Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wamena adalah nama ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua. Wamena terletak di Lembah Baliem dengan ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut. Suasana di sana begitu dingin dengan kondisi cuaca yang kerap hujan di sore hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu-satunya sarana transportasi untuk sampai ke Wamena adalah dengan menggunakan pesawat dari Bandara Sentani, Jayapura. Wamena menjadi daerah penghubung ke kabupaten-kabupaten di pegunungan tengah Papua. Sebab hanya di Wamena terdapat bandara dengan landasan pacu yang memadai buat pesawat berbadan lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menjelaskan asal-usul nama Wamena dari cerita masyarakat Suku Dani. Dahulu kala, ada sebuah tempat bernama Ahgamua di Pegunungan Jayawijaya. "Kawasan Ahgamua ini berupa lembah yang luas, subur, dan indah," kata Hari Suroto kepada Tempo, Minggu 13 Desember 2020.
Ahgamua merupakan tempat yang sangat dingin, sering berkabut, dikelilingi gunung, dan dilintasi Sungai Baliem berarus deras. Rumah-rumah penduduk Ahgamua beratap alang-alang. Mereka menyebutnya honai. Suku Dani tinggal di Ahgamua. Lantaran tanah yang subur, mereka tidak kekurangan bahan pangan. Ada buah merah, pisang, tebu, keladi, sayur lilin, dan ubi jalar.
Suasana Sungai Baliem yang tenang dan berair dingin. Foto: @rolanddaniello
Mata pencarian Suku Dani di Ahgamua adalah berkebun dan beternak babi. Babi menjadi binatang peliharaan sekaligus aset masyarakat setempat. Babi merupakan simbol adat untuk menyelesaikan persoalan sampai urusan maskawin. Hingga satu hari, sekelompok gadis Suku Dani hendak mandi di Sungai Baliem.
Saat itu, tiba-tiba datang seorang pria asing berkulit putih di pinggir sungai. Para gadis pun terkejut. ""Eye... eye... eye... Ap molah! Ap molah!" teriak perempuan itu. Ap molah adalah sebutan untuk orang asing berkulit putih. Lantaran takut, para gadis ini pergi dari sungai.
Hanya satu perempuan yang tidak takut kepada ap molah. Pria tadi memberikan salam dengan bahasa isyarat. Dia menggerak-gerakkan tangan dan berkata dalam bahasa Belanda, "wees niet bang!". Artinya, jangan takut. Tapi gadis pemberani itu tidak mengerti.
Pria tadi lantas mendekati perempuan itu dan bertanya, "Hoe heet dit plek (apa nama tempat ini)?". Tepat saat si pria bertanya, muncul seekor anak babi di pinggir sungai. Sang gadis sontak berteriak, "Wamena!" Dalam bahasa Suku Dani, Wamena berarti anak babi peliharaan. Asal katanya 'wam' yang berarti babi dan 'ena' berarti anak peliharaan.
Seorang ibu menggendong anak babi peliharaannya di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 10 Agustus 2017. Ibu-ibu Wamena Papua menyayangi anak babi miliknya sama seperti mereka menyayangi anaknya. Tempo/Rully Kesuma
Perempuan ini sejatinya berkata 'wamena' kepada teman-temannya. Memberitahu mereka kalau ada anak babi peliharaan yang terlepas. Namun pria asing tadi justru menegaskan dengan berkata, "zijn naam (namanya) Wamena." Sama-sama tak paham dengan apa yang terjadi, sang gadis pergi begitu saja dan pria tersebut melanjutkan perjalanan ke arah timur Ahgamua.
Beberapa waktu kemudian banyak orang Belanda yang terbang dari Sentani tiba di lapangan terbang Ahgamua. Mereka menetap di sekitar lapangan terbang dan membangun rumah beratap seng.
Orang-orang Belanda yang datang menyebut tempat itu dengan nama Wamena, bukan Ahgamua. "Hingga kini, Ahgamua dikenal dengan nama Wamena," kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih.