Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lampu-lampu mendadak redup. Semua mata penonton langsung mengarah ke panggung yang terlihat sempit itu. Perangkat alat musik memang tumplek di sana. Seperempatnya sudah sesak oleh pemain alat gesek dan beragam perkusi. Eh, masih ditambah juga dengan choir tersusun sangat padat. Total ada 29 pemain musik di sana. Lantas di mana sang bintang? Semua mata mencarinya.
Ternyata perempuan itu muncul dari balik pemain alat gesek. Malam itu Sarah Brightman tampak cantik sekali dengan gaun berwarna merah menyala. Diiringi musik pembuka, dia melangkah anggun menuju tengah panggung. Setelah tebar senyum sana-sini, dia membawakan Gothica. Symphony, The World Tour—judul konser malam itu—pun dimulai.
Akhirnya, dia memang datang. Untuk manggung di Jakarta, Brightman tergolong bintang yang sulit dikejar. Suatu ketika, dia ogah datang dengan alasan keamanan. Tapi, Januari silam, Peter Basuki, dari Buena, promotor pertunjukan ini, seperti keruntuhan durian. Saat konser Brightman di Singapura batal, dia melobi si rambut panjang. ”Saya kaget, eh, kok dia mau,” katanya.
Alhasil, dalam waktu sebulan dia pun pontang-panting. Mencari tempat yang cocok. Sebuah bank mau menjadi sponsor. Barang bagus memang gampang dijual. Sarah Brightman masuk kategori ini.
Sarah Brightman, 48 tahun, adalah nama lain di musik pop dunia. Biduan ini tidak berada di ingar-bingar musik yang juga menyajikan sensasi dan selebrasi. Berbekal suara soprannya, perempuan asal Inggris ini meluncur di sebuah wilayah lain musik pop.
Bersama barisannya ada Enya, penyanyi Celtic yang cantik. Atau, mau yang lebih muda, ada Charlotte Church. Di kawasan laki-laki, yang masuk golongan ini adalah Josh Groban, Il Divo, dan vokalis tunanetra Andrea Bocelli. Semua dari mereka berhasil menyajikan suara dari panggung yang lain ke dalam musik pop.
Tren masuknya penyanyi-penyanyi seperti itu sebenarnya bukanlah hal baru. Ingat John Denver? Penyanyi country ini pernah mengajak Placido Domingo, sang tenor, berduet dalam Perhaps Love. Sebaliknya, Luciano Pavarotti semasa hidupnya sering mengajak penyanyi pop naik panggung bersama.
Saat dunia makin tua, sajian musik pop memang kian bercabang. Beruntung, Brightman punya modal lebih. Tidak saja kualitas suaranya yang punya oktaf tinggi, tapi juga silaturahmi musikalnya yang melangkah jauh.
Dia nyelonong ke berbagai jenis musik, dari opera hingga dance music dengan entakan dan lengkingan musik techno. Kelebihan utamanya terletak pada kedahsyatan suara yang ditempa berbagai latihan sejak dini, yang lalu membawanya hilir-mudik di berbagai panggung opera, menempanya menjadi diva yang sesungguhnya.
Dan inilah pula yang ditampilkan Selasa malam pekan lalu itu. Dust in the Wind, lagu grup Kansas, atau Wonderful World, milik Louis Armstrong, berubah total dengan lagak dan langgam Gregorian.
Antusiasme penonton memuncak saat Brightman menyanyikan lagu The Phantom of the Opera. Lagu ini pertama kali ia bawakan dalam opera musikal yang diambil dari novel Prancis, Le Fantôme de l’Opéra, karya yang digelar bersama Andrew Lloyd Webber pada 1986. Nah, Brightman yang berduet dengan Alessandro Safina mampu membius seisi ruangan untuk menikmati setiap lekuk nada suara yang ia bawakan.
Sembilan belas lagu ia mainkan tanpa istirahat, namun kemampuannya tak lantas kendur. Produksi suara soprannya prima. Ia menjangkau nada-nada tertinggi kalimat per kalimat dalam lagu. Tanpa falset, sehingga terdengar kecil, meninggi dan tajam. Kedua tangan Brightman berkali-kali meregang untuk membuka sisi diafragma agar produksi suara tetap terjaga.
Alhasil, penonton pun terbius. Addie M.S. konduktor Twilite Orchestra, salah satunya. ”Luar biasa. Dia masih bisa mencapai nada itu dengan baik,” katanya.
Lain lagi dengan Abdul Latief. Pengusaha yang juga pernah jadi menteri di zaman Orde Baru ini malah rada kecewa. Di luar negeri dia kesengsem dengan pertunjukannya. ”Di sini kita hanya bisa menikmati dari segi suaranya,” katanya.
Tata panggung dan lampu memang tidak maksimal. Namun, seperti kata Latief, suara Brightman tak tergantikan dan tetap membius.
Irfan Budiman, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo