Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fatris M.F. menulis perjalanannya berkeliling Phnom Penh dan sejumlah daerah lain di Kamboja selama beberapa hari.
Dia mendapat gambaran lebih dalam tentang Kamboja dari sopir tuktuk carteran.
Negara tetangga itu dianggap sulit maju karena banyak kaum intelektual jadi korban pembantaian Khmer Merah pada 1975-1979.
JANUARI 2024. Hujan belum turun selama berminggu-minggu dan gerah merambat ke sekujur kota, ke pagoda-pagoda, serta ke jalan-jalan di Phnom Penh yang murung. Di antara pasar-pasar tradisional yang terjebak dikungkung gedung-gedung kusam pertokoan dan apartemen serta rumah-rumah susun yang menghadap ke Sungai Mekong—sungai lusuh yang melintang panjang membelah ibu kota Kamboja—saya mengenal seorang lelaki bernama Dy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dibaca ‘di’, bukan ‘die’ yang berarti ‘mati’ dalam bahasa Inggris. Kematian telah terlalu banyak di Kamboja ini,” katanya saat kami bersalaman. “Hanya Dy.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama yang terlalu singkat untuk rata-rata orang sebangsanya. Dy seorang lelaki Khmer berperawakan klimis dan ramping. "Dy, walau singkat, artinya panjang,” katanya dengan mimik mulai serius.
Dy berdiri dari tempat duduknya dan menunjukkan cara menulis namanya dalam aksara Khmer dengan mengoret-oret kaca tuktuk yang retak menggunakan jari telunjuknya dan berharap saya mengerti. “Dy, berarti tangguh. Bisa juga artinya hebat atau beruntung,” katanya lagi.
Nama sepertinya memiliki arti begitu penting di Kamboja, apalagi bagi Dy. "Apalah arti sebuah nama" kata Shakespeare tidak berarti apa-apa di Phnom Penh—kota yang tidak bisa dipisahkan dari tirani berlumuran darah yang terbagi secara tajam antara kaya dan miskin, seperti halnya di negara berkembang lainnya.
Pasar di samping pagoda di Phnom Penh, Kamboja, 2 Januari 2024. Foto: Fatris M.F.
Bersama lelaki "tangguh dan beruntung" inilah saya berkeliling Phnom Penh serta beberapa daerah lain di Kamboja. Kami menggunakan harta paling berharga miliknya: tuktuk berwarna kuning. Kelirnya seperti warna bendera partai yang pernah berkuasa puluhan tahun di Indonesia yang kini telah usang, seusang tuktuk Dy dengan penyok di beberapa bagian bekas tabrakan.
“Entah kenapa orang suka sekali menabrak tuktuk saya ini,” katanya dengan bahasa Inggris yang mudah dimengerti. Namun, dengan tuktuk penyok inilah, Dy melanjutkan, dia bisa menafkahi tiga anaknya, membayar cicilan istrinya di bank, membantu biaya sekolah dua saudaranya, dan memberi makan ibunya yang telah uzur. Sekali sebulan, ia akan balik ke kampungnya di utara, dua jam naik bus dari Phnom Penh.
“Saya hafal semua jalan di Phnom Penh ini. Percayalah. Saya bisa menerangkan bagaimana sejarah Kamboja ini juga, orang-orangnya, semua jalannya,” kata Dy terus mengoceh dengan earphone tercantol di telinga kirinya. “Kalau mengantar penumpang, saya tidak bisa membaca, maka saya bisa mendengar berita, audiobook, dan podcast dari smartphone.”
"Berapa saya harus membayar kamu buat mengantar berkeliling?" Saya mengulang pertanyaan yang sama, tapi dia tetap tidak menyebutkan angka. Setelah mencopot earphone di telinganya, bukannya menyalakan mesin tuktuk, ia malah memberi saya khotbah tentang kategori penumpang asing yang layak duduk di jok belakang tuktuknya yang kempot itu. Ia menjabarkan begitu banyak jenis ras dari negara-negara berbeda yang pernah diantarnya berkeliling Phnom Penh: turis tak tahu diri yang sama sekali tidak menaruh rasa hormat kepadanya, orang yang berbicara merendahkan masyarakat Kamboja, atau penumpang yang seperti bos di dalam tuktuknya. Ia tidak menyukai penumpang-penumpang jenis itu—dan untungnya saya bukan jenis orang yang tidak disukai Dy Sang Egalitarian.
Tuktuk berjalan seperti kutu yang merayap di tengah kota ketika matahari baru bangkit menyinari gedung-gedung pertokoan dan apartemen berwarna kusam. Di satu pasar yang terserak di pinggir jalan, di sisi pagoda, kami berhenti buat sarapan. Di hadapan kami, lewat gerobak sebesar mobil yang ditarik sepeda motor; orang bersepeda; perempuan bersuara kencang mengalahkan knalpot tuktuk; serta lapak daging, ikan, pisang, sayur-mayur, dan kue basah. Biksu-biksu berbalut pakaian oranye mendatangi satu per satu lapak pedagang, menunggu pedagang memberi uang, dan sesekali pedagang rukuk memegang kaki orang-orang suci itu sembari melafalkan entah apa, barangkali doa. Orang-orang di pasar begitu menghormati biksu mereka.
Kami sarapan roti kering num pang, yang dalam bahasa Prancis disebut baguette dan jamak ditemui di negara itu. Mengingat negeri ini dijajah negeri Napoleon itu sejak 1863, Prancis masih meninggalkan jejaknya di Indocina walau bendera Kamboja tertancap di mana-mana, seperti negara komunis saja atau seperti Indonesia saat masa pemilu. Kamboja memang pernah diisi oleh komunis setelah Prancis angkat kaki pada 1953.
Tuktuk kami kembali membelah Phnom Penh, menyalip kendaraan yang berjibun, mengabaikan lampu merah dan rambu-rambu, serta melawan arah. Ketika berhenti di lampu merah—Dy harus berhenti kali ini karena ada polisi yang berjaga—ia merogoh saku dan membuka dompet, memberi selembar uang kepada pengemis. “Kita harus berbagi. Saat itulah saya merasa senang,” katanya, terdengar berlebihan seakan-akan ia orang suci.
Dy tersenyum-senyum ketika tuktuk terus melaju melewati perkampungan-perkampungan miskin di pinggir Phnom Penh. Lelaki itu memang begitu mudah tersenyum sebagaimana ia juga begitu mudah menunjukkan raut muka marah jika melihat sesuatu yang tidak disukainya. Dy, 37 tahun, suka berbicara semaunya seakan-akan apa yang dipikirkan dan dirasakannya akan keluar seperti air bah dari mulutnya.
Saya melihat sudut-sudut Phnom Penh dari jendela dan kaca tuktuk yang retak. Arsitekturnya dengan pagoda-pagoda purba dan bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial ini mengingatkan pengunjung bahwa kota tersebut pernah menjadi bagian dari kekaisaran kolonial Prancis. Ada juga bangunan-bangunan yang menarik secara arsitektur dari tahun-tahun kemerdekaan. Namun, seperti halnya bangunan-bangunan dari masa kolonial, jumlahnya sangat terbatas.
“Ini yang saya sebut tadi, kenapa Kamboja ini susah maju. Orang Kamboja yang pintar sudah banyak yang mati. Dibantai. Dibantai oleh orang gila. Tidak bisa disebutkan dengan kata-kata,” kata Dy ketika mesin tuktuk berhenti di sebuah gapura dan ia juga berhenti berbicara tentang politik, sejarah negerinya, serta pembangunannya. Dia begitu yakin Kamboja sebentar lagi akan jadi negeri kaya. Phnom Penh pernah dijuluki The Pearl of Asia pada 1960-an sebelum revolusi paling berdarah dalam sejarah Asia modern mengubah segalanya.
Saya memasuki ladang pembantaian Choeung Ek Killing Field dengan membayar US$ 3—setara dengan Rp 48 ribu. Inilah yang dimaksudkan Dy tempat yang tidak bisa diterangkan dengan kata-kata. Di tengah lapangan yang dipagut terik tropis, di antara lubang-lubang bekas galian di mana tumpukan mayat dikubur, didirikan sebuah bangunan yang memajang ratusan, entah ribuan, tengkorak manusia beragam bentuk. Inilah etalase genosida di mana tengkorak dan tulang belulang manusia dipamerkan. Ada yang retak bekas pukulan palu, ada yang bolong bekas hantaman linggis, dan akan teramat sadis bila dituliskan secara detail. Ladang pembantaian ini, salah satunya, tempat jutaan orang Kamboja dibunuh hanya dalam lima tahun sejak 1975.
Choeung Ek Killing Field di Kamboja, 2 Januari 2024. Foto: Fatris M.F.
Pemerintahan diktator memenjarakan banyak orang yang tidak sesuai dengan ideologi rezim Khmer Merah yang berkuasa kala itu. Lalu mengeksekusinya secara massal di ladang-ladang pembantaian. Rezim itu dipimpin oleh seorang anak petani yang baru pulang dari Prancis bernama Saloth Sar. Sejarah menyebut lelaki tambun itu Pol Pot.
François Ponchaud, seorang pastor Katolik Prancis sekaligus misionaris untuk Kamboja yang meneliti rezim Khmer Merah, menyebutkan jumlah korban pembantaian itu 2,3 juta orang, 32 persen dari jumlah penduduk Kamboja. Banyak intelektual Kamboja yang tidak sesuai dengan ideologi rezim juga dibunuh.
Kini sebagian korban itu ada di depan saya: tulang belulang mereka, pakaian, gelang, dan entah apa lagi. Inikah yang hendak dipertontonkan kepada generasi Kamboja hari ini? Kepada turis? Kesadisan yang membuat bergidik—walau Pol Pot dan rekan-rekannya pada mulanya menyusun rencana ekonomi empat tahun "untuk membangun sosialisme di segala bidang".
Saya keluar dari ladang pembantaian dan kembali berada dalam tuktuk Dy.
“Saya tidak mau masuk ke sana. Itu pembantaian gila,” kata Dy sembari mematut-matut wajahnya di spion tuktuk yang kadang seperti tidak berfungsi sebagai spion.
Malam kemudian mengambang di Phnom Penh. Saya meringkuk di hotel dibuai udara yang diembuskan penyejuk ruangan, sementara Dy meringkuk pulas di tuktuknya. Sebelum tidur, ia menelepon anak-anaknya. Atau bila terlalu rindu kepada anak-anaknya, ia akan pulang beberapa hari. Dy menyebutnya charging energy. Bila energinya telah penuh, ia kembali ke Phnom Penh, bekerja, mengantar penumpang, tidur di atas tuktuk, dan mandi di jamban umum.
“Kau lihat lelaki itu, berbahaya. Tidak bekerja, mabuk, dan bisa saja ia mengambil telepon serta uangmu,” kata Dy menunjuk seorang lelaki dengan rambut awut-awutan dan berjalan setengah sempoyongan ketika ia menjemput saya pada hari berikutnya. Dy selalu mengutuk para pemalas dan pemabuk, yang menurut dia membuat negaranya susah maju. “They drink and drunk, and get fighting. No income,” katanya ketika seorang lelaki berjalan terhuyung dan hampir menyenggol tuktuk kami di tengah padatnya ibu kota.
Dy, selama beberapa hari kemudian, bertingkah dengan caranya sendiri, termasuk menunjuk hidung siapa saja, termasuk hidung pemabuk, tepat di depan mereka, dan menilai orang itu dengan analisisnya sendiri. Para pemabuk, pemalas, dan pemadat yang kerjanya bisa saja mencuri, bagi Dy, adalah yang membuat Kamboja miskin.
Dy merupakan seseorang yang begitu punya rasa hormat kepada siapa pun, kecuali orang-orang yang baginya tidak terhormat. Ia juga seperti seorang pakar psikologi yang mengetahui jenis-jenis manusia di Phnom Penh ini, sebagaimana ia dengan penuh percaya diri mengetahui seluk-beluk kota ini dengan segala pasarnya, jalan-jalan tikusnya, dan sejarahnya yang penuh darah.
Jalanan padat telah kami tinggalkan dan sekarang melewati jalan berdebu selama setengah jam. Ini merupakan kampung para pemadat dan pengedar, begitu kata Dy. Ketika tuktuk kami berjalan begitu pelan di gang-gang sempit, sorot mata penuh curiga mengiringi dari kiri dan kanan. Kami terus melewati kampung di pinggir Sungai Mekong itu. “Semula ini tempat prostitusi. Sekarang dijadikan pusat pendidikan Islam oleh orang-orang Campa. Itu bagus,” katanya.
Pinggir Sungai Mekong di Phnom Penh, Kamboja, 4 Januari 2024. Foto: Fatris M.F.
Dari jendela tuktuk yang tak ada kacanya, saya melihat rumah-rumah serta danau yang telah direklamasi menjadi apartemen dan rumah-rumah mewah yang harganya tidak bisa dibayangkan Dy. “Seumur hidup saya bekerja, tidak akan bisa membeli, walau kamar mandinya saja. Ha-ha-ha. Perusahaan dari Cina, Jepang, dan Korea menguasai perekonomian Kamboja. Nanti orang Kamboja sendiri yang membuat perusahaan. Pasti,” kata Dy.
Pada hari lain, saya sendirian di pinggir Sungai Mekong. Memandangi nelayan yang hilir-mudik. Lampu-lampu kota kemudian menyala dan malam kembali turun di Phnom Penh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo