Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahukah anda bahwa nama Glodok berasal dari kata “grojok-grojok” yang merupakan bunyi air dari pancuran besar? Kawasan yang senantiasa ramai menjelang imlek ini, memang dekat dengan pelabuhan dan pada jaman dulu banyak terdapat pancuran besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Huans Solaihan, pegiat Jakarta Good Guide, orang Tionghoalah yang member nama demikian untuk kawasan itu. Glodok adalah onomatope atau tiruan bunyi dari suara air yang mengalir deras. “Lantaran warga Tionghoa sulit mengucapkan ‘r’, mereka menyebutnya ‘glodok’, yang lalu jadi nama wilayah itu,” kata dia saat ditemui di Glogok pada Sabtu, 3 Februari 2018.
Orang Tionghoa dulu menempati kawasan itu karena adanya pengkotak-okotakan etnis oleh kongsi dagang VOC. “Orang Tionghoa diberi wilayah di Glodok, orang India di Pasar Baru,” kata Huans.
Belanda ‘mengisolasi’ penduduk beretnis Tionghoa di kawasan itu pasca-tragedi pembantaian—yang dikenal dengan peristiwa geger pecinan—pada 1740-an. Dulu, kawasan ini belum bernama Glodok.
Glodok, khususnya Petak Sembilan, tentu berubah dari tahun ke tahun. Di mata Hartanto Widjaja, seorang penduduk asli Petak Sembilan, kampung halamannya telah berganti wajah. Ia, yang tinggal di Glodok sejak era Soekarno, mengaku menjadi saksi perubahan demi perubahan tersebut.LTC Glodok, Jakarta (ltc.glodok.com)
“Dulu, tempat ini adalah lokasi hiburan,” kata Hartanto, yang akrab disapa Koh JM, saat ditemui di Jalan Kemenangan, Glodok, Senin, 5 Februari 2018.
Di sana, orang-orang datang untuk berjudi dan menikmati aktivitas jual-beli manusia. “Di depan Vihara Toa Se Bio itu dulu adalah tempatnya para PSK (pekerja seks komersial),” ujarnya.
Tempat hiburan malam tersebut terpusat di hotel yang kini dialih-gunakan sebagai gedung sekolah. Gedung sekolah Lokasinya tepat di seberang vihara. Masih dalam satu garis wilayah dengan hotel itu, gedung-gedung sekitarnya adalah tempat untuk main casino dan candu.
Hiruk-pikuk gemerlap duniawi sangat terasa, menurut pengakuan Koh JM. Ia sempat menyaksikan suasana demikian sampai remaja. Kesan berbahaya melekat di ingatannya. Namun Petak Sembilan, menurut dia, telah berubah total pada 1970-an.
“Operasi yang dilakukan pemerintah pada masa-masa itu membuat semua tempat hiburan di sini ditutup,” kata dia.
Sejak itu, Petak Sembilan beralih menjadi pusat aktivitas perdagangan tanpa embel-embel hiburan. Apalagi pasca-reformasi. Orang-orang dari beragam etnis mulai hijrah dan tinggal menetap di sekitar Glodok. “Makanya di sini sekarang lebih banyak pendatang daripada penduduk asli,” katanya.
Hal itu diakui juga oleh Akiong. Pemilik warung makan Kari Lam ini ikut orang tuanya merantau dari Medan ke Glodok pada 1970-an. Ia turut menjadi saksi perkembangan Petak Sembilan masa demi masa. “Kalau sekarang orang-orang lebih beragam, enggak seperti dulu,” tutur Akiong. Pelanggannya juga bergeser, dari yang dulu orang-orang keturunan Tionghoa, kini dari berbagai etnis.
Kenangan Petak Sembilan, bagi Koh JM dan Akiong, tak pernah luntur. Dalam berbagai rupa, kawasan pecinan itu selalu memberi romansa khusus buat keduanya. Salah satunya, saat-sat menjelang imlek seperti sekarang ini.
Artikel lain: Perhatikan Dua Larangan Ini Saat Melancong ke Jepang