Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ardi Winangun
Pendiri Komunitas Backpacker International
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perasaan menjadi galau setelah diberi tahu oleh salah seorang petugas bank bahwa ATM sedang mengalami gangguan. Kapan normalnya juga dijawab tidak pasti. Ia menyarankan agar mengambil uang lewat kasir. Saran dari petugas bank tadi saya ikuti daripada tak bisa melakukan pembayaran untuk traveling di Kota Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah jaringan telekomunikasi dan listrik padam merupakan tantangan bagi orang luar yang mengunjungi kabupaten yang berbatasan dengan Filipina itu. Tak mengherankan, saat tiba di Tahuna, teman membeli kartu baru telepon untuk memperlancar komunikasi. Sinyal kartu yang ia gunakan di Jakarta naik-turun sehingga membuat komunikasi putus-nyambung. Tentu hal demikian akan menghambat pekerjaan yang diembannya.
Setelah proses mengambil uang lewat kasir tuntas, saya bergegas menemui tukang ojek yang telah menunggu. Pria yang mengaku bernama Yaya Maurits itu adalah tukang ojek yang biasa mangkal di pusat-pusat keramaian di Tahuna. Hari itu ia bersedia mengantar saya menuju ke Puncak Pusunge. Puncak yang berada di Kampung Pusunge merupakan salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Sangihe. Ini merupakan puncak pertama yang dijadikan masyarakat dan wisatawan dari luar untuk melihat Tahuna dari pegunungan. Setelah Puncak Pusunge, masyarakat menemukan Puncak Losse sebagai titik obyek yang sama untuk melihat hamparan kota.
Sebelum ia mengantar ke puncak, pria yang sudah bercucu itu terlebih dulu mengisi bensin sepeda motornya. Ia mengisi bahan bakar kendaraan tidak di SPBU yang ada di Tahuna, melainkan di depan rumah sendiri. Rupanya, sambil menjadi tukang ojek, ia adalah penjual bensin eceran.
Tiga botol bensin ditumpahkan ke dalam tangki sepeda motor, kami pun langsung menuju ke tempat yang disepakati. Setelah meninggalkan kota, jalan menuju puncak mulai menanjak dan berkelak-kelok tajam. Bagi pengguna kendaraan bermotor di kabupaten ini, tanjakan dan kelokan tajam merupakan lintasan yang biasa. Namun, bagi masyarakat luar, jalan itu merupakan lintasan yang ngeri-ngeri sedap.
Mulai meninggalkan Tahuna, di kanan-kiri jalan masih berupa hutan yang rimbun dan hijau. Sesekali ditemukan satu-dua rumah penduduk. Kabupaten kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, dengan jumlah penduduk kurang dari 150 ribu jiwa, membuat lintasan luar di Sangihe lengang. Sesekali ada kendaraan roda dua atau roda empat melintas. Iring-iringan roda empat melintas di jalan bila ada pejabat seperti presiden, menteri, gubernur, panglima kodam, atau kepala kepolisian daerah berkunjung ke sana.
Setelah meliuk-liuk menyusuri jalan pegunungan, di pertigaan yang menikung, Yaya Maurits berbelok ke kiri. Jalan itulah yang mengarah ke puncak. Dari jalan ini, selanjutnya pria yang saat itu menggunakan celana pendek ini membelokkan sepeda motornya kembali ke arah kiri. Jalan yang hendak kami lalui ini ukurannya mengecil. Bila sebelumnya dua kendaraan roda empat bisa saling melintas bersamaan, di jalan ini hanya untuk satu lintasan kendaraan roda empat. Menurut orang-orang di sana, bila wisatawan hendak ke puncak naik roda empat, naik-turunnya harus antre atau giliran. Tanjakan dan kelokan jalan satu lintasan kendaraan roda empat itu tak kalah "mautnya" dari jalan-jalan sebelumnya, bahkan cenderung curam dan menekuk.
Perasaan takut hilang setelah berhenti di depan salah satu bangunan rumah yang berbentuk vila seperti di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Turun dari sepeda motor, saya langsung menuju sebuah tanah berumput yang menghadap ke lautan Sulawesi yang berbatasan dengan perairan Filipina dan Malaysia. Inilah Puncak Pusunge. Dari puncak ini kita bisa melihat Kota Tahuna. Dataran yang berhadapan dengan Teluk Tahuna itu dipenuhi bangunan-bangunan rumah. Ada yang beratap seng, ada pula yang beratap genting. Dengan demikian, bila yang beratap seng terkena sinar matahari, akan memancarkan kilap yang menyilaukan.
Di atas puncak, kita akan melihat Pelabuhan Nusantara Tahuna. Di pelabuhan itu tertambat kapan-kapal besar, antara lain feri. Dari pelabuhan inilah, transportasi laut menghubungkan Sangihe menuju Bitung, Manado, dan pulau-pulau kecil yang berserak di wilayah Sulawesi Utara; Maluku Utara, Maluku; Papua; bahkan sampai Surabaya, Jawa Timur. Tak jauh dari pelabuhan yang ada, terapung beberapa kapal tradisional yang tertambat.
Pada Sabtu dan Minggu serta hari libur lainnya, puncak itu dipenuhi oleh masyarakat dan wisatawan yang ingin berekreasi. Bila ingin suasana lain, mereka ada yang datang pada malam hari dengan tujuan untuk melihat kerlap-kerlip lampu di kota dan titik-titik cahaya di lautan luas.
Teluk Tahuna terlihat dari puncak, menjorok ke dalam, diapit oleh dua pegunungan, dan dibatasi oleh dataran sehingga membentuk seperti tapal kuda. Berada di puncak dan berhadapan dengan lautan luas membuat angin kencang menerpa wajah.
Tanah Kepulauan Sangihe merupakan tanah yang subur. Ribuan pohon kelapa tumbuh subur seolah-olah menyelimuti kepulauan itu. Kesuburan tanah juga terbukti di puncak dan Kampung Pusunge. Berbagai macam sayuran, seperti cabai, merica, wortel, terung, umbi-umbian, jagung, dan tanaman pangan lainnya, menjadi komoditas yang ditanam masyarakat.
Saat ke sana akhir tahun lalu, saya menjumpai tiga emak-emak yang tengah melepas lelah sehabis bekerja di ladang. Salah satu dari mereka, Vince Lumape, menceritakan kehidupannya sebagai peladang. Dia mengatakan memiliki lahan seluas setengah hektare. Di lahan berundak itu, dia menanam ubi jalar, cabai, dan merica. Hasil tanamnya tersebut silih berganti diunduh untuk menyambung hidup. Seminggu sekali ia memetik cabai sebanyak dua kilogram untuk dijual ke Pasar Towo’e yang berada di Tahuna.
Tak jauh dari tempat itu, juga terlihat emak-emak yang sedang duduk di gubuk. Mereka sepertinya "bersosialita" setelah berladang. Kisah yang diungkapkan Vince juga dialami oleh Yunice yang saat itu berada di antara mereka. Menurut Vince, ia sekali seminggu pergi ke pasar untuk menjual hasil ladang. "Naik angkutan umum ke pasar," ujarnya.
Sebagai daerah yang kaya akan pohon-pohon kayu, masyarakat menggunakan kayu yang ada sebagai bahan bakar untuk memasak. Sambil berladang, mereka mencari kayu. Menggunakan kayu sebagai bahan bakar, selain melimpah, membuat mereka bisa menghemat pengeluaran. Mereka tak biasa menggunakan minyak, cepat habis pula.
Bila berkeliling Tahuna, ada dua penanda yang menjadi landmark kota. Dua penanda itu adalah Tugu Malahasa dan Boulevard Tahuna. Tugu Malahasa adalah mercusuar yang berada di tepi Pelabuhan Tua (Peltu) sehingga ada yang menyebut Tugu Malahasa sebagai Tugu Peltu. Tugu yang tersusun dari baja itu ada yang mengatakan dibangun pada masa kolonial Belanda. Ada pula yang menyebutnya dibangun pada 1967, tapi juga banyak yang tidak tahu kapan ia berdiri. Masyarakat di sana, yang berumur 50 tahun, saat ditanya kapan tugu itu tegak mayoritas mengatakan, "Sejak saya kecil, tugu itu sudah ada."
Tugu Malahasa menjadi salah satu cagar budaya. Di separuh tinggi tubuhnya terdapat tulisan dalam bahasa Sangir Dalam. Kurang-lebih tulisan itu berbunyi, "Mebua bou lawesang mahundingawkeng tulumang oh mawu rendingane." Lantaran menggunakan bahasa yang bisa jadi sudah tidak dipelajari di sekolah, banyak orang sana yang tidak tahu artinya.
Di Peltu digelar Festival Tahuna setiap September. Dalam festival itu, digelar pameran dari berbagai dinas pemerintah, instansi swasta, komando distrik militer, dan kepolisian resor. Sisi-sisi Tugu Malahasa juga digambari mural. Mural yang ada bergambar tradisi masyarakat Sangihe, yakni sebagai petani kelapa. Tak mengherankan bila dalam mural itu tergambar laki-laki yang menggunakan celana panjang dan bertelanjang dada tengah mengolah buah pohon kelapa. Mural yang ada tak hanya berada di tugu yang berbentuk limas tersebut. Di dinding-dinding bangunan, tak jauh dari Tugu Malahasa, juga terpampang mural dengan gambar wajah orang Sangihe dan kekayaan laut mereka.
Peltu sekarang menjadi seperti taman kota. Di sana setiap sore dijadikan masyarakat sebagai tempat melepas lelah. Di tempat ini ada tulisan besar yang berbunyi "Amazing Sangihe". Di tempat inilah wisatawan dari luar biasanya mengabadikan diri, ber-selfie. Pelabuhan Tua sekarang menjadi bagian sejarah masyarakat di sana setelah pemerintah membangun pelabuhan baru yang letaknya di teluk bagian seberang.
Peltu merupakan bagian dari Boulevard Tahuna, jalan besar yang melingkari teluk. Di boulevard ini ramai orang karena menjadi pusat kuliner dan tempat nongkrong masyarakat. Di tempat tersebut, banyak rumah makan yang menyajikan kuliner ikan bakar. Bila malam tiba, orang nongkrong di warung-warung yang menyediakan wedang jahe, saraba, dan minuman hangat lainnya. Sambil menikmati deburan ombak dan melihat bintang di langit, mereka meneguk minuman hangat sampai larut malam.
Boulevard Tahuna juga populer dengan sebutan Kampung Tidore. Disebut demikian karena, menurut cerita, banyak orang Tidore, Maluku Utara, sejak ratusan tahun lalu merantau ke Sangihe. Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, tak mengherankan bila di kampung ini berdiri dua masjid. Tradisi bermain rebana pun masih hidup di kampung ini.
Sebagai daerah yang terbuka, Kepulauan Sangihe terpengaruh oleh masuknya kebiasaan-kebiasaan dari luar. Sebelum kebiasaan makan nasi ada, masyarakat Kepulauan Sangihe mengkonsumsi sagu sebagai makanan keseharian. Meski banyak yang beralih mengkonsumsi beras, bila kita menginginkan sagu, bahan makanan itu mudah dicari. Di Pasar Towo’e, banyak pedagang yang menjajakan sagu. Sagu dikemas dalam plastik atau wadah yang berbentuk mirip kendi. Sagu yang dikemas di dalam kendi berharga Rp 50 ribu. Menurut salah seorang pria di sana, sagu yang diperdagangkan di pasar terbesar di Sangihe itu berasal dari Kampung Tolak, Tabukan Utara. "Masih banyak orang kampung yang makan sagu," ujar pria berdarah Sangihe-Gorontalo itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo