Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Lasem – Gerbang kuno dengan daun pintu dua lapis berwarna cokelat tua berukir huruf Cina keemasan teramat menyita pandangan saya siang itu, Minggu, 15 Juli 2018, saat melintas di Jalan Jatigoro, Karangturi, Lasem, Jawa Tengah. Bangunan ini salah satu yang paling mencolok di kompleks pecinan tua jalur pantai utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Oei. Begitulah nama yang tertera pada sebuah papan di atas gerbang tersebut. Menurut penduduk setempat, rumah ini menjadi pusat seni, budaya, dan kuliner di Lasem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya melangkah masuk menuju halaman depan. Ada banyak kursi besi kuno dengan meja yang ditata berhadap-hadapan. Meja itu diberi taplak batik sehingga tampak rapi. Konon, inilah kafe sederhana yang menyediakan beragam kuliner khas Lasem.
Di tengah halaman rumah itu tumbuh pohon mangga besar. Ranting-rantingnya membuat seluruh halaman terlindung dari panas menyengat.
Bagian depam dari Rumah Oei yang berada di Jalan Jatigoro, Karangturi,Lasem, Kabupaten Rembang. Tempo/Francisca Christy Rosana
“Silakan masuk,” kata seorang perempuan keturunan Tionghoa berusia separuh baya. Dialah Grace Widjaja alias keturunan ketujuh pemilik rumah ini. Grace perempuan yang lahir di Semarang. Ia memiliki kakek yang dulunya menikah dengan warga asli Lasem.
Grace, yang seorang pegiat budaya, menyambut antusias tamunya. Ia mengajak saya masuk berkeliling ke rumah yang menjadi bagian dari saksi sejarah pecinan Lasem itu.
Rumah Grace dulunya milik Oei Am. Oei Am, kakek Grace, merantau dari Cina ke pesisir Lasem saat usianya 15 tahun. Ia tak pernah baik lagi ke negeri tirai bambu. Alih-alih pulang kampung, di usianya yang ke-17 tahun, ia malah menikah dengan penduduk asli, seorang perempuan Lasem tulen.
Perempuan itu dinamainya Tjioe Nio. Nama tersebut disematkan untuk menggambarkan perantinya sebagai perempuan yang pandai menari dan membatik. Bersama istrinya inilah Oei Am membangun rumah, yang kini bernama rumah Oei. Rumah itu berdiri sejak 1818 di Jalan Jatigoro 10, Lasem.
Rumah Oei telah berusia 200-an tahun. Namun konstruksinya masih asli. Kayu-kayunya tak ada yang diubah. Lantainya terakota berlapis semen. Bangunannya sederhana tapi terkesan megah khas Cina kuno abad 17-18-an.
Baca Juga:
Interiornya masih asli seutuhnya. Ada bangku-bangku sedan dari rotan yang sudah lepas beberapa bagiannya. Tampak juga kebaya encim milik Tjioe Nio yang dibingkai rapi. Bila diamati benar, ada yang menarik. Kancing kebaya itu bergambar foto suami dan dua orang anaknya.
Foto-foto keturunan keluarga Oei terpajang di hampir setiap sudut di bagian depan rumah. Lemari kuno dan etalase kaca masa lalu ikut mejeng. Di situlah dipajang kaset-kaset era 1950-an sampai 1990-an karya musikus Cina, Jawa, Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia. Kata Grace, kaset-kaset tua ini koleksi suaminya, Prof Hardono Susanto, seorang guru besar di Universitas Diponegoro Semarang.
“Rumah ini kepemilikannya sudah punya saya pribadi. Saya buka kembali dan saya persembahkan untuk Lasem,” kata Grace.
Grace Widjaja, generasi ketujuh keluarga Oei di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tempo/Francisca Christy Rosana
Rumah Oei dibuka oleh Grace setelah sempat vakum 70 tahun. Bangunan ini beku pada masa Orde Baru. Hanya ada seorang penjaga yang saban hari mengurusi Rumah Oei.
Dulu, Rumah Oei sempat kehilangan identitas sebagai bangunan Cina. Segala atribut yang menggambarkan simbol Tionghoa dicopot. Alhasil ketika dibuka kembali, Grace harus memasang lagi atribut-atribut yang ditanggalkan itu.
“Kami bangkit mulai 2016,” kata Grace. Ia sempat berkonsultasi dengan ahli budaya Cina dan arsitektur profesional dari Korea Selatan. Katanya, rumah Oei harus dipertahankan keasliannya, yang dibalut dengan kesederhanaan. Artinya, semua masih tampak original. “Bahkan membersihkan guci-guci saja kami tidak boleh melakukannya sampai bersih,” tutur Grace.
Rumah milik keluarga Grace memadukan unsur Cina dan Jawa. Ia memasang primbon Jawa dan shio Cina pada salah satu sudut tembok. Ia juga memasang besar-besar syair Joyo Boyo yang ia terjemahkan dalam bahasa Mandarin dan Inggris.
Mengunjungi Rumah Oei rasanya seperti masuk ke lorong waktu sekaligus ruang edukasi. Saya dibawa berhenti sebentar pada era abad 17-an. Semua tampak jelas: aroma lantai itu, bau kayu yang masih baru, dan denyut Lasem yang terus terasa; juga sebuah sejarah masa lalu yang dihidupi.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA