Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Akhirnya, kesampaian juga harapan saya untuk berkunjung ke Kota Lama di Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Padahal, saya sudah beberapa kali ke sana. Area Kota Lama ini dijuluki Little Netherland atau Belanda Kecil karena lokasinya yang terpisah dari lingkungan sekitarnya, dengan lanskap dan kanal yang mirip kota di Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu gedung yang wajib dikunjungi kalau main ke Kota Lama Semarang adalah Gedung Marba. Letak gedungnya ada di seberang Taman Srigunting. Gedung dua lantai ini dibangun pertengahan abad XIX oleh Marta Badjunet, seorang saudagar kaya berkewarganegaraan Yaman.
Awalnya gedung ini dipakai jadi kantor usaha pelayaran Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan toko modern De Zeikel. Saat ini tidak ada aktivitas apapun di Gedung Marba. Peruntukannya pun sudah berubah jadi gudang.
Dekat sekali dengan Gedung Marba, ada Gereja Blenduk. Gereja ini punya nama asli Nederlandsch Indische Kerk. Bangunannya masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah. Kalau mampir ke sini di hari ibadah, mungkin bisa menyempatkan ikut hadir. Setelahnya, jangan buru-buru pulang, yuk duduk-duduk sebentar di Taman Srigunting untuk lihat aktivitas dari beragam komunitas di Semarang.
Kawasan Kota Lama Semarang yang sering dijadikan destinasi wisata ini luasnya sekitar 31 hektare. Di sini masih ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri. Buat pejalan yang suka foto-foto, pasti akan bahagia sekali karena banyak pintu dan jendela besar model kuno yang cantik dijadikan latar foto ala-ala instagram.
Sejarah terbentuknya Kota Lama Semarang di bawah ini, saya salin dari artikel di Komunitas Lopen Semarang di Seputar Semarang:
Kota Lama ada diawali dari penandatangan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan VOC pada 15 Januari 1678. Kala itu Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada pihak VOC sebagai pembayaran karena VOC telah berhasil membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo.
Setelah Semarang berada di bawah kekuasaan penuh VOC, kota itu pun mulai dibangun. Sebuah benteng bernama Vijfhoek yang digunakan sebagai tempat tinggal warga Belanda dan pusat militer mulai dibangun. Lama kelamaan benteng tidak mencukupi, sehingga warga mulai membangun rumah di luar sebelah timur benteng. Tak hanya rumah-rumah warga, gedung pemerintahan dan perkantoran juga didirikan.
Pada tahun 1740-1743 terjadilah peristiwa Geger Pacinan, perlawanan terbesar pada kurun waktu kekuasaan VOC di Pulau Jawa. Setelah perlawanan tersebut berakhir dibangunlah fortifikasi mengelilingi kawasan Kota Lama Semarang. Setelahnya karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kota yang makin pesat, fortifikasi ini dibongkar pada tahun 1824.
Untuk mengenang keberadaan banteng yang mengelilingi kota lama, maka jalan-jalan yang ada diberi nama seperti Noorderwalstaat (Jalan Tembok Utara-Sekarang Jalan Merak), Oosterwalstraat (Jalan Tembok Timur – Sekarang Jalan Cendrawasih), Zuiderwalstraat (Jalan Tembok Selatan-Sekarang Jalan Kepodang) dan juga Westerwaalstraat (Jalan Tembok Barat-Sekarang Jalan Mpu Tantular).
Waktu saya main ke sana, banyak bangunan di Kota Lama Semarang yang tidak terawat baik. Pepohonan menjulur dan akarnya merusak bangunan. Mengintip di sela-sela jendela bangunan, yang terlihat hanya reruntuhan dinding dan sampah.
Terakhir, saya dengar, Pemerintah Kota Semarang mulai menganggap serius warisan budaya ini. Setelah sekian banyak tahun dan sekian pejabat silih berganti, status bangunan akan diperjelas kepemilikan dan pengelolaannya. Dari salah satu berita, saya membaca kalau kendala penataan kota lama, salah satunya karena mayoritas kepemilikan gedung ada pada perusahaan di luar negeri.
Tulisan ini sudah tayang di Atemalem