Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kuil-kuil yang Dikepung Keindahan

Dilatari pemandangan indah, kuil-kuil bersejarah berserakan di Kamakura. Wartawan Tempo Untung Widyanto mampir ke sana saat berkunjung ke Jepang.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak sabar saya ingin segera mencicipi keindahan Kamakura, kota kecil yang terletak 45 kilometer barat daya Tokyo. Perjalanan dengan bus selama satu jam dari ibu kota Jepang, pertengahan Oktober lalu, terasa lama. Tidak hanya pemandangan alamnya yang istimewa, Kamakura juga menyimpan puluhan kuil Shinto dan Buddha yang bersejarah.

Kebosanan saya sirna setelah melewati jalan yang semakin menanjak dan berkelok-kelok. Saya dan rombongan mulai memasuki Kota Kamakura, yang berudara sejuk mirip kawasan Cisarua, Puncak, Jawa Barat. Kota seluas 39,6 kilometer persegi ini dihuni oleh 180 ribu jiwa.

Dikenal sebagai kota wisata dan budaya, Kamakura dipenuhi oleh kuil. Pegunungan mengepungnya dari tiga penjuru. Di satu penjuru mata angin lainnya, tampak Teluk Sagami yang berada di bibir Samudra Pasifik.

Begitu saya turun dari bus, angin pegunungan langsung menelusup ke tubuh. Saya berjalan kaki mengelilingi Kuil Tsurugaoka Hachiman, salah satu kuil yang bersejarah. Kompleks kuil Shinto ini meliputi Kuil Wakamiya di bagian bawah dan Kuil Jogu yang bertengger di atas. Pohon ceri yang rindang di kanan-kiri memagari jalan masuk menuju kuil. Di pantai Sagami, deburan ombak menggulung pasir putih.

Bisa jadi, suasana itulah yang membuat Kawabata Yasunari, sastrawan Jepang penerima hadiah Nobel 1968, memutuskan menetap di kota ini. Sejumlah novel Kawabata yang lahir di Osaka pada 1899 mengambil setting Kamakura.

Tidak hanya Kawabata, sejumlah sastrawan Jepang ternama lainnya juga menjadikan kota ini sumber inspirasi. Sebut saja Natsume Soseki, yang menulis novel berjudul Mon (Gerbang), dan Akutagawa Ryunosuke, yang mengarang Rashomon. Bahkan filsuf Suzuki Daisetsu pun perlu menetap di Kamakura untuk meneliti tentang Zen, salah satu sekte Buddha.

Sepuluh meter menjelang kuil Wakamiya terdapat bangunan beratap rumbia. Di bawahnya ada air yang mengucur melalui sejumlah lubang dari sebatang bambu. Saya lihat beberapa pengunjung dewasa mengambil gayung mini untuk menangkap air. Seperti layaknya umat Islam berwudu, mereka membasuh tangan dan berkumur.

Di altar kuil, mereka menangkupkan kedua tangan dan membungkukkan diri. Doa yang dipanjatkan mengiringi langkah mereka menuju Kuil Jogu, yang terletak di bagian atasnya.

Sekitar lima puluh anak tangga harus saya lalui untuk mencapai Kuil Jogu. Ketika baru lima langkah berjalan, saya berpapasan dengan pohon ginko, sejenis beringin yang berdiri tegak dan daunnya menutupi kuil. Di depannya terpampang tulisan yang menceritakan sebagian sejarah Jepang.

Pohon raksasa itu menjadi saksi tragedi keluarga shogun (penguasa militer). Di situlah Sanetomo Minamoto, shogun ke-3 dinasti Minamoto, pada 1219 dibunuh sepupunya sendiri, Kugyo. Pohon itu juga menjadi tempat kisah cinta antara Minamoto Yoshitsune dan Shizukamen.

Yoshitsune adalah adik Minamoto Yoritomo, shogun pertama dan pendiri pemerintahan militer Kamakura yang berlangsung pada 1192-1333. Sang kakak selalu mencurigai adiknya bakal merebut takhta shogun. Padahal Yoshitsune lebih memilih jalan seruni (bunga chrysanthemum), mendekatkan diri ke kuil, ketimbang Yoritomo yang menempuh jalan samurai.

Di Kuil Jogu, sejumlah pengunjung melontarkan uang logam ke dalam kuil. Jaring menjerat uang itu dan menjatuhkannya ke kotak yang terletak di bawahnya. Lalu, kembali mereka menangkupkan kedua tangannya dan menundukkan kepala, berdoa.

Seorang bocah berkuncir dan berbaju merah tampak mengikuti cara ibunya berdoa. Namun, kebanyakan pelajar sekolah menengah yang saya temui tidak melakukan ritual itu. Ah, anak muda selalu tidak mau direpotkan urusan ritual dan spiritual. Mereka hanya berfoto dan membuka-buka Omikuji (surat pengharapan). Ribuan surat tampak bergantung di kiri dan kanan altar. Pengunjung bisa menuliskan doa dan harapan, serta menggantungkannya di pengait.

Shogun Minamoto Yoritomo berharap kekuasaannya tetap lestari setelah menang dalam perang dengan keluarga Taira. Karena itu, pada 1191 ia membangun kompleks kuil ini untuk menghormati Hachiman, dewa perang. Dia mendirikan pemerintahan bakufu (militer) atau ke-shogun-an yang pertama kali dan memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Kamakura. Yoritomo pun mengambil alih beberapa kekuasaan administratif yang tadinya dipegang para kaisar di Kyoto.

Masa kekuasaan dinasti Minamoto dikenal sebagai periode Kamakura. Pada masa inilah estetika Buddhisme Zen dianut para samurai. Pengaruh Zen juga mempengaruhi arsitektur dan seni lukis Jepang masa kini.

Di belakang kompleks Hachiman terdapat perpustakaan dan perbukitan. Sedangkan di depan sebelah kanan ada penjual cendera mata dan peramal nasib. Saya memasukkan uang 100 yen ke dalam tabung dan keluar nomor 20. Sang penjaga meminta mengambil bambu sesuai dengan nomor yang saya dapatkan. Di dalam bambu terselip sehelai kertas selebar kartu nama dan sepanjang kertas ukuran kuarto.

Pada bagian atas tertulis angka 20, lalu tulisan chu-kichi. Di bawahnya ada penjelasan dalam bahasa Inggris, tentang keberuntungan. Chu-kichi bermakna sukses dan meminta saya jangan khawatir serta harus berani meraih kemenangan. Lalu uraian tentang harapan, perkawinan, hubungan sesama manusia, penyakit, usaha, dan ujian yang bakal saya hadapi.

Hampir di setiap kuil besar selalu ada tukang ramal. Pada masa ke-shogun-an Minamoto, mereka membangun lebih dari 100 kuil. Termasuk patung Great Buddha atau Daibutsu setinggi 13,3 meter, dengan berat 121 ton. Patung ini dikelilingi bangunan yang dulunya merupakan kuil dan kini menjadi tujuan wisata nomor satu di Kamakura.

Kuil lain yang dibangun pada periode Kamakura adalah Engaku-ji. Hojo Tokimune pada 1282 membangun kuil ini untuk menghormati pahlawan yang berperang melawan bangsa Mongol. Dua kali pasukan Mongol melakukan invasi ke Kyusu bagian utara. Walaupun kualitas senjatanya lebih rendah, pasukan Kamakura berhasil mencegah tentara Mongol masuk lebih jauh ke daratan Jepang. Mereka juga ditolong datangnya angin topan yang meluluh-lantakkan sebagian besar armada Mongol.

Kuil Engaku-ji terletak di utara Kuil Hachiman. Ensokuken, rumah teh (teahouse) di kuil ini, menjadi latar novel Kawabata Yasunari lainnya, berjudul Senbazuru (Seribu Bangau). Kalimat pertama novel itu berbunyi: ”Bahkan ketika tiba di Kamakura dan Kuil Engaku-ji, Kikuji tidak tahu apakah akan mengikuti upacara minum teh atau tidak. Dia memang selalu terlambat.”

Pada periode Muromachi (1338-1573), teh yang dibawa dari Cina ke Jepang menjadi populer di masyarakat lapisan atas. Suasana rumah teh yang khusus dibangun untuk upacara minum teh lama-kelamaan mempengaruhi arsitektur perumahan, termasuk kuil. Sejak periode ini, berkembanglah gaya arsitektur yang disebut sukiya-zukuri atau gaya rumah upacara minum teh.

Emiko Okamoto, pemandu wisata saya yang disiapkan perusahaan otomotif Toyota, mengaku gerah dengan tingginya harga barang di Kamakura. ”Di Tokyo dan daerah lain harga anggur 400 yen, namun di kota ini sampai 500 yen,” kata Emiko, yang tinggal di O-Machi, Kamakura. Perempuan 60 tahun ini menyalahkan turisme.

Ketika tahun baru atau musim libur, jutaan wisatawan lokal dan asing memadati pantai Sagami dan puluhan kuil yang ada di Kamakura. ”It’s very crowded,” katanya. Apalagi sejumlah warga Tokyo yang kaya memiliki rumah peristirahatan di kota ini. Meskipun demikian, Emiko, yang ayah dan kakeknya asli Kamakura, masih betah tinggal di O-Machi.

Sebagian warga Kamakura akhirnya menjalani bisnis di sektor pariwisata. Tidak sedikit pula generasi muda yang bekerja di Tokyo dan tiap hari menjadi penglaju. Pengaruh metropolitan Tokyo ternyata tidak menghilangkan seluruh sendi-sendi tradisi Kamakura. Menurut Emiko, di kota itu masih ditemukan keluarga luas (dua atau tiga generasi) yang hidup di satu perkampungan. Bandingkan dengan di Tokyo, yang dijejali keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) di apartemen yang harganya setinggi langit.

Penduduk Kamakura menganut kepercayaan Shinto dan Buddha secara bersamaan. Upacara kelahiran dan pernikahan mereka lakukan dengan tradisi Shinto. Sebaliknya, saat meninggal, upacara dilakukan dengan cara Buddha. Agama Kristen juga memiliki pengaruh pada sebagian orang, misalnya saat upacara pernikahan.

Tradisi dan modernitas memang menyatu di Kamakura. Dan sebagian sejarah Jepang tertulis di kota wisata ini. Kawabata dengan gaya bahasanya mampu melukiskan keindahan sekaligus kepiluan lewat sosok Shingo dalam novel berjudul Yama no Oto (Suara Pegunungan): ... Terdengar pula suara tetes embun malam dari satu daun ke daun lainnya di pepohonan. Tiba-tiba Shingo mendengar suara pegunungan. Karena terkadang terdengar suara ombak di pelosok lembah-lembah Kamakura, Singo menyangka itu suara dari lautan. Namun, ternyata suara pegunungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus