Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<Font color=#CC0000>Pencarian</font> Vincent Mantsoe

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi mantan striker Kongo, Pierre Kalala, sepak bola adalah alasan Tuhan memberikan kaki kepada orang Afrika. Namun, bagi Vincent Sekwati Koko Mantsoe, penari Afrika Selatan, menari mungkin adalah satu-satunya alasan paling kuat memiliki kaki.

”Lihat, ini dudumba,” katanya. Tiba-tiba badan lelaki berumur 39 tahun itu merendah. Kakinya mengangkang, membentuk kuda-kuda. Namun tidak diam seperti kuda-kuda silat kita, melainkan sambil terus bergerak, menghasilkan ritme ketuk teratur.

Kepada Tempo, Rabu pekan lalu di ruang C Institut Kesenian Jakarta, ia khusus memperagakan ritme kaki yang menjadi dasar bagi semua tari Afrika. ”Kekukuhan kaki lambang keperkasaan anak lelaki Afrika,” katanya. Makin cepat dan keras ritme gerak kaki, makin energi meluap, makin perkasa dia.

Keringatnya membanjir. Ia lalu melanjutkan latihan Barena, nomor yang bakal ditampilkannya di ajang Indonesian Dance Festival. Tarian yang mengisahkan seorang raja di Afrika yang doyan berpesta ini adalah tari solo dengan properti sederhana: selimut, tongkat, kursi kecil. Diiringi rekaman musik Afrika yang kaya tepukan perkusi djembe, Vincent awalnya berjalan pelan dengan kaki menekuk. Tangan kanannya mengepal, tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke bawah. Lama-kelamaan, gerakannya cepat. Berlari, berputar-putar, menyepak, lalu meloncat sambil meninju. Bummm… ia jatuh dengan posisi berlutut sambil tangan menampar lantai. Energetik sekaligus luwes.

Vincent mengatakan ia berusaha mengalirkan berbagai gerak tradisi dalam tubuhnya. ”Saya sangat terpe ngaruh gerak-gerak tari Asia.” Besar di Johannesburg, Vincent muda mempelajari gimnastik, karate, tarian berbagai suku Afrika, dan joget ala Michael Jackson. Pada 1990-an, ia bergabung dengan Moving Into Dance Mophatong, yang memungkinkannya mengembangkan berbagai teknik tari Afrika Selatan. Ia kemudian ke Australia mempelajari tari Aborigin. Ia juga ke Singapura belajar taichi, yang menurut dia lembut tapi penuh energi.

”Lihat ini,” katanya. Tiba-tiba ia memperagakan dudumba lagi. Tapi kemudian kedua tangannya secara menakjubkan menirukan gerak tangan tari margapati dari Bali. ”Cocok, bukan?” katanya. Kita menyaksikan memang Afrika dan Bali itu seolah menyatu dalam tubuh Vincent. ”Saya mempelajari tari Bali di Australia.” Menurut dia, elemen-elemen gerak tari Bali yang tegas bisa banyak dikombinasikan dengan gerak kaki Afrika.

Vincent mengaku banyak merenungkan hal itu selama di Indonesia. Berjalan ke Taman Ismail Marzuki dari Hotel Treva, Cikini, tempatnya menginap, ia merasa dari hal kecil-kecil seperti cara mengemudi di jalanan ada banyak hal yang dipertautkan antara gerak manusia Indonesia dan Afrika.

Kesadaran menggabungkan tubuh Afrikanya itu dengan sumber-sumber energi gerak Asia agaknya yang membuat Vincent berbeda dengan penari Afrika pada umumnya. Semenjak tujuh tahun lalu, ia menetap di Prancis. Kebanyakan penari Afrika di Prancis masuk ke dunia hip hop atau balet. Tapi Vincent tidak. ”Badan saya menolak hip hop,” katanya. Adapun balet ritmenya terlalu dituntun oleh piano dan kaki yang selalu ingin terbang. ”Seperti angsa Swan Lake.” Sedangkan kaki penari Afrika, menurut dia, harus menancap kuat di bumi. Ia ingat saat di Senegal pernah latihan di studio yang lantainya selalu ditimbuni pasir, agar kaki bisa kuat menjejak.

Sikap itu yang membuatnya laris. Ketua Festival, Maria Darmaningsih, mengatakan Vincent sudah diundang sejak empat tahun lalu. Tapi baru tahun ini ia bisa ke Indonesia. ”Kalau mau mengundang saya, harus setahun sebelumnya karena jadwal begitu padat,” kata Vincent.

Bagi Vincent, menari berarti penca rian sisi spiritual tubuh. Ia melihat banyak tari kontempo rer yang terlalu mengandalkan inteligensi, sehingga kehilang an daya magis. Ia sendiri mengaku tak berpre ten si menampilkan koreografi kontemporer, tapi ia percaya karyanya kontemporer dengan sendirinya. ”Saya masih meyakini bahwa roh-roh nenek mo yang saya selalu ada mengikuti di panggung,” kata penari yang ber asal dari keluarga dukun ini.

Pramono, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus