Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN yang mengular di ketinggian 700 meter dari permukaan laut itu mengingatkan saya pada jalur menuju Puncak, Bogor. Penataannya saja yang jauh lebih rancak. Rumah-rumah di sepanjang jalan ke arah Taman Nasional Hakone, Kanagawa, berbaris rapi. Begitu pula pepohonan yang berdiri di kanan-kiri jalan. Sore pada awal April lalu itu, cuaca cerah dan suhu amat nyaman, sekitar 10 derajat Celsius. Panasnya matahari teredam oleh angin sejuk musim semi.
Di sebelah jalur yang dilalui bus yang saya tumpangi, terdapat jalan yang sedikit lebih lebar dari jalan setapak. Dari brosur yang saya baca, jalan ini ternyata menyimpan jejak sejarah bangsa Jepang. Jalan berbatu itu dibuat semasa pemerintahan Shogun (pemimpin militer) Tokugawa pada 1619. Peninggalan ini masih utuh dan terpelihara baik.
"Kita telah sampai," kata Akiko Sasaki, si pemandu wisata, membuyarkan konsentrasi saya membaca. Tidak terasa, setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari Stasiun Kereta Api Yumoto-Hakone, saya dan rombongan wartawan yang diundang Toyota Motor Corporation sampai di kawasan Taman Nasional Hakone.
Berada di sebuah distrik kecil Hakone, sekitar 90 kilometer di barat Tokyo, Taman Hakone termasuk dalam wilayah Kanagawa. Tempat ini merupakan tujuan utama pariwisata di Jepang. Setiap tahun, lebih dari 2 juta turis asing maupun domestik mengunjungi kawasan yang menjadi bagian dari Taman Nasional Fuji-Hakone-Izu ini. Hakone adalah sister city (kota kembar) dari Kota Jasper di Kanada dan Taupo di Selandia Baru.
Cukup mudah akses menuju Taman Hakone. Jika berangkat dari Tokyo, bisa menggunakan kereta api ekspres Shinkansen menuju Stasiun Yumoto-Hakone. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam dengan ongkos 5.000 yen (sekitar Rp 450 ribu) untuk dewasa dan 2.750 yen untuk anak-anak. Selanjutnya, dari Stasiun Yumoto-Hakone menuju kawasan Taman Hakone bisa menggunakan bus umum. Waktu yang ditempuh sekitar 20 menit dengan tiket seharga 800 yen.
Cara lain, seperti yang saya lakukan, berangkat dari Nagoya menggunakan kereta api Shinkansen. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 90 menit. Harga tiketnya tidak jauh berbeda dengan yang dari Tokyo. Dari stasiun Yumoto-Hakone bisa disambung dengan naik bus atau taksi.
Salah satu obyek wisata di kawasan Taman Hakone adalah Danau Ashidalam bahasa Jepang berarti kaki. Danau Ashi terletak persis di kaki Gunung Komagatake yang "berbatasan" dengan lereng Gunung Fuji. Luas-nya sekitar 7 kilometer persegi. Dari tempat ini, salju yang menyelimuti puncak Fuji terlihat jelas seperti gumpalan kapas putih bersih. Puncak itu berkilau ketika terik matahari menerpa. Keindahan puncak gunung tertinggi di Jepang itu seperti membenarkan moto para penyelenggara tur: belum lengkap berwisata ke Jepang sebelum melihat Fuji Yama.
Kawasan berhawa sejuk itu dihiasi deretan pohon sakura. Orang kerap menyebutnya tanaman para dewa. Beruntung, saya berkunjung ke Jepang ketika bunga sakura tidak malu menunjukkan kecantikan kelopaknya. Berwarna pink dan putih, bunga para dewa ini bertebaran di sekeliling Danau Ashi.
Para pengunjung juga bisa menikmati jernihnya air danau sambil memandang puncak Fuji. Saya sempat naik kapal dengan replika bajak laut mengelilingi danau dengan membayar 300 yen (sekitar Rp 27 ribu) sekali naik.
Masyarakat sekitar meyakini bahwa di dasar danautitik terdalam danau ini adalah 43 meterhidup seekor naga raksasa yang menjaga dan memberi kemakmuran kepada mereka. Untuk menghormati sang naga, dibangun dua "monumen" berbentuk gerbang berwarna merah setinggi 5 dan 7 meter. Upacara penghormatan kepada sang naga sudah menjadi tradisi yang diperingati setiap Agustus dan kini menjadi bagian dari obyek wisata. Danau ini unik karena airnya tidak pernah membeku, meski pada musim dingin, yang suhunya bisa mencapai 5 derajat Celsius di bawah nol.
Tak lupa pula saya mengunjungi bangunan yang dulu disebut tempat pertemuan (check point) para panglima perang di era pemerintahan Tokugawa. Di sana dipajang seragam perang dan pedang (samurai) asli. Salah satu jenis seragam itu mirip kostum yang dipakai tokoh Katsumoto, panglima para pejuang samurai, dalam film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise.
Patung-patung seukuran manusia berseragam samurai dengan senjata di tangan juga bertengger di sana. Replika yang dibuat pada 1965 ini menggambarkan para panglima sedang mengadakan rapat.
Menurut informasi yang dikeluarkan departemen wisata Jepang, peninggalan bersejarah itu pertama kali dipugar pada 1869. Renca-nanya, April 2007 menda-tang bangunan ini akan dipugar lagi dan dilengkapi koleksinya.
Kawasan Taman Hakone mulai ditata secara modern sekitar 15 tahun lalu. Fasilitasnya sekarang cukup lengkap. Tak hanya melihat keindahan alam dan mengunjungi tempat bersejarah, orang bisa pula berolahraga. Di sana ada lapangan golf. Di musim dingin, pengunjung bisa juga bermain ski, meluncur dari lereng menuju lembah. Untuk mendaki lereng, tersedia kereta gantung yang membentang dari pucuk Gunung Komagatake ke lembah di bawahnya.
Membanjirnya wisatawan dari tahun ke tahun ikut mengubah wajah kawasan Taman Hakone. Hotel dan cottage mulai menjamur pada awal 1990-an. Sebagian besar penduduk, dari sekitar 3.000 ribu jiwa, yang mendiami kawasan itu menggantungkan nasib pada bisnis sewa penginapan.
Hakone Prince Hotel, tempat saya menginap, adalah salah satu tempat yang menawarkan kenyamanan dan relaksasi. Meski menyandang lima bintang, bangunan depan hotel yang berada persis di tubir Danau Ashi itu jauh dari kesan mewah. Akses Internet pun tidak tersedia di tempat itu. "Tempat ini memang dirancang untuk beristirahat," kata Sasaki.
Salah satu fasilitas yang bisa dinikmati para tamu hotel adalah spa dan pijat refleksi. Bill Clinton, semasa menjadi Presiden Amerika Serikat, beberapa kali memilih menginap di hotel ndeso ini daripada di kebisingan Tokyo. Daftar tamu lain yang pernah menikmati ketenangan Hakone Prince Hotel adalah Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan istrinya.
Tarif kamar hotel itu bervariasi dari 20 ribu yen (sekitar Rp 1,8 juta) sampai 48 ribu yen. Harganya bisa membengkak sampai 60 ribu yen jika Anda menginap dari tanggal 30 Juli sampai 20 Agustus. Maklum, pada musim panas, Taman Hakone penuh dengan festival dan berbagai hiburan menarik. "Booking tempat bisa sampai enam bulan sebelumnya," kata Sasaki. Jika Anda merasa tarif Hakone Prince Hotel terlalu mahal, puluhan cottage yang bertarif jauh lebih murah tersedia di kawasan itu.
Setelah letih menyusuri berbagai sudut Taman Hakone, saya memilih bersantai di hotel. Apalagi, matahari sudah lama tenggelam. Suasana jalan di luar hotel pun mulai sepi. Tidak ada hilir-mudik lagi kendaraan. "Silakan istirahat. Kita berangkat pukul 7.00 pagi tepat, jangan molor," suara Sasaki terdengar lagi.
Esok hari, rombongan kami akan menuju Tokyo untuk menghadiri acara yang lain. Kami akan kembali melewati jalan berkelok di ketinggian 700 meter, yang sekali lagi mirip jalan di Puncak, Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo