Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Kisah sedih anak wayang

Grup wayang orang ngesti pandowo yang telah berumur 30 th mengalami kelumpuhan, karena kurangnya penonton, pendapatannya tak cukup untuk menutupi kebutuhannya, nasib ini juga melanda grup-grup hiburan lainnya.(hb)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG pertunjukan itu senyap. Grup wayang orang Ngesti Pandowo tidak mentas. Padahal sudah 30 tahun lebih teter tradisional yang terkenal di Jawa Tengah ini setiap malam bermain di Gedung GRIS Jalan Pemuda, di jantung Kota Semarang yang ramai itu. Tapi mandeknya Ngesti Pandowo sebenarnya tidak aneh. Bukan hanya faktor-faktor di dalam menyebabkan ia lumpuh. Tapi juga kenyataan bahwa ia, seperti banyak grup tradisional lain, kalah berlomba dengan waktu. Memang banyak grup yang mengalami kemerosotan serius. Ngesti Pandowo sendiri misalnya, para pemainnya tidak lagi 100% "loyal". Paling tidak tentunya menurut anggapan pimpinannya, Sastro Sudirdjo. Laki-laki 70 tahun ini, tidak berdaya melarang anak-buahnya beramai-ramai bermain ketoprak di Pati. "Saya tidak mengajak. Mereka sendiri yang ikut," kilah Nartosabdho. yang memimpin rombongan ngamen di Pati itu. Dalang wayang kulit yang sangat terkenal ini sering diundang ke kota-kota lain. Narto tidak punya grup ketoprak atau wayang orang, tapi ia memang memenuhi undangan main ketoprak di Pati --dengan para pemain Ngesti Pandowo. Barangkali ia malah bermaksud membantu teman-temannya sealmamater. Narto sendiri dibesarkan oleh Ngesti. Didirikan di Temanggung, Jawa Timur, 1937, sebenarnya sudah sejak 10 tahun terakhir ini pamor Ngesti merosot. Setiap malam hanya 10-15 % dari 1.000 lembar karcis yang terjual. Padahal karcis paling mahal (VIP) hanya Rp 750. Ini membikin pusing kepala Sastro, sebab untuk membayar sewa gedung saja sebulan ia harus mengeluarkan Rp 50.000 lebih. Belum lagi membayar imbalan para pemain dan karyawan, antara Rp 150-Rp 750 per orang setiap malam. Sedikitnya ada 100 kk yang menggantungkan nasib pada Ngesti. Mereka juga harus dipenuhi kebutuhan lainnya seperti perawatan kesehatan, juga pembayaran uang sekolah bagi 60 anak karyawan. Untuk menutupi utang-utangnya, Sastro sempat menjual tanahnya seluas 900 m2 seharga Rp 8 juta, 1974. Bahkan bulan lalu menjual seperangkat gamelan slendro pelog yang sudah berusia 70 tahun seharga Rp 10 juta, kepada seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Jakarta. "Saya terpaksa bekerja sendiri. Yang mengaku dibesarkan oleh Nesti tidak pernah lagi memikirkan," kata Sasto mengeluh . Ia menunjuk Kusni, bekas pimpinan Ngesti, dan Nartosabdho. "Saya resminya masih menjadi penasihat. Dulu saya pernah memberi beberapa saran, tapi tidak diperhatikan," sahut Kusni. Nartosabdho menyerang lebih telak. "Pimpinan Ngesti harus kolektif seperti dulu. Pimpinan yang sekarang ini tidak mengerti kesenian," katanya. Mungkin. Tapi nasib buruk tidak hanya dialami oleh Ngesti. Grup wayang orang dan ketoprak Sri Wanito, dekat Pasar Dargo, Semarang, sudah berusia 40 tahun. Ia lebih parah: semalam hanya sekitar Rp 5.000 saja uang karcis yang masuk. Padahal tak kurang dari 60 pemain yang setiap hari membayar-tanpa tambahan uang beras, kesehatan, transpor. Wayang orang Wahyu Budoyo, atau grup ketoprak di THR Tegalu areng, bernasib sama. MESKI begitu para seniman rakyat itu cukup gigih. Misalnya Radjiman, 48 tahun, pimpinan wayang orang Wiromo Budoyo di THR Yogyakarta. Subsidi bulanan Pemda sekitar Rp 200.000 (dibagi rata 50 orang) tentu tak mencukupi. Apalagi karcis yang terjual setiap malam rata-rata 25 lembar, itu pun sebagian besar karcis kelas III seharga Rp 200. Karcis kelas I dan II sangat jarang laku. Tapi, katanya, "kami memang tidak mengharapkan nafkah dari Wiromo. Tapi kami tetap akan mempertahankannya." Minat penonton sejak 1977 merosot. "Malah kami pernah main dengan penonton 10 orang, ditambah beberapa keluarga kami sendiri." Mereka memang nekat, meskipun setiap malam rata-rata hanya mendapat imbalan Rp 75 - Rp 100. Maka seperti halnya grup-grup lain, di luar panggung para pemain Wiromo juga bekerja apa saja: jadi kernet bis, pengumpul koran bekas, tukang becak, tukang loak, penjual minuman, calo, bahkan ada yang mencari puntung. Nasib seperti itu jua melanda wayang orang Sriwedarl Sala yang sudah puluhan tahun. Setiap,malam penontonnya cuma puluhan. Malah pernah hanya seorang turis asing saja yang menikmati. "Tiada lain usaha kami kecuali bertahan," ujar Martoyo, 64 tahun, sutradaranya. Martoyo merasa tidak berkewajiban memajukan grupnya. Sebab hal itu dianggapnya urusan Pemda Kotamadya Surakarta. Para pemain wayang orang Sriwedari setiap malam mendapat honorarium sama rata Rp 400 per orang, ditambah insentif bulanan antara Rp 2.000 sampai Rp 5.000 per orang. Sejak zaman baberapa mereka diberi janji akan diangkat jadi pegawai negeri, namun sampai saat ini hal itu masih menjadi impian. Merosotnya minat penonton juga melanda wayang orang Sri Wandowo, di THR Surabaya. "Setiap malam cuma 50 orang," kata pimpinannya, Kol (purn.) Soemarsono. Grup-grup sandiwara Sunda, yang bermain di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung (YPKB) di Jalan Naripan yang cukup strategis itu, bagaimana? sarwa wae, alias sami mawon. Dua tahun belakangan ini jumlah penonton hanya sekitar 50 dari 600 kursi yang terisi, setiap malam. Padahal yang tampil di panggung pemain-pemain top--gabungan dari lima grup sandiwara: Sri Murni, Dewi Murni, Sri Mukti, Swadaya, dan Sanggar Vikta. Orang Sunda tampaknya lebih gemar nonton wayang golek setiap malam Minggu yang selalu berakhir subuh, sementara sandiwara hanya sampai pukul 23.00. Dengan karcis Rp 500, rata-rata 300 sampai 400 penonton bisa diandalkan selalu hadir. Wayang golek Sunda yang laris ini mulai dipentaskan sejak 1950. "Malah akhir-akhir ini nampaknya ada kecenderungan jumlah penonton meningkat," ujar A.S. Basiri, 47 tahun, Kepala Pelaksana Harian YPKB. Merosotnya jumlah pengunjung, terutama selama dasawarsa terakhir, tentunya disebabkan oleh semakin mudahnya orang mendapatkan pilihan lain. Contoh dari tanah Sunda itu, larinya penonton sandiwara ke wayang golek, sudah merupakan bukti. Jangan dikata lagi saingan berupa film, televisi, dan sekarang video. rtu herarti pengurus sebuah grup memang mesti pandai-pandai ber"improvisasi", misa.lnya bersama dengan orang luar yang populer. Sri Wandowo di THR Surabaa minggu depan ini mendatangkan beberapa pemain ketoprak dari Jawa Tengah. Bahkan pada posternya tercantum nama Nartosabdho sebagai sutradara. Pernah pula grup ini memancing penonton dengan mengundang pelawak Kardjo AC/DC. Hal serupa juga dilakukan oleh Srimulat Jakarta. Pernah mengundang Jojon, Ateng, Bagio, Bokir, dan akhir bulan ini Lidya Kandou. Ludruk Mandala, yang kini sedang main di Pasar Seni Ancol, Jakarta, tak segan pula mementaskan cerita dengan pemain gabungan dari beberapa grup ludruk. Grup ini juga pernah memanggil Ateng dkk. atau penyanyi Mamiek Slamet. Bahkan grup wayang orang Bharatadi Kalilio-Senen, Jakarta, tak tanggung-tanggung: Maret lalu sempat bermain bersama tokoh pantomim Prancis yang terkenal, Pradel. Yang jelas, pasaran hiburan di Jakarta ternyata lebih ramai. Karcis Rp 2.500 dengan mudah terjual habis, terutama di malam Minggu. "Orang Jakarta kan mudah buang duit," ujar Teguh, 52 tahun, pimpinan Srimulat Jakarta, yang kini main di Taman Ria Remaja Senayan. Srimulat kini punya 2 cabang, Surabaya dan Sala. Tapi tetap saja, "penonton di Surabaya tetap yang paling banyak," kata Teguh lagi --- dibanding dengan Jakarta. Itu berarti bahwa bukan faktor 'suka buang duit' itu benar yang jadi ukuran. Yang agak sepi Srimulat cabang Sala, meski penanggung jawabnya Djudjuk sendiri, sang primadona yang juga istri Teguh itu. Menurut Teguh, merosotnya penggemar teater tradisional seperti Ngesti Pandowo sebetulnya, antara lain, karena pertunjukannya yang monoton. Hampir tidak pernah melakukan pembaruan. Juga kurang menampilkan ekspresi. Pemain yang menangis misalnya, cukup menutup muka dengan selendang, sementara sang dalang bercerita bahwa sang tokoh sedang menangis. Dengan kata lain, sementara zaman berubah, pembaruan telah mandek di Ngesti Pandowo. Sebab jangan dilupakan, grup inilah yang -- misalnya--tercatat pertama kali menyuguhkan adegan terbang untuk Gatutkaca misalnya, di aman ketika adegan terbang dalam film pun belum populer. Atau menyuguhkan barisan prajurit lengkap dengan pasukan gajah bikinan, diiringi gending yang hebat. Nartosabdho, di samping juga Sastro Sudirdjo, ambil peranan dalam berbagai pembaruan itu. Sekarang memang tetap ada Gatutkaca terbang. Tapi apa lagi anehnya, di tahun 1982 ini? Dengan kata lain, seperti juga ditulis budayawan Umar Kayam di harian Kompas, yang dibutuhkan grup yang mau bertahan tak kurang dari tenaga-tenaga 'pemikir'. Untunglah akhirnya Gubernur Supardjo Roestam turun tangan. Bahkan Wallkota Semarang Imam Suparto menjanjikan anggaran khusus lewat APBD, mulai tahun depan, untuk Ngesti Pandowo. "Setiap bulan akan saya bantu Rp 2.500 setiap orang." Namun bagi Supangat, 42 tahun, pimpinan wayang orang Bharata, Jakarta, bantuan seperti itu 'kan tidak mungkin diterima terus-menerus. "Bahkan dengan mendapat bantuan, para seniman tidak bisa kreatif," katanya. Meski begitu cepat-cepat ditambahkannya: "Tapi sesungguhnya saya ngiri juga, mengapa cuma Ngesti yang diperhatikan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus