MENDJELANG minggu II bulan Mei jang lalu, Usamah Redaktur
Pelaksana TEMPO jang mengikuti safari Golkar ke Sulawesi
berkesempatan menjertai seorang Menteri jang berburu di Kendari.
Pengalaman jang didapatnja dari perburuan jang dimulai sedjak
djam 6 sore hingga djam 6 pagi itu dimuat dalam laporannja
sebagai berikut:
HUDJAN masih rintik-rintik ketika tiba-tiba lampu rem djip
terdepan berkedip-kedip -- seperti memberi aba-aba untuk pelan.
Land Rover Kolonel Junus Milach segera berhenti dan dua mobil
jang lain, jang terletak direntetan paling belakang dari safari
itu, djuga mematikan lampu. Sepi. ketjuali bunji gemertjik
gerimis diputjuk-putjuk daun djati. Lantas terdengar M-16
mengebaskan peluru dari djantungnja -- pang! Dan seekor babi
hitam meledjit disemak-semak hutan. Dado memantapkan lampu
sorotnja -- tapi matanja jang terbiasa tak melihat berbik-berbik
darah dari djarak 50 galah. "Meleset barangkali", gumamnja. Sang
penembak masih belum jakin. Barangkali ia merasakan sesuatu pada
gagang Manlicher-16 jang berteropong pandjang dipundaknja.
Sedjenak menunggu, api tak seklesatanpun suara muncul dari
semak-semak tadi. Kembalilah safari melintasi djalanan tanah
jang basah -- mendaki terus kepuntjak Lainia.
Daktari. Inilah petualangan jang benar-benar bernama safari
--karena sasarannja binatang. Suatu perburuan jang penuh
pertaruhan. Perdjalanan jang dimulai lepas magrib dari Kendari,
Sulawesi Tenggara -- toch masih belum mentjapai tudjuan walaupun
hari sudah mendjelang isjak. Beberapa babi melesat didepan roda
-- begitu bepat hingga para pemburu jang menggerombol didjip
terdepan tak sempat mengokang senapan. 'Tapi tudjuan kita bukan
babi, melainkan donga!" kata Major Muluk mendjelaskan. Dan
karena itu, babi-babi dibiarkan pergi. Major Muluk terlalu
sering kesana hingga wadjahnja tak laju meski pun hudjan menerpa
kulitnja jang tjoklat. Tapi sorot matanja masih kalah tadjam
dengan Dado, "daktari" dari Kendari. "Dia pelatih presiden",
kata seorang sersan orangnja memang bukup tjekatan" Puluhan
tahun untuk mengerti hutan jang akan kita kundjungi ini",
katanja pula. Dan pengalamannja jang begitu hlar biasa banjak
dimanfaatkan pedjabat tinggi dari Djakarta. Safari kali ini jang
didampinginja, djuga safari pedjabat tinggi. Maka diburitan,
didjip Kolonel Junus, Komandan Korem 14. Kendari -- segala
persiapan cukup mejakinkan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sersan Tadjudin Noor dan seorang CPM lainmja siap dengan geren
dan dua saku penuh peluru.
Kedua sendjata itulah jang lebih dulu mendjongok keluar ketika
pada suatu detik Dado mengabungkan tangannja ditepian sebuah
djurang jang konon 50 meter dalamnja. Hudjan masih belum
berhenti. Dari djauh terdengar ketepak-ketepuk. Ternjata seekor
kuda. Maka sendjatapun kembali kepunggung dan tertinggal desah
Budi mengusir kuda tadi. Semuanja ini buma pemanasan. Istirahat
dirumah bamat Punggaluku seakan hanja sekadar melempangkan
urat-urat jang kaku. Dingin bukan lagi menusuk tulang, tapi
sudah sampai menbintjang. Dan belum lagi beberapa gelas susu
menghangati tenggorokan djip jang telah ditelandjangi kapnja
siap berangkat. Hudjan disini mulai lebat. Perdjalanan padahal
masih baru dua perempat. "Hanja satu djip jang bolen berangkat",
kata Dado mengomando "Kalau jang lain mau berburu djuga disana
-- dilapangan kedua", teriaknja pula. Maka laki-laki berambut
putih jang nampaknja misterius dibawah topi safari -- melonbat
kesamping supir. Dibelakang berdiri Budi, anaknja -- dua sersan
dengan peluru dikantong mereka, Major Muluk dengan sendjata
diketiaknja dan Dado dengan lampu sorot ditangan. Kemudian dua
orang jang lain jang nampaknja belum berpengalaman. Kini langit
mendung diatas kepala.
Damar. Beberapa kali tanah lempung jang meluntjurkan air dari
ketinggian menjelipkan 4 ban, sementara gelap tidak menolong
malah nampak ingin mendjerumuskan. Tidak ada lagi djalanan jang
rata. Djembatan-djembatan jang terbikin dari pokok enau dan
dua-tiga keping papan memotongkan sungai jang tjuram. Dan ketika
sampai pada udjungnja, nampaklah ilalang setinggi orang. Djip
menerabasnja dan perdjalananpun dimulai tanpa pedoman. "Kalau
ada pedoman hanja dikepala saja", kata Dado berbisik. Apa jang
ia namakan lapangan ternjata luasnja lebih dari 5.000 hektar.
