Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Defisit indonesia dimata bank dunia

Laporan Bank Dunia tentang ekonomi Indonesia 1982. defisit neraca pembayaran kian membesar, bank dunia menganjurkan Indonesia untuk mencari pinjaman dan mempercepat laju pembangunan. (eb)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua pendapat tentang apakah Indonesia harus meningkatkan laju pembangunannya pada saat penghasilan ekspor di luar minyak menurun, dJn pada saat dia kehilangan US$ 10 juta sehari dari produksi dan ekspor minyak yang berkurang. Pendapat yang satu mengatakan sebaiknya Indonesia mengurangi kecepatan pembangunannya dengan menunda beberapa proyek yang membutuhkan banyak devisa. Pendapat ini umumnya berasal dari kalangan ekonom swasta, terutama dari beberapa bank AS. "Indonesia harus menunda beberapa proyek, dan menundanya untuk jangka waktu lama," demikian kata Eric Rasmussen, ekonom pada Chemical Bank of the US, yang berkedudukan di Singapura. Mereka yang berpendapat Indonesia harus menurunkan kegiatan pembangunannya mendasarkan argumennya bahwa memaksakan pembangunan di saat cadangan devisa terus berkurang bisa menimbulkan krisis yang lebih buruk. Pendapat kedua mengatakan, justru Indonesia harus mempercepat laju pertumbuhan ekonominya sekalipun dana yang tersedia berkurang. Pendapat ini berasal dari Bank Dunia. Dalam laporannya tentang ekonomi Indonesia 1982, Bank Dunia mengemukakan, Indonesia tidak bisa memperlambat laju pembangunan, karena ada alasan yang cukup mencekam delapan tahun lagi 20 juta orang akan membanjiri pasaran tenaga kerja, dan harus memperoleh pekerjaan. Dari sensus terakhir ternyata, hampir separuh dari 147 juta penduduk Indonesia berumur di bawah 17 tahun. Banyak pertanyaan tentunya akan dialamatkan kepada Presiden Bank Dunia Clausen, yang akan mengunjungi Indonesia antara 25 - 30 Oktober. Sebab pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengikuti anjuran Bank Dunia. Ketika melantik para anggota baru MPR, Presiden Soeharto menyatakan tekadnya bahwa "kita akan melanjutkan kebijaksanaan yang selama ini sudah memberikan hasil, dan harus meneruskan laju pembangunan ekonomi kita lebih cepat lagi." Yang menjadi pertanyaan, kalau pertumbuhan ekonomi akan tetap dipertahankan, dari mana dananya harus dicari? Bank Dunia memperkirakan, untuk menutup defisit dari menurunnya ekspor, Indonesia memerlukan tambahandana US$ 12 milyar selama empat tahun mendatang. Dari jumlah ini, US$9 milyar bisa berasal dari IGGI, dan sisanya US$3 milyar harus dicari dari bank-bank komersial swasta. Utang luar negeri Indonesia sendiri sekarang sudah mencapai US$ 15 milyar, jumlah rekor terbesar sejak krisis keuangan Pertamina pada 1976. Utang sebesar itu sebagian merupakan pinjaman dari bank-bank swasta luar negeri. Pinjaman dari bank-bank swasta itu bukan hal yang baru bagi Indonesia. Sudah beberapa kali pemerintah Indonesia menerima pinjaman dari bank-bank swasta. Akhir tahun lalu dan awal tahun ini saja, pemerintah menerima masing-masing US$ 300 juta pinjaman dari sindikat beberapa bank swasta luar negeri. Ketika menghadiri pertemuan Dewan Moneter Internasional (IMF) di Toronto baru-baru ini, Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh dan Menteri Keuangan Ali Wardhana menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengan beberapa bankir swasta. Lobbymg seperti itu memang perlu. Karena pinjaman dari bank swasta mempunyai bunga yang lebih ini dari pinjaman yang berasal dari IGGI atau Bank Dunia, penting sekali bagi pemerintah untuk tawar-menawar bunga yang harus dibayar. Sialnya, sekarang bukan waktunya lagi bank untuk bersikap mudah dalam tawar-menawar bunga pinjaman ini. Ketidaksanggupan Meksiko, Polandia, Brazil dan beberapa negara lain untuk membayar pinjaman kepada bank-bank, telah menimbulkan kerugian besar bagi bankbank swasta ini. Trauma ini masih tebal, dan sulit sekali bagi bank untuk memberi bunga yang 'miring' pada pinjamannya. Prancis baru-baru ini harus membayar bunga 0,5% di atas Libor (tingkat bunga pinjaman antarbank di London) untuk pinjaman US$4 milyar yang diperlukan untuk dana pendukung mata uangnya. Tingkat itu adalah terkini yang pernah terjadi. Sekarang beberapa bank malah mengaitkan bunga pinjamannya dengan bunga dasar (prime rate) yang diberikan bank-bank AS untuk nasabah-nasabah utamanya. Bunga ini memang cukup tinggi. Malaysia merupakan negara yang terkena tingkat bunga ini, untuk pinjamannya yang US$ 1,1 milyar baru-baru ini. Untungnya, Indonesia masih dinilai lain oleh bank-bank swasta. Untuk pinjaman US$ 250 juta yang baru-baru ini diperoleh dari sindikat bank terdiri dari Bank of Tokyo, Chase Manhattan, Lloyd Bank of London dan sebuah bank pemberi kredit jangka panjang Jepang, Indonesia masih dikenakan 0,375% di atas Libor, sama seperti bunga untuk pinjaman sebelumnya. Jangka waktunya 10 tahun, dan pembayaran kembali di mulai lima tahun sesudah penandatanganan perjanjian. Sebelumnya, dua bank Arab masing-masing Gulf International dan Saudi International Bank telah setuju memberi pinjaman kepada Indonesia sebesar US$ 75 juta, dengan bunga sedikit di bawah sindikat empat bank tadi: 0,25% di atas Libor. Apakah bank-bank swasta ini akan terus bersikap murah terhadap Indonesia, akan tergantung pada apa yang akan terjadi pada ekonomi Indonesia. Rupiah yang terus merosot, defisit neraca pembayaran yang makin besar, merupakan dua hal yang bakal diperhatikan oleh bank-bank swasta asing itu. Beberapa pejabat pemerintah juga tak serta merta menyambut anjuran Bank Dunia itu. "Memang anggaran yang sekarang terasa paling berat, tapi kita perlu berhati-hati jangan sampai menumpuk utang dari bank-bank asing," kata seorang pejabat ekonomi. Kisah Meksiko, negeri minyak yang dilanda utang komersial itu, agaknya membuat Indonesia lebih selektif dalam mencari utang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus