Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selalu ada cerita menarik yang terkait dengan kematian tokoh-tokoh terkenal. Beberapa cerita terdengar seperti dongeng, tetapi banyak yang mempercayainya. Salah satu cerita menarik terkait dengan almarhum Susuhunan Amangkurat I, Raja Mataram Islam, yang dimakamkan di Pemakaman Tegal Wangi Pekuncen Adiwerna, Tegal, Jawa Tengah, adalah tentang jenazahnya yang tidak pernah membusuk. Bahkan, kuku dan rambutnya terus tumbuh dan memanjang seolah-olah jenazah tersebut masih hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita ini telah beredar turun-temurun dan diceritakan oleh juru kunci Pemakaman Tegal, Arum Agus Sholeh, yang mendapat cerita tersebut dari kakeknya yang juga menjabat sebagai juru kunci sebelumnya. Konon, jenazah Amangkurat I tidak pernah dikubur dengan sempurna, melainkan hanya ditutup dengan kaca. Setiap tahun, perwakilan dari Keraton Solo datang untuk memotong rambut dan kuku jenazah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konon, saat dimakamkan tanah yang digunakan untuk mengubur Amangkurat I berbau harum hingga akhirnya tempat makam tersebut dijuluki Tegal Arum atau Tegal Wangi. Makam Amangkurat I terletak di halaman kelima komplek Tegalarum yang berbentuk teras bertingkat menghadap selatan pada teras ketiga atau teras yang tertinggi.
Tradisi ini berlangsung dari abad ke-17, sejak kematian sang raja pada 1677, hingga sekitar tahun 1960-an. Namun, pada tahun 1960-an, atas pertimbangan dari Keraton Kasunanan Surakarta dan para tokoh agama, makam Amangkurat I ditutup secara permanen dengan batu nisan, untuk menghindari kemungkinan adanya penyimpangan agama.
Sejak saat itu, tradisi pemotongan rambut dan kuku oleh Keraton Surakarta tidak lagi dilakukan. Meskipun demikian, Kasunanan Surakarta masih menghormati leluhurnya dengan menggelar jamasan setiap tahunnya di bulan Suro dalam penanggalan Jawa.
Amangkurat I adalah Raja Mataram Islam yang merupakan putra Sultan Agung, naik tahta pada 1646. Pada tahun 1648, ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kerta ke Pleret, Bantul, dan mendirikan keraton di sana.
Pada akhir pemerintahannya, yang diwarnai oleh pemberontakan, dia digulingkan oleh Trunajaya dan putra mahkotanya, yang kemudian menjadi Amangkurat II. Setelah itu, Amangkurat I melakukan perjalanan ke barat untuk meminta bantuan dari VOC di Batavia, namun meninggal dalam perjalanan. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di Tegal Arum, berdampingan dengan gurunya di masa kecil, Tumenggung Danupaya atau Ki Ageng Lembah Manah.