Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Wulf Schiefenhoevel antropolog medis dari Institut Max Planck Starnberg-Seewiesen, Jerman, bukanlah India Jones. Tapi, berbagai kegiatannya di bidang arkeologi membuatnya seperti arkeolog Indiana Jones protagonis bikinan Hollywood: berpetualang dalam hutan belantara, bertemu penduduk lokal, dan memecahkan misteri peninggalan sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mulai bergelut akrab dengan suku-suku di Papua, setelah memimpin sebuah ekspedisi yang didanai pemerintah Jerman. Lahir pada 1943, Wulf muda dengan timnya pada 1974 mencapai sebuah lembah di pedalaman Papua yang kini dikenal sebagai Kabupaten Pegunungan Bintang. Saat ini, wilayah Papua tak semua bisa dilalui dengan mobil. Bahkan antarkabupaten hanya bisa dijangkau dengan pesawat perintis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa dibayangkan, pada tahun 1970-an, hutan lebat, medan berlumpur, dan tentu saja ancaman malaria. Schiefenhoevel mengenang, petualangannya di dalam belantara Pegunungan Bintang pada 1974-1976, didanai oleh Pemerintah Jerman, “Saat itu semuanya dipikul dan melibatkan orang lokal,” ujarnya. Menurutnya, timnya utuh meskipun mereka tak membawa senjata.
Ia menjejakkan kakinya di Papua pada 4 Juli 1974. Rombongan pertama yang dia pimpin merupakan penelitian besar dari proyek bertajuk “Mensch, Kultur und Umwelt in Zentralen Bergland von Irian Jaya (Manusia, Budaya dan Lingkungan di Pegunungan Sentral Irian Jaya)”.
Rombongan tersebut mendarat di Bime, Kampung Munggona di bagian selatan Lembah Eipomek. Hingga akhir 1976, jumlah tim sebanyak 32 orang, yang meneliti dengan berbagai disiplin: geologi, meteorologi, geografi, pertanian, botanik, zoologi, antropologi fisik, antropologi dental, kesehatan, ethnomedicine, linguistik, etnografi, etnomusikologi, prilaku (behavior), dan dokumentasi film.
“Proyek harus dibatalkan pada 1976 karena ribut-ribut di Papua sebelum disiplin lain mulai kerja, upamanya arkeologi,” kata Wulf Schiefenhoevel dalam email-nya. Sebagai kepala proyek, ia bertanggung jawab besar dan saat semua anggotanya kembali ke negeri masing-masing, ia bertahan di Lembah X (Lembah Eipomek) hingga 14 bulan.
Schiefenhoevel telah menghasilkan puluhan penelitian berkaitan dengan etnografi, antropologi, dan arkeologi. Dia akrab dengan penduduk di sekitar Pegunungan Jayawijaya. Suatu ketika pada tahun 2008, ia membuka laptop, dan menunjukkan hasul penelitiannya kepada warga Suku Eipo (Mek), “Mereka terpesona, terutama generasi muda, yang belum pernah melihat upacara dan cara hidup yang didokumentasikan dalam film-film itu,” ujarnya.
Wulf Schiefenhoevel peneliti dari Max Planck Institut Starnberg-Seewiesen, Jerman, peneliti yang memberi nama Oksibil pada sebuah Lembah X. Kini Oksibil menjadi ibu kota Pegunungan Bintang. Dok. Hari Suroto
Beberapa pria yang lebih tua pun mendatanginya, "Dobtere (itu nama mereka untuk saya karena saya juga seorang dokter), kami tidak memiliki sejarah! Anda orang kulit putih memiliki sejarah karena Anda telah menuliskan hal-hal dari masa lalu dan Anda memiliki gambar dan foto dll. Kami tidak memiliki yang seperti itu. Bisakah Anda memberi kami film yang Anda buat?," ujar mereka.
Membangun Pusat Budaya Eipo
Schiefenhoevel mengaku sangat terkejut dan malu. Ia hanya orang asing di tanah asing, “Apa yang mereka katakan benar, meskipun mereka memiliki, tentu saja, tradisi lisan, legenda, mitos, cerita, lagu dll., Tetapi mereka tidak memiliki bahan yang terlihat pada masa lalu,” ujar Schiefenhoevel.
Ia bahkan tak sempat memikirkan memberikan materi penilitiannya kepada warga Suku Eipo, “Saya juga cukup terkejut dengan pemahaman mereka tentang konsep "sejarah". Sebab sejarah adalah kata Arab dalam Bahasa Indonesia, itu mengungkapkan konsep yang rumit. Mereka menggunakannya dengan cara intelektual yang sesuai,” imbuhnya.
Terbetik dalam benaknya membangun sebuah museum atau pusat budaya, berupa rumah tradisional (yoek aik), berbentuk bulat dengan lantai yang tinggi. Ia pun membuat denah dan desain, dan mengajukan dana di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Pemerintah Jerman di Berlin. Rupanya para pejabat di Kemenlu menyukai gagasan itu.
“Kami memperoleh hibah 15.000 Euro (Rp245,8 juta),” kenangnya. Syaratnya adalah pihak Indonesia harus bergabung dengan proyek tersebut. Menurutnya, yang cukup menyita waktu dalam pembangunan fisik gedung adalah mencari mitra lokal. Akhirnya, ia bertemu dengan Hieronimus Uropmabin, yang saat itu menjadi kepala Seksi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pegunungan Bintang di Oksibil.
“Dia menjabat tangan saya dan berkata: "Jangan khawatir, kita akan melakukannya!," ujar Schiefenhoevel. Setelah mendapat izin dari pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, pengerjaannya diserahkan kepada arsitek Amir Salipu di Jayapura. Ia membuat rencana arsitektur menggunakan konsep dari Schiefenhoevel.
Bangunan Pusat Budaya Eipomek yang melibatkan dana hibah dari Pemerintah Jerman dan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang. Dok. Wulf Schiefenhoevel
Hieronimus bahkan meminta sebuah wisma tamu yang luas, juga dibangun di sisi gedung Pusat Kebudayaan. Langkah yang juga sulit, adalah menentukan lokasi pembangunan Pusat Budaya. Pasalnya, beberapa klan pasti dengan senang hati bila tanah mereka dijadikan lokasi Pusat Budaya.
Akhirnya setelah melalui perbincangan panjang dengan beberapa klan dan pemerintah daerah, dipilihlah lokasi di mana tiga rumah penting Suku Eipo yang hancur karena gempa besar pada Juni 1976, “Gempa itu menghancurkan seluruh Desa Munggona,” ujar Schiefenhoevel.
Warga akhirnya sepakat rumah besar itu dibangun di lokasi itu. Di samping merupakan desa baru, lokasinya dengan lapangan terbang. Juga diputuskan bahwa institusi tidak boleh menyandang nama 'museum', tetapi 'pusat budaya'. Alasan warga memilih nama Pusat Budaya, agar lebih internasiona, “Dan saya menyukai ide bagus tersebut,” ujar Schiefenhoevel.
Sebuah perusahaan dari Sulawesi diberi pekerjaan untuk mendirikan bangunan Pusat Budaya plus wisma dan pada 4 Juli 2014. Atau tepatnya, pada hari itu, 40 tahun setelah kedatangan ilmuwan Jerman pertama di Eipomek. Pusat Budaya Eipomek secara resmi dibuka oleh Bupati Wellington Lod Wenda.
Pusat Budaya Eipomek memiliki banyak foto dari awal dokumentasi ilmiah oleh Tim Peneliti Jerman (GRT) yang bekerja bersama LIPI sejak Juli 1974. Ada layar besar untuk memproyeksikan film-film masa lalu. Seluruh koleksi film-film ini juga disimpan di sana, serta semua buku yang ditulis oleh anggota GRT tentang sifat dan budaya Eipomek.
Selain menyimpan hasil peneitian GRT, Pusat Budaya Eipomek juga menyimpan film dokumenter dari Pierre Gaisseau, The Sky Above, the Mud Below. Film hasil penelitian tim gabungan dari Prancis, Belanda dan Papua itu berkisah mengenai kehidupan di pesisir pantai selatan hingga pantai Utara. Proses pembuatan film memakan waktu enam bulan, pada tahun 1959-1960.
Prof. Dr. Herawati Sudoyo of Eijkman Institut Jakarta dan Prof. Dr. Wulf Schiefenhoevel mengadakan studi antropologi di dalam Pusat Budaya Eipomek pada 2019. Dok. Wulf Schiefenhoevel
Mereka melintasi pegunungan hingga ke Lembah Eipomek. Mereka menjadi orang asing pertama yang pernah dilihat Suku Eipo. Selain film itu, terdapat pula film karya "Ekspedisi Stirling" bertahun, yang memvisualkan Suku Dani di utara, dan beragam film-film lainnya.
Penilitian yang Bergelombang ke Pedalaman Papua
Penelitian mengenai Papua mulai marak pada awal abad 20, begitu Belanda menempatkan kantor pemerintahannya di wilayah tersebut. Menurut arkeolog Hari Suroto, para misionaris Protestan banyak menulis desertasi doktoralnya mengenai suku-suku di Pegunungan Papua, “Mereka hidup bertahun-tahun dengan suku-suku itu,” ujar Hari Suroto.
Dari merekalah, suku-suku di pedalaman Papua mengenal orang-orang kulit putih. Hasil tulisan para misionaris itu, mengisi kekurangan informasi data yang luput dari perhatian antropolog Eropa, “Hal ini berkebalikan dengan Papua Nugini, di mana misionaris tak banyak menerbitkan tulisan mereka,” imbuh Hari Suroto.
Selain menjadi jembatan kesenjangan pengetahuan bagi antropolog, para misionaris itu juga menjadi jembatan fisik, yang mempertemukan suku-suku Papua dengan bangsa lain. Hal ini penting, untuk membuka saling pengertian antara peneliti-peneliti Eropa dengan suku-suku yang terasing di pedalaman Papua.
Masih menurut Hari Suroto, pada awal hubungan jangka panjang ini, orang-orang Papua masih sulit untuk memutuskan orang asing tersebut adalah jelmaan roh manusia, “Tetapi setelah diam-diam memperhatikan para misionaris itu buang hajat dan hidup laksana manusia biasa, mereka percaya bahwa mereka hanyalah manusia biasa,” ujarnya.
Mengenai Pusat Budaya Eipomek, menurut Hari Suroto, yang menarik tentunya bila ada satu bagian khusus mengenai koteka. Pasalnya, selain suku-suku di Papua, tak ada yang mengenakan koteka.
Bahkan, ikatan yang kuat antara suku-suku di Papua dan Papua Nugini, koteka menjadi pembeda, “Koteka tidak dijumpai di Papua Nugini. Saat ini generasi tua pegunungan Papua saja yang menggunakan koteka. Untuk itu koteka perku ditampilkan secara khusus di Pusat Budaya Eipomek,” ujarnya.
Menurut Hari Suroto, ke depan Pusat Budaya Eipomek bisa dilengkapi beraneka macam koteka dari berbagai suku di Papua. Konsepnya yaitu living museum, yaitu ada atraksi budaya koteka dan di halaman sekitar ditanami labu air sebagai bahan koteka.
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem, di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Walau pun keadaan sudah modern, tapi suku Dani tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka dengan menggunakan koteka. Tempo/Rully Kesuma
Menurut Hari Suroto, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi, masih banyak yang belum diketahui tentang alam dan budaya Papua, “Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para peneliti Indonesia untuk mengungkap dan mempublikasikannya,” tuturnya.
Catatan redaksi: tulisan diolah dari email antropolog medis Wulf Schiefenhoevel dan arkeolog Hari Suroto.