Dan dalam djumlah hektar jang sulit dikuasai mata itu,
alang-alang jang setinggi orang berbampur hutan lebat dan
pepohonan. Djam demi djam dilalui tapi tak seekor donga-pun
nampak. Hudjan masih belum berhenti tapi angin laut teluk
Kendari menelusup diantara pokok-pokok damar. Suaranja halus,
menggesek daun telinga. Dan sehalus suara itulah Dado berkata:
"Itu dia dua ekor". Laki-laki berambut putih jang duduk didekat
supir tadi tiba-tiba melotot dari tempat duduknja, dan dikedua
tangannja: sebuah M-16 jang telah terkokang dengan tegang. Ia
perbaiki letak topi safarinja kemudian mengintip dari teropong
sendjatanja. Mereka jang dibelakang masih menbari sasaran.
Terbukti donga itu buma berbentuk dua butir mutiara jang
berkelip seperti kunang-kunang. "Astaga", sebut sang sersan.
"Besarnja", katanja pula. Dan dua butir mutiara jang dikatakan
besar itu berhenti menatap sorot lampu Daeng Dado jang tak
berkedip menatap sasaran. Major Muluk sudah bersiap siaga sedang
sersan Tadjudin sudah mengisi sendjatanja.
Semua ini berdjalan lebih tjepat dari setan. Dan karena
tjepatnja tiba-tiba pang-pang, dua mata binatang jang biru
seperti mutiara dan kunang-kunang itu melontjat-lontjat, hingga
Muluk kemudian tidak membuang kesempatan bang-bang, letus
senapannja jang lebih tua usianja. "Kena! Kena!" seru Dado dalam
suara jang serak. Ia gerakkan lampu sorotnja duakali dan supir
mengerti. Diip bergerak agak tjepat mendekati. Tapi karena
djaraknja lebih dari 100 meter dan djalanan tak tentu rata
tidaknja, agak lama kesana. Sersan Tadjudin dan Dado melontjat
dengan parang dan sendjata ditangan. Ia tenggelam didalam
rimbunnja alang-alang. Dan dari tempat itu ia temukan darah
bertjutjuran.
Bertjumbu. Tidak saja kira Pak Menteri begitu ahli", kata Muluk
ketika djip merangkak kembali."Tjepat dan hebat", kata Dado
mengomentari. Tapi komentar ini tidak sehebat ketika anaknja
membikin revanche. Dilapangan kedua,20setelah rombongan jang
lain tak sanggup memburu donga jang litjik disana, Budista jang
sedjak hudjan berhenti mengadu terus kedua gerahamnja, tiba-tiba
mengangkat tangan, dan Dado segera mengerti Dua butir mutiara
biru nampak sedang bertjumbu dengan dua butir jang lain jang
lebih ketjil. "Barangkali itu anaknja", kata Dado. "Penasaran
saja", kata Budista sambil menopang M-16 nja. Dan -- pang,
kemudian pang, dan terachir dalam rentetan ketjepatan jang
adjaib berbunji lagi - pang! "Kena dua-dua", kembali Dado
menebak. Ia begitu jakin dan begitu pasti, seolah matanja dalam
gelap lebih terang dari sorot lampu 1.000 watt jang ada
ditangannja. "Madju", katanja memerintah. Djip meladju dalam
lautan ilalang jang kini tingginja lebih dari 150 senti. "top",
teriaknja tiba-tiba. "Ada apa", tanja Budi. "Bahaja", djawabnja.
Apa jang dimaksudnja dengan bahaja ternjata lubang jang dalam
--perangkap babi. "Masuk disitu bisa tidak pulang". kata sang
sersan. "Darimana ia tahu". "la tahu bahasa alang-alang", sahut
jang lain. Dan kelihatannja benar. Ia tahu di mana alang-alang
jang menutupi lubang-lubang jang dalam dan jang menjelimuti
bibir djurang. Ia tahu alang-alang jang pernah diliwati
rombongan dong dulu jang akan diliwatinja. Dan sementara ia
terus memperhatikan keselamatan perdjalanan perburuan sang
Menteri - ia tidak berhenti menjorotkan lampu di tangannja pada
hewan jang dimbar-nja. "Ini profesinja", kata putera sang
Menteri ketika mobil sampai ditempat djatuhnja korban.
"Wah-wah-wah, ini dong betina", kata Dado. Buru-buru
didjatuhkannja parangnja -- ia sembelih seperti menjembelih
ajam. Tapi sesungguhnja itu sia-sia, karena peluru
Budista20sudah menebas leher dan montjong. Bersama sersan
Tadjudin ia seret keatas djip, dan disana baru jang lain ini
bahwa dua butir mutiara biru jang di intai dan ditembaki ini,
ternjata msts rusa!
Hari sudah djam 3 pagi ketika mereka kembali keutar. Angin laut
semakin keras tiupannja dan lebih-lebih ketika mereka sampai di
Ambesia disebu desa jang baru menutup pesta sedjam sebelumnja.
Dan ketika mereka sampai kembali dirumah tjamat Punggahku tak
se-orangpun jang tidak menghela nafas jang diendapkannja sedjak
dihutan dan disabana-sabana tadi. Hanja sang Menteri jang
kelihatan biasa. Mungkin karena ia bernama Adam Malik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini