Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah benteng yang tak pernah terkalahkan,” Fredrik Mossmark, seorang kawan yang memandu jalan-jalan saya di Swedia, menjelaskan bangunan besar berbahan batu di depan kami, bulan lalu. ”Benteng ini menjadi milik Swedia dengan negosiasi.” Benteng Bohus berada di Kungalv, sekitar 20 kilometer arah utara kota pelabuhan Swedia, Gothenborg.
Di depan kami, membentang bangunan tua raksasa yang masih kukuh. Di sekitarnya halaman berumput sangat luas dengan pepohonan yang daun hijaunya baru mulai bermunculan lagi. Tanda musim semi baru saja berawal.
Pemandangan sekeliling itu tak hanya membuat benteng terlihat cantik. Bahwa Bohus tak hanya benteng pertahanan militer, melainkan juga kastil, menjadi masuk akal. Latar langit biru berhias awan putih bersih menegaskan kesan ini. Beruntung mendung yang tadinya menggayut di langit saat kami meninggalkan Gothenborg (Goteborg) telah sirna.
Benteng Bohus adalah lemari pamer jejak sejarah berwarna darah dan per damaian negeri-negeri Skandinavia. Berada di antara Sungai Norde dan Gota, benteng ini salah satu pos pertahanan terkuat pada abad pertengahan. Juga kastil ajang pesta para bangsawan.
Bohus, yang pendiriannya di wilayah Norwegia, dibangun oleh Raja Haakon V Magnuson pada 1308. Tembok setebal tiga meter dan setinggi 8,5-13,5 meter menjadi benteng utama berbentuk hampir empat persegi panjang. Di pojok-pojoknya terdapat menara. Di dalamnya terdapat beberapa bagian seperti balai raja, kediaman komandan, kapel, ruang penjagaan, barak, dan dapur.
Bohus berkali-kali diserang pasukan Swedia, tapi tak pernah sekali pun tunduk. Dalam perang tujuh tahun dari 1563 hingga 1570 benteng ini rusak parah. Saat itu 250 tentara Swe dia berhasil menggempur salah satu me nara. Komandan Norwegia lalu mengirim martir untuk meledakkan gudang amunisi di bawah menara, menewaskan te ntara Swedia. Lawan pun dipukul mundur.
Namun, sewaktu penandatanganan Traktat Roskilde pada 1658, benteng ini menjadi milik Swedia. Karena tak lagi berada di perbatasan, peran Bohus tak lagi signifikan. Pertahanan Swe dia bergeser ke Benteng Alvsborg di Gothenburg dan benteng baru, Carlsten, di Pulau Marstrand.
Bohus pun beralih fungsi menjadi penjara, terutama untuk narapidana politik. Salah satu narapidana yang terkenal adalah agamawan Thomas Leo pold, yang dituduh bid’ah.
Pada abad ke-18, pemerintah Swedia memutuskan benteng dihancurkan. Karena tak cukup duit, pembongkaran terhenti. Batu-batu bekas benteng pun diambil warga untuk membangun rumah. Yang tersisa dan bisa dilihat hingga sekarang hanyalah sebagian benteng. Batu-batu berserakan di luar pagar. Bekas kapel sekarang terletak di luar bangunan, hanya ditandai salib kayu besar dan batu tertata yang menunjukkan bekas tembok kapel.
Sayang, pada saat kami datang, kompleks benteng ini cukup sunyi. Hanya terlihat beberapa wisatawan masuk.
Kesenyapan lebih terasa ketika kami mengunjungi Marstrand untuk menyusuri Benteng Carlsten, pertahanan utama Swedia setelah kawasan ini bersama Kungalv menjadi wilayah Swe dia. Parkiran mobil di Pulau Koon hanya terisi sebagian kecil. Di sinilah semua orang yang akan menyeberang ke Marstrand harus meninggalkan mobil. Di Marstrand tak ada kendaraan sama sekali. Sebuah feri yang wira-wiri setiap 15 menit menjadi satu-satunya kendaraan yang mengantar-jemput pe numpang dari Koon ke Marstrand atau sebaliknya.
Menginjakkan kaki di Marstrand, tak ada hiruk-pikuk. Padahal pulau ini kawasan resor dan pesiar, bahkan sejak abad pertengahan. Restoran, hotel, dan toko di pantai semua tutup. Hanya satu-dua orang terlihat di jalanan. Ketika menyusuri sebagian pulau, kami juga hanya bertemu dengan satu-dua orang.
Memasuki pintu gerbang pagar luar Benteng Carlsten, suasana juga sepi. Hanya sekali ketemu pasangan yang berjalan berlawanan dengan kami, seolah sama-sama tersesat. Pintu-pintu besi terkunci rapat. Kami hanya bisa mengintip sedikit ke dalam. Terlihat jajaran meja kursi restoran. Juga tampak bangunan baru, kamar-kamar hotel.
”Pada musim sepi, kami buka dari pukul 11 pagi hingga 4 sore,” pegawai di Carlsten, Margherita Salaris, menje laskan.
Jam buka benteng memang beragam, tergantung musim. Pada musim dingin, benteng tutup. Tapi pada musim panas biasa buka dari pagi hingga pukul 6 sore. Demikian juga toko dan restoran sekitar. Pulau berpenduduk sekitar 1.400 jiwa ini hanya ramai pada musim panas. Mandi air laut menjadi mode sejak abad ke-19.
Berlokasi di tempat tertinggi di pulau ini, Carlsten pernah dua kali ditaklukkan pasukan Denmark dan Norwegia. Tapi kini warga Denmark dan Norwegia datang dengan damai, menikmati pantai bersih dan ikan hering yang terkenal di pulau ini.
Marstrand menjadi wilayah Swedia setelah penandatanganan perjanjian damai Roskilde, Denmark. Karena pentingnya kawasan ini, Raja Swedia, Carl X Gustav, mulai membangun benteng. Tak mudah saat itu. Tak ada bahan baku dan tenaga kerja. Akhirnya, kastil yang hampir roboh diambil batunya. Untuk tenaga kerjanya dikerahkanlah narapidana dari berbagai penjara. Ada pembunuh, perampok, bajak laut, bahkan maling kecil-kecilan atau penjudi.
Dengan kaki dirantai dan digan duli bola besi dua kilogram, mereka masih harus mengangkat batu-batu ke bukit. Ada narapidana yang bahkan diharuskan mengenakan mahkota atau belenggu besi yang beratnya bisa mencapai 36 kilogram.
Benteng utama Swedia ini dua kali diserang musuh, Norwegia-Denmark. Namun setiap kali, dengan negosiasi, benteng dan Marstrand kembali masuk wilayah Swedia.
Kini benteng ini menjadi museum. Papan penjelasan di Carlsten menyebutkan, sejak 1993 benteng ini tak lagi menjadi instalasi militer dan dikelola Badan Properti Nasional. Kawasan ini kemudian dibisniskan. Masyarakat bisa merasakan suasana tinggal di benteng seperti masa lalu. Di dalam terdapat restoran. Kita bisa merasakan makanan Viking untuk makan malam. Atau meminta makan malam ala abad ke-18. Kalau ingin mengadakan konferensi atau bahkan pesta pernikahan yang lain daripada yang lain, Carlsten juga siap.
Kalaupun ingin lebih merasakan suasana ratusan abad silam, ada tawaran menginap di kamar yang dulu tempat para prajurit. Atau memilih kamar di bangunan baru di tengah kompleks. ”Ta rif untuk kamar dobel 950 krona Swedia (sekitar Rp 1.121.000),” ujar Marghe rita Salaris.
Namun, kalau tak cukup nyali meng inap di dalam benteng, di Marstrand juga banyak terdapat hotel dan vila. Sambil menikmati pantai yang bersih dan pemandangan cantik, sejarah gelap narapidana pun segera hilang dari ingatan....
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo