Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jika Pasien Lebih Nyaman di Rumah Orang

Pelayanan rumah sakit di Indonesia masih mengecewakan. Dokter mestinya jadi mitra bicara pasien.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini adalah kisah orang-orang yang tak puas. Karena itu, apa boleh buat, berita ini akan berbunyi seperti serangkaian keluhan. Jika tak disampaikan, maka pelayanan rumah sakit dan dokter di Indonesia—yang terkenal karena keramahannya itu, paling tidak itulah yang sering kita bangga-banggakan—tak kunjung membaik.

Syahdan, selama ini Profesor Chehab Rukni Hilmy merasa sehat. Namun, Juni tahun lalu, ahli bedah ortopedi itu divonis terkena kanker darah atau leukemia. Saat itu usianya menginjak 63 tahun. Dia tengah menikmati masa tuanya dengan memuaskan hobi memancing, main golf, dan berdansa.

Chehab berobat ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Namun, para dokter—koleganya sendiri—tak sanggup menangani. Salah seorang pendiri Rumah Sakit Setia Mitra ini malah disarankan berobat ke Belanda. Ia mendapat nomor kontak Profesor Willemse, ahli hematologi di Negeri Keju itu.

Sang profesor segera dikontak dan Chehab menceritakan keadaannya. Willemse langsung menjanjikan, jika Chehab bisa datang ke Belanda, 10 hari sejak menelepon, ia menjamin bisa menyembuhkan penyakitnya.

Willemse bahkan membantu Chehab dengan menelepon Kedutaan Besar Belanda di Indonesia agar ia bisa memperoleh visa secara cepat. Umumnya urusan visa ke Belanda bisa memakan waktu dua pekan. Berkat bantuan Willemse, Chehab hanya perlu waktu dua hari untuk memperoleh visa yang dibutuhkannya.

Sehari setelah menerima visa, pada Sabtu di awal Juli tahun lalu, Chehab terbang meninggalkan Indonesia menuju Belanda. Setelah mendarat di Bandara Schipoll, Amsterdam, ia langsung menuju rumah sakit di Leiden. Perjalanan itu memakan waktu satu jam. Setiba di sana, Chehab menyampaikan kepada resepsionis rumah sakit bahwa dia datang untuk berobat kepada Profesor Willemse.

Petugas rumah sakit mengatakan, kedatangan Chehab sudah ditunggu. Kamar juga sudah disiapkan. Tapi dia tak bisa langsung bertemu Willemse. Maklum, saat itu akhir pekan. Willemse libur praktek. "Tak usah khawatir, kami akan menangani Anda," ujar salah seorang dokter. Mereka mengambil darah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu dan memeriksanya di laboratorium.

Hari Senin, Willemse menyampaikan kepada Chehab hasil tes darahnya. Chehab terbukti terkena acute monoblastick leukeumia—kanker darah yang cukup parah. Selanjutnya, Chehab menjalani kemoterapi 10 kali berturut-turut. Efek kemo itu membuatnya sering buang air besar, lemah, dan rambutnya rontok. Bahkan beberapa kali ia tak sadarkan diri.

Kadar hemoglobin Chehab sempat drop sampai 3,5 gram persen. Tak ayal, Chehab harus memperoleh tambahan darah. Tapi di sana keluarga pasien tak perlu repot mencari darah. Segalanya sudah disediakan pihak rumah sakit. Setelah melakukan kemoterapi, Chehab menjalani perawatan di kamar isolasi kelas atas. Para perawat cukup ramah. Setiap saat mereka mengontrol pasien di ruangan.

Berangsur-angsur kesehatan Chehab pun pulih kembali. Saat itu terbersit rasa heran dalam hatinya. Soalnya, setelah 10 hari Chehab menjalani perawatan, surat tagihan tak kunjung datang. Beberapa kali istrinya menanyakan tagihan itu ke bagian administrasi. Jawaban yang diperoleh membuatnya kian terheran-heran. Petugas rumah sakit di sana mengatakan, surat jaminan dari RS Siaga Raya tempat istrinya menjadi direktur dianggap sudah memadai.

Akhirnya, setelah menjalani perawatan selama 32 hari di rumah sakit itu, dokter menyatakan leukemianya sembuh. "Anda boleh pulang," kata Willemse. Ketika ia bertanya adakah obat yang harus diminum, dokter itu mengatakan tidak ada. "Anda sudah sembuh dan harus meninggalkan rumah sakit." Jika lama-lama di rumah sakit, dokter khawatir Chehab terkena infeksi tambahan.

Sambil menunggu waktu kontrol dua minggu kemudian, Chehab dan keluarganya menginap di salah satu apartemen dekat rumah sakit tersebut. Saat waktu kontrol tiba, Chehab kembali menemui Profesor Willemse. Ia diberi tahu hasil pemeriksaan cairan sumsum tulang dan tes darahnya bagus. Ia tak memerlukan perawatan lagi dan diperbolehkan pulang.

"Bagaimana dengan utang saya," Chehab menanyakan biaya perawatan yang harus ditanggungnya. Willemse menjawab tak perlu memikirkan ongkos rumah sakit dulu, karena rumah sakit baru akan mengirim tagihannya pada Oktober. "Gila. Kok, dia percaya banget," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.

Pertengahan Agustus, Chehab pulang ke Indonesia. Dia istirahat selama satu bulan di rumah. Setelah itu, koleganya menawarkan agar Chehab dirawat lagi di rumah sakit. Ia pun masuk salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.

Di rumah sakit itu, sumsum tulangnya diperiksa lagi. Hasilnya negatif, tapi hemoglobinnya (HB) tidak naik, hanya bergerak antara 6,5 dan 7 gram persen, padahal normalnya di atas 15,7 gram persen. Leukositnya antara 2.000 dan 3.000, dan trombosit di bawah 100 ribu. "Saya punya diabetes, sehingga HB saya tidak mau naik-naik," katanya.

Namun, ada perbedaan cara perawatan yang mengganggu hati Chehab. Di rumah sakit itu ia merasa perawat kurang memperhatikan pasiennya. Saat dia terjatuh dari tempat tidur, misalnya, tak ada suster yang menolongnya. "Mereka baru datang ke ruangan setelah istri saya teriak-teriak minta tolong," katanya. Padahal, mantan tentara ini dirawat di ruang isolasi yang tak memperbolehkan pasien ditunggui keluarganya.

Kemudian datanglah Oktober. Chehab mendapat tagihan dari rumah sakit di Leiden, Belanda. Karena pembayarannya boleh dicicil, dia pun hanya membayar 20 persen dulu dan melunasi sisanya sebulan kemudian. "Biaya rumah sakit di Belanda lebih murah ketimbang rumah sakit di Indonesia," katanya tanpa mau menyebut angkanya.

Biaya menjalani perawatan selama 32 hari di rumah sakit Belanda, menurut Chehab, sama dengan ongkos rumah sakit 33 hari di Indonesia. Bedanya, di Belanda boleh membayar dengan cara mencicil, sedangkan di Jakarta harus dibayar tunai saat pasien pulang.

Pengalaman buruk dengan rumah sakit di Indonesia juga pernah dialami Hotman Paris Hutapea. Pada November 2003, Anne, istri Hotman, berobat ke dokter kandungan di sebuah rumah sakit swasta di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Dokter di sana mendiagnosis kista pada tubuhnya dan harus dioperasi. Sebelum menjalani operasi, ia diharuskan minum antibiotik dosis tinggi. Akibatnya, justru ginjalnya menjadi sakit.

Lantaran sakitnya makin tak tertanggungkan, Anne dilarikan ke rumah sakit lain di kawasan Jakarta Selatan. Dokter di sana beberapa kali melakukan tes, tapi tak ada hasilnya. Memasuki hari keempat, kondisi Anne semakin parah. Keesokan harinya, Hotman membawa istrinya ke Singapura.

Di sana, Hotman mendapat keterangan yang mengagetkan. Dokter Singapura menyatakan istrinya terlalu banyak minum obat antibiotik. Mereka kemudian memberikan pengobatan dan keesokan harinya kesehatan istrinya mulai pulih. "Pelayanan rumah sakit di sini sangat buruk, meski tak semua dokter berperilaku buruk," ujar pengacara itu.

Lain lagi pengalaman Tonny Harjono. Dua tahun lalu, pengusaha yang tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu pernah punya pengalaman tak enak gara-gara penyakit empedu yang dideritanya. Dokter sebuah rumah sakit swasta di kawasan Pluit, Jakarta Utara, memberi diagnosis dalam empedunya ada batu kecil. Sang dokter menyarankan pengangkatan batu itu dengan cara laparoskopi, operasi kecil yang mestinya aman.

Beberapa hari kemudian, terjadi infeksi pada bekas operasi kecil itu. Dokter memperbaikinya sampai lima kali. Terakhir, sang dokter malah melakukan pembedahan besar pada perutnya. Tapi bukannya semakin membaik, Tonny merasa penyakitnya bertambah parah. "Saya semakin lemah," katanya.

Melihat kondisinya semakin parah, keluarga membawanya ke rumah sakit di Singapura. Di sana, dokter mengoperasinya hanya satu kali. Setelah satu bulan dirawat, Tonny pun sembuh. "Sekarang saya tidak berani lagi cek kesehatan di Indonesia," katanya.

Bukan cuma dokter yang tak profesional, Tonny juga mengeluhkan perawat yang galak. Ia menuturkan pengalaman sehabis operasi dan tak bisa bangun dari tempat tidur. Buang air kecil dan besar pun terpaksa dilakukan di tempat tidur.

Suatu malam ia buang air besar. Sesudahnya ia minta tolong kepada suster untuk membersihkan dirinya, tapi sang perawat malah marah-marah dan menjawab akan membersihkan besok pagi saja. "Bayangkan sejak malam, pasien yang tidak bisa apa-apa harus tidur dengan tinja," katanya.

Kendati mengkritik pelayanan dokter dan perawat, Tonny memuji fasilitas rumah sakit di Indonesia yang sudah cukup baik. Seandainya pelayanan dokter dan perawatnya bisa diperbaiki mungkin pasien tak akan pergi jauh-jauh ke luar negeri.

Bekas bos perusahaan iklan Matari, Ken Sudarto, menduga dokter di Indonesia kurang memberi perhatian pada pasien karena sibuk praktek di beberapa tempat mulai pagi hingga malam. "Jika pasien orang kebanyakan, bukan orang penting, pasti ditelantarkan," katanya.

Pengalaman yang berbeda dialaminya selama berobat di Singapura. "Semua pasien, dari kelas ekonomi sampai VIP mendapat perhatian penuh dari dokter," ujarnya. Kebetulan, Ken baru saja pulang selepas menjalani perawatan kanker limfoma di Singapura. Dokter di negeri jiran itu, kata Ken, punya banyak waktu di rumah sakit sehingga setiap pasien bisa berkonsultasi. "Pasien dianggap sebagai mitra bicara." Ini juga merupakan persoalan besar di Indonesia. Para dokter di Indonesia masih menganggap dirinya "superior" terhadap para pasien sehingga masih ada yang malas mengajak pasiennya berbicara secara terperinci tentang penyakit yang diderita sang pasien.

Ini memang seperti deretan keluhan, namun keluhan yang sangat penting ditulis agar pelayanan kesehatan di negeri ini diperbaiki.

Eni Saeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus