Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Berita Tempo Plus

Memandang Nur-Sultan dari Dalam Telur Raksasa

Ibu Kota Kazakstan, Nur-Sultan, adalah kota yang megah dan futuristis. Bangunan-bangunan dengan arsitektur unik berdiri di kota terdingin kedua sedunia ini. Salah satu bangunan yang paling populer adalah Menara Bayterek yang menjulang.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Menara Bayterek di Jalan Raya Nurzhol, Nur-Sultan, Kazakhstan. Foto-foto:Anton Kurnia
Perbesar
Menara Bayterek di Jalan Raya Nurzhol, Nur-Sultan, Kazakhstan. Foto-foto:Anton Kurnia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Anton Kurnia
Penulis dan pelancong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Nur-Sultan adalah ibu kota Kazakstan, negara bekas pecahan Uni Soviet yang wilayahnya paling luas setelah Rusia. Republik di Asia Tengah berpenduduk mayoritas muslim ini termasuk salah satu negara di dunia yang wilayahnya landlock, dikepung oleh daratan dan tidak punya laut. Bentang alamnya banyak berupa padang rumput yang luas dan datar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kota ini beberapa kali berganti nama. Berdiri pada 1830 di masa kekuasaan Tsar Rusia, semula kota ini bernama Akmoly. Saat berkuasa rezim komunis Uni Soviet, kota ini berganti nama menjadi Tselinograd pada 1961. Hal itu membuat kode penerbangan internasional Kota Nur-Sultan hingga kini disimbolkan dengan TSE.

Pada 1992, saat Kazakstan merdeka menyusul pecahnya Uni Soviet setahun sebelumnya, kota ini berganti nama menjadi Akmola, yang dalam bahasa Kazakh berarti “kota suci”. Pada 1997, Akmola menggantikan Almaty sebagai ibu kota Kazakstan dan setahun setelahnya berubah nama menjadi Astana, yang berarti “ibu kota”.

Pada 20 Maret 2019, menyusul mundurnya presiden pertama dan salah satu tokoh pendiri Kazakstan, yakni Nursultan Nazarbayev, kota ini kembali berganti nama menjadi Nur-Sultan sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa sang mantan presiden.

Nur-Sultan dibelah dua oleh Sungai Ishim. Di sebelah selatan dan timur sungai terdapat kawasan pemerintahan serta ibu kota baru yang modern, futuristis, dan tertata rapi, sedangkan kota lama berada di sebelah utara sungai.

Kawasan ibu kota baru yang dirancang arsitek Jepang, Kisho Kurokawa, itu baru dibangun pada akhir 1998. Di kawasan ini dipusatkan bangunan kantor pemerintah, gedung parlemen, kawasan diplomatik, dan berbagai lembaga strategis yang ditata dengan perencanaan matang.

Meski Kazakstan sudah puluhan tahun merdeka, huruf Cyrillic berbahasa Rusia masih banyak dipakai di berbagai bangunan di seantero kota. Sebab, di Kazakstan terdapat banyak etnis dengan beragam bahasa. Bahasa Rusia menjadi lingua franca di Nur-Sultan, selain bahasa Kazakh.

***

Pada musim dingin, Nur-Sultan merupakan ibu kota terdingin nomor dua di dunia setelah Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia. Suhu terendahnya lebih dingin dibanding Moskow, ibu kota Rusia. Suhu di Nur-Sultan pada puncak musim dingin, yang biasanya berlangsung sejak pertengahan November hingga awal April, bisa sampai minus 35 derajat Celsius.

Saya beruntung tidak berkunjung ke sana pada musim dingin. Pada awal musim gugur itu, iklim di Nur-Sultan cukup bersahabat, tidak terlalu dingin bagi saya yang berasal dari negeri tropis. Cuaca relatif cerah. Hanya sesekali turun hujan yang tak deras.

Saya berada di kota itu untuk menghadiri The First Asian Writers’ Forum atas undangan Asosiasi Penulis Kazakstan lewat Kedubes Kazakstan di Jakarta. Saya menginap di Rixos Hotel yang megah dan berdekatan dengan kantor Kedubes Indonesia di Nur-Sultan.

Pada satu sore yang cerah, saya berkesempatan mengunjungi Menara Bayterek, salah satu ikon Kazakstan pasca-kemerdekaan. Menara unik ini diabadikan di banyak benda, termasuk pada uang kertas tenge Kazakstan dan cendera mata untuk turis. Monumen rancangan arsitek Akmurza Rustembekov itu dibangun pada 1996 dan mulai dibuka pada 2002.

Menara Bayterek merupakan monumen observasi di jantung Kota Nur-Sultan, tepatnya di Jalan Raya Nurzhol, tak jauh dari istana presiden. Menurut Gulnur, gadis Kazakstan yang bekerja di Kedubes Indonesia dan menemani saya berkeliling kota, menara itu dibangun setinggi 97 meter sebagai penanda saat Astana menjadi ibu kota baru Kazakstan pada 1997. Gulnur pernah kuliah selama setahun di Bandung, sehingga dia cukup lancar berbicara dalam bahasa Indonesia. Sesekali kami bercakap-cakap dalam bahasa Inggris.

Di atas menara itu terdapat semacam bulatan keemasan yang melambangkan telur raksasa. Menurut Gulnur, itu menyimbolkan sebuah legenda bangsa Kazakh tentang telur emas di atas pohon kehidupan. Dalam bahasa Kazakh, bayterek berarti “pohon poplar yang tinggi”.

Menurut legenda, telur itu ditaruh oleh burung magis raksasa bernama Samruk sebagai perlambang awal kehidupan bangsa Kazakh. Dalam kisah sufi Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar, burung yang melambangkan jiwa tercerahkan itu bernama Simurg dan mengilhami Salman Rushdie menulis novel pertamanya, Grimus.

Leluhur bangsa Kazakh percaya bahwa akar pohon kehidupan terpaku ke bumi dan puncaknya yang tinggi menyangga langit. Pohon itu tumbuh di bukit Kok-Tobe. Pohon itulah penghubung bumi dengan langit. Setahun sekali burung Samruk terbang ke puncak pohon itu dan meletakkan sebutir telur di celah dahannya. Telur itu kemudian menjelma menjadi matahari yang melambangkan kehidupan baru.

Seekor naga yang hidup di bawah pohon tersebut ingin menelan matahari itu agar dunia menjadi gelap. Namun kesatria Yer-Tostik muncul dan membunuh sang naga. Maka, pohon kehidupan atau bayterek menjadi simbol peralihan dari gelap menjadi terang, pertempuran antara kejahatan dan kebaikan, serta antara kematian dan kehidupan.

Struktur bangunan Menara Bayterek menjulang di atas selasar lebar di sebuah medan terbuka. Menaranya yang tinggi terdiri atas poros silinder yang dikelilingi semacam balok putih yang melengkung mengembang di bagian puncaknya. Para pengunjung bisa menaiki elevator untuk menuju bagian puncak berbentuk bola. Dari ketinggian itu, kita dapat memandang segenap penjuru Kota Nur-Sultan.

Bagian lantai dasar di bawah tanah terdiri atas stan penjual tiket dan ruang pameran. Juga terdapat sebuah toko cendera mata khas Kazakstan, antara lain kerudung warna-warni, topi tradisional, perhiasan, dan kain tenun. Di lantai ini terdapat dua elevator. Pengunjung yang telah membeli tiket harus antre untuk naik ke puncak menara. Harga tiket untuk sekali naik sebesar 700 tenge atau sekitar Rp 25 ribu.

Di bagian puncak yang berdinding kaca, yang dari luar terlihat seperti telur raksasa, terdapat dua bagian dek observasi. Tingkat pertama berbentuk melingkar dan memungkinkan pengunjung melihat pemandangan 360 derajat Kota Nur-Sultan. Bagian teratas, yaitu lantai dua, dapat dicapai dengan menaiki anak tangga. Di bagian atas yang lebih sempit ini terdapat sebuah prasasti cetakan tangan kanan Nursultan Nazarbayev, presiden pertama Kazakstan.

Saya sempat meletakkan telapak tangan kanan saya di atas prasasti cetakan itu. Begitu tangan saya menempel erat pada prasasti itu, berkumandang lagu kebangsaan Kazakhtan, Meniñ Qazaqstanim, yang berarti “Kazakstan-ku”. Di depan prasasti yang menghadap ke arah istana presiden Kazakstan ini terdapat bola dunia yang terbuat dari kayu. Dari ruangan ini saya dapat melihat jelas bangunan istana presiden yang megah berkubah biru.

***

Tak jauh dari menara ini ada sebuah mal futuristis berbentuk serupa tumpeng raksasa bernama Khan Satyr. Di Nur-Sultan memang ada banyak bangunan berarsitektur indah dan unik karya para arsitek terkemuka dunia. Salah satunya Palace of Peace and Reconciliation, yang merepresentasikan semua agama besar di dunia. Bangunan berbentuk piramida ini dirancang arsitek kenamaan asal Inggris, Norman Foster. Letaknya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Menara Bayterek.

Ada juga sejumlah masjid megah. Salah satunya Masjid Nur-Astana, yang merupakan hadiah dari Emir Qatar Mamad bin Khalifa kepada rakyat Kazakstan yang mayoritas berpenduduk muslim meski pemerintahnya amat sekuler. Masjid berkubah keemasan hasil rancangan arsitek Charles Hadife dari Libanon ini berdiri pada 2005. Masjid berkapasitas 5.000 orang itu disebut-sebut sebagai masjid terbesar nomor tiga di Asia Tengah.

Masjid terbesar di Asia Tengah juga terdapat di Nur-Sultan, yakni Masjid Hazret Sultan, yang bergaya arsitektur Islam klasik dipadukan dengan ornamen khas budaya Kazakh. Masjid ini berkapasitas 10 ribu orang. Saya sempat menunaikan salat Jumat di masjid ini, yang saat itu dipenuhi jemaah tua dan muda.

Selain bangunan-bangunan megah dan futuristis, yang menonjol di Nur-Sultan adalah gedung pertunjukan opera dan balet. Sebagai negara bekas pecahan Uni Soviet, tradisi opera dan balet Rusia yang telah mengakar puluhan tahun tak bisa dipisahkan dari kehidupan warga Kazakstan.

Pada satu malam saya sempat menonton pertunjukan opera di Gedung Opera Astana yang megah. Lakon yang dipentaskan adalah kisah cinta Birzhan dan Sara yang telah dipanggungkan sejak 1946. Kisah cinta tragis ini polanya serupa dengan berbagai kisah cinta tragis lainnya dalam khazanah sastra dunia—sebutlah kisah Romeo dan Juliet atau Layla dan Majnun.

Hal yang juga khas dari Kazakstan adalah hidangan daging kuda. Selama berada di Nur-Sultan, berkali-kali saya dijamu hidangan yang dinamakan beshbarmak ini. Hidangan daging kuda biasanya disajikan dengan pasta dan kuah. Disajikan pula kazy, semacam sosis daging kuda yang rasanya lezat dan konon hanya bisa dinikmati orang berduit karena harganya mahal.

Minuman khas Kazakstan adalah koumiss, minuman beralkohol yang terbuat dari susu kuda yang difermentasi. Rasanya agak masam dan getir. Selain itu, tentu saja ada vodka. Bagi saya, vodka buatan Kazakstan lebih lezat ketimbang vodka Rusia.

Ingin rasanya saya tinggal lebih lama di Nur-Sultan dan mengunjungi kota-kota lainnya di sana, seperti Almaty dan Shymkent, lalu sekalian berkunjung ke berbagai negeri menarik lainnya di Asia Tengah, seperti Uzbekistan dan Turkmenistan. Namun, sayangnya, saat itu waktu saya terbatas. Saya hanya lima hari di sana. ***


RANSEL

- Tak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Nur-Sultan, Kazakstan. Rute yang disarankan adalah melalui Kuala Lumpur-Almaty-Nur-Sultan. Harga tiket termurah sekitar Rp 12 juta pergi-pulang. Perjalanan dari Jakarta ke Nur-Sultan dengan dua kali transit di Kuala Lumpur dan Almaty dapat ditempuh dalam waktu sekitar 13 jam.

- Perbedaan waktu Jakarta dengan Nur-Sultan adalah satu jam. Nur-Sultan lebih awal.

- Mata uang yang berlaku di Nur-Sultan adalah tenge. Kurs saat ini untuk 1 tenge sekitar Rp 35. Di beberapa toko, mata uang dolar juga berlaku.

- Tiket untuk naik ke puncak Menara Bayterek seharga 700 tenge atau sekitar Rp 25 ribu.

- Patut dicoba hidangan khas Kazakstan, yakni daging kuda. Biasa disantap dengan vodka buatan lokal.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus