan petani menjual cengkih ke Koperasi Unit Desa untuk selanjutnya dibeli oleh BPPC. Monopoli pembelian cengkih oleh BPPC membuat badan yang dipimpin Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto itu bebas memainkan harga. Mereka membeli cengkih semurah-murahnya, lalu menjual semahal-mahalnya. Akibatnya, harga cengkih yang dijual petani pun hancur.
Ketika harga cengkih anjlok ke titik nadir, para petani cengkih terkena dampak parah. Satu per satu para penghuni pulau itu, terutama yang tidak memiliki tanah atau kebun, memilih keluar dari pulau demi mencari kehidupan yang lebih baik. Rumah mereka ada yang dijual atau ditinggalkan begitu saja. Yang bertahan di Pulau Pisang adalah mereka yang memiliki kebun cengkih, jengkol, atau tanaman kebun lainnya. Selebihnya anak-anak atau mereka yang sudah uzur.
Mereka yang lama merantau pun jarang pulang ke Pulau Pisang. Bahkan ada yang tidak pernah kembali sama sekali. Barangkali, di benak mereka, pulau itu tak menjanjikan apa-apa lagi, dan tak ada yang tersisa untuk diharapkan.
Ya, sebagaimana disampaikan lelaki paruh baya yang baru saya kenal sore itu, Pulau Pisang adalah pulau yang ditinggalkan, bukan pulau tertinggal. Saya jadi mafhum kenapa pulau ini lengang sepanjang hari. Ah, rumah-rumah yang menunggu pemiliknya pulang menjenguk, rumah-rumah yang pasrah menunggu musim dan cuaca membuatnya rata dengan tanah, alangkah baiknya diberdayakan menjadi homestay oleh pemiliknya.
Terlebih lagi, pada 2018 listrik akhirnya menjangkau Pulau Pisang melalui kabel bawah laut. Sebelumnya, warga mengandalkan genset untuk penerangan kala malam. Inilah ironi lain di balik keindahan alam Pulau Pisang.
Berkeliling Pulau Pisang sampai ke puncaknya, bisa dilakukan dalam beberapa jam saja. Namun ada baiknya menginap barang satu malam agar puas menyusuri pulau. Tak usah khawatir jika ingin bermalam. Ada cukup banyak penginapan di pulau ini: homestay dengan harga murah sudah termasuk makan tiga kali sehari, juga cottage di pinggir pantai yang harganya tentu lebih tinggi. Karena dikelilingi laut, tentulah menu yang kerap dihidangkan adalah ikan segar. Oh ya, jangan lupa mencicipi bakso ikan yang dijual di warung-warung. Rasa dan sensasinya berbeda dengan bakso daging sapi umumnya.
Ada beberapa obyek menarik dan wajib dikunjungi di Pulau Pisang. Selain alam, ada wisata sejarah dan botani. Tidak jauh dari dermaga, ada sekolah peninggalan Belanda. Usianya sudah ratusan tahun. Bentuknya tidak banyak berubah, konon menggunakan kayu jati dan merbau. Sekolah ini masih berfungsi. Jika melintasinya pagi atau siang, kita akan mendengar riuh-rendah suara anak-anak yang sedang belajar di dalam kelas.
Masih di sekitar dermaga, ada permakaman Belanda yang sebagian besar telah dihancurkan. Kita hanya bisa melihat jejaknya, berupa makam-makam tanpa nisan. Di satu simpang jalan, ada Tugu Merdeka, tugu sederhana dipagari semen berbentuk segi tiga.
Dahulu, di puncak Pulau Pisang ada mercusuar peninggalan Belanda. Sayang, bangunan tinggi menjulang itu telah dirobohkan beberapa tahun silam, yang tentu saja seperti menenggelamkan salah satu jejak sejarah pulau itu. Di lokasi itu kini berdiri mercusuar besi. Sedangkan yang masih tersisa di lokasi mercusuar itu hanyalah bak penampungan air dan fondasi rumah.
Adapun obyek wisata alam yang populer adalah Batu Guri. Letaknya menjorok di laut, tidak jauh dari pantai. Batu Guri adalah batu alam berukuran besar berbentuk elips. Sepintas bentuknya menyerupai wajah manusia. Pantai di dekat Batu Guri dipenuhi batu karang dan rumput laut. Air laut di sekitar Batu Guri yang jernih menjadikannya spot menarik untuk berfoto. Selain itu, ada pantai Batu Tiga, berupa tiga batu alam yang letaknya tidak berjauhan. Ukuran ketiga batu itu lebih kecil dari Batu Guri.
Sementara para lelaki di Pulau Pisang beraktivitas di kebun dan laut, kaum wanita dewasa punya kesibukan lain. Banyak dari mereka yang menenun kain Krui. Siang hingga petang, ibu-ibu berkumpul menenun kain. Ibu-ibu itu bekerja bergantung pada pesanan. Biasanya pemesan berasal dari luar Lampung, seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Jika beruntung bisa melihat mereka bekerja, kita akan terpukau melihat benang emas memadati kain berwarna merah marun. Cara pengerjaan kain Krui masih tradisional, menggunakan tangan. Karena itulah harga jualnya mencapai jutaan rupiah.
Setelah puas berkunjung ke berbagai tempat, termasuk menyaksikan aktivitas warga, susurilah lereng-lereng bukit hingga puncak Pulau Pisang. Kita akan menyaksikan sisa-sisa kejayaan cengkih di sana. Batang-batang pohon cengkih masih berderet tertata rapi dengan rerumputan mewarnai di sekitarnya. Jika beruntung, kita akan memergoki cengkih yang sedang dijemur di halaman rumah-rumah penduduk.
Barangkali, ketika perahu jukung yang kita tumpangi bergerak meninggalkan dermaga untuk kembali ke Krui, di antara debur ombak dan amis ikan dalam keranjang, kita akan menghidu aroma cengkih Pulau Pisang.
Kenangan Cengkih di Pulau Pisang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo