Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kediri – Meski bukan kuliner khas, nasi campur yang satu ini sangat digemari masyarakat Kediri. Tak hanya enak, nasi campur Bu Harjo juga legendaris sejak tahun 1945.
Baca juga:Pilih Mana Mie Setan atau Mie Iblis? Minumnya Es Pocong
Entah bagaimana teknik memasaknya, nasi campur Bu Harjo di Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri sangat menghipnotis. Bahkan rasa nasi putihnya saja sangat punel dan wangi.
Keistimewaan utama nasi campur ini terletak pada lauknya, sangat komplit. Mulai dari empal sapi bumbu, suwiran ayam kari, hingga tambahan serondeng (parutan kelapa yang digoreng), dan kecambah.
Tak hanya enak, jumlah lauknya yang banyak bahkan sampai menutupi hampir semua bagian nasi. Sehingga ketika disantap nasinya akan lebih dulu habis dibanding lauknya. Soal rasa, warung ini memadankan dengan makanan Yogya yang manis. Karena itu pula menu utama depot Bu Harjo ini digemari semua kalangan, mulai anak kecil hingga dewasa.
Gang tempat Depot Bu Harjo berada di Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. TEMPO/Hari TW
Meski hanya menyediakan menu nasi campur, rawon, dan krengsengan, kunjungan di rumah makan ini jangan ditanya. Sejak dibuka pukul 07.00 – 15.00 WIB, depot ini tak pernah kehabisan pengunjung. Padahal untuk mencapai lokasi depot yang berada di dalam gang kecil cukup rumit.
Pengunjung diwajibkan berjalan kaki dari mulut gang menuju depot Bu Harjo yang berjarak 100 meter. Jika membawa motor, tak ada pilihan selain mendorong. Meski cukup merepotkan, namun tak mengurangi animo pengunjung untuk mendatangi depot tersembunyi ini.
Tak sulit untuk menemukan depot Bu Harjo. Dari balai kota Kediri hanya berjarak satu kilometer menyeberang jembatan Sungai Brantas ke barat sungai. Selanjutnya tinggal mencari Pasar Bandar atau kantor Kecamatan Mojoroto. Depot Bu Harjo berada di dalam gang sebelah selatan Kantor Kecamatan Mojoroto, atau tepat di depan area Pasar Bandar.
Jika masih kesulitan, warga sekitar akan dengan mudah menunjukkan arah jalan menuju depot Bu Harjo. Sebagai penanda, pemilik depot memasang sebuah tulisan dari seng bundar yang ditempel di pohon depan gang. Tulisan berwarna merah putih itu sekaligus menjadi petunjuk apakah depot tersebut buka atau tutup. Ini agar pengunjung depot tak kecele sebelum memasuki gang.
Jika sedang beruntung, depot Bu Harjo bisa ditandai dengan bangunan rumah lawas nomor 57 di kiri jalan. Rumah sederhana ini tak banyak menampung meja dan kursi makan. Dari ruang saji terlihat langsung dapur tempat memasak makanan. Dua perempuan terlihat sibuk di depan kompor sambil sesekali melayani pembeli yang datang.
Berikutnya, Apa bedanya Warung Bu Harjo dulu dan sekarang?
Kesan kuno depot ini terlihat dari perabot yang ada. Seperti toples kaca besar tempat menyimpan kerupuk dan meja kayu besar tempat sajian makanan.
Sebuah foto perempuan terpampang di dinding ruangan. Foto hitam putih itu menampakkan perempuan paruh baya dengan pose close up. Foto serupa juga terpasang di atas dinding dapur. “Itu foto Bu Harjo,” kata perempuan muda dari dapur.
Dia mengaku sebagai cucu keponakan Bu Harjo, pemilik depot. Karena tak memiliki keturunan, kelangsungan depot makan itu diserahkan kepada adik dan cucu keponakannya.
)Foto Bu Harjo yang terpasang di dinding depot. (TEMPO/Hari Tri Wasono)
Sebelum menempati gang kecil, depot Bu Harjo menghuni sudut Pasar Bandar di pinggir jalan raya. Depot ini berdiri sejak tahun 1945 dan bertahan di Pasar Bandar hingga tahun 1997. Mendiang Bu Harjo memindahkan usahanya ke rumah di dalam gang setelah Pemerintah Kota Kediri mengosongkan area pasar untuk direhab.
Uniknya, sejak dirintis di era kemerdekaan hingga sekarang, Depot Bu Harjo tak pernah mengubah menu. Satu-satunya menu andalan adalah nasi campur.
Asmiati, pensiunan kepala sekolah dasar di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri selalu mengandalkan nasi campur Bu Harjo untuk semua acara. Perempuan berusia 76 tahun ini menganggap nasi Bu Harjo sebagai makanan mewah untuk sajian dinas. “Kalau konsumsinya nasi Bu Harjo, semua peserta rapat semangat,” kenangnya.
Kala itu menu nasi campur Bu Harjo dianggap spesial dan elit. Karena itu tak setiap acara dinas maupun rumah membelinya untuk santapan. Kecuali jika budget yang tersedia cukup besar atau untuk menjamu tamu penting.
Menurut Asmiati, ada perbedaan penyajian nasi campur Bu Harjo dulu dan sekarang. Jika dulu nasi campur dibungkus kulit pisang, kini dibungkus kertas. Selain itu jumlah lauknya juga menurun drastis. “Dulu lauknya saja bisa buat makan beberapa kali,” katanya tertawa.
Sayang seiring pergantian juru masak, beberapa pelanggan turut merasakan perbedaan rasa pada nasi dan lauknya. Mereka mengaku tak menemukan sensasi masakan Bu Harjo yang asli meski tetap terbilang enak. Karena itu meski tak lagi sama, para pelanggan yang telah menyantap sejak puluhan tahun silam tetap bertahan memburu nasi campur Bu Harjo.
Satu porsi nasi campur di depot ini terbilang tak murah, yakni Rp 24.000 per porsi. Namun harga kuliner itu cukup pantas dengan jumlah lauk yang masih banyak.
Baca juga: Tak Cuma Makan dan Minum, Kafe Ini juga Usung Konsep Unicorn
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini