Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Safari Yang Lain

Menlu Adam Malik, Budi, putranya & didampingi beberapa anggota militer berburu binatang di hutan Kendari, Sul-teng. Mereka berhasil menembak domba sejenis rusa.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDJELANG minggu II bulan Mei jang lalu, Usamah Redaktur Pelaksana TEMPO jang mengikuti safari Golkar ke Sulawesi berkesempatan menjertai seorang Menteri jang berburu di Kendari. Pengalaman jang didapatnja dari perburuan jang dimulai sedjak djam 6 sore hingga djam 6 pagi itu dimuat dalam laporannja sebagai berikut: HUDJAN masih rintik-rintik ketika tiba-tiba lampu rem djip terdepan berkedip-kedip -- seperti memberi aba-aba untuk pelan. Land Rover Kolonel Junus Milach segera berhenti dan dua mobil jang lain, jang terletak direntetan paling belakang dari safari itu, djuga mematikan lampu. Sepi. ketjuali bunji gemertjik gerimis diputjuk-putjuk daun djati. Lantas terdengar M-16 mengebaskan peluru dari djantungnja -- pang! Dan seekor babi hitam meledjit disemak-semak hutan. Dado memantapkan lampu sorotnja -- tapi matanja jang terbiasa tak melihat berbik-berbik darah dari djarak 50 galah. "Meleset barangkali", gumamnja. Sang penembak masih belum jakin. Barangkali ia merasakan sesuatu pada gagang Manlicher-16 jang berteropong pandjang dipundaknja. Sedjenak menunggu, api tak seklesatanpun suara muncul dari semak-semak tadi. Kembalilah safari melintasi djalanan tanah jang basah -- mendaki terus kepuntjak Lainia. Daktari. Inilah petualangan jang benar-benar bernama safari --karena sasarannja binatang. Suatu perburuan jang penuh pertaruhan. Perdjalanan jang dimulai lepas magrib dari Kendari, Sulawesi Tenggara -- toch masih belum mentjapai tudjuan walaupun hari sudah mendjelang isjak. Beberapa babi melesat didepan roda -- begitu bepat hingga para pemburu jang menggerombol didjip terdepan tak sempat mengokang senapan. 'Tapi tudjuan kita bukan babi, melainkan donga!" kata Major Muluk mendjelaskan. Dan karena itu, babi-babi dibiarkan pergi. Major Muluk terlalu sering kesana hingga wadjahnja tak laju meski pun hudjan menerpa kulitnja jang tjoklat. Tapi sorot matanja masih kalah tadjam dengan Dado, "daktari" dari Kendari. "Dia pelatih presiden", kata seorang sersan orangnja memang bukup tjekatan" Puluhan tahun untuk mengerti hutan jang akan kita kundjungi ini", katanja pula. Dan pengalamannja jang begitu hlar biasa banjak dimanfaatkan pedjabat tinggi dari Djakarta. Safari kali ini jang didampinginja, djuga safari pedjabat tinggi. Maka diburitan, didjip Kolonel Junus, Komandan Korem 14. Kendari -- segala persiapan cukup mejakinkan untuk menghadapi segala kemungkinan. Sersan Tadjudin Noor dan seorang CPM lainmja siap dengan geren dan dua saku penuh peluru. Kedua sendjata itulah jang lebih dulu mendjongok keluar ketika pada suatu detik Dado mengabungkan tangannja ditepian sebuah djurang jang konon 50 meter dalamnja. Hudjan masih belum berhenti. Dari djauh terdengar ketepak-ketepuk. Ternjata seekor kuda. Maka sendjatapun kembali kepunggung dan tertinggal desah Budi mengusir kuda tadi. Semuanja ini buma pemanasan. Istirahat dirumah bamat Punggaluku seakan hanja sekadar melempangkan urat-urat jang kaku. Dingin bukan lagi menusuk tulang, tapi sudah sampai menbintjang. Dan belum lagi beberapa gelas susu menghangati tenggorokan djip jang telah ditelandjangi kapnja siap berangkat. Hudjan disini mulai lebat. Perdjalanan padahal masih baru dua perempat. "Hanja satu djip jang bolen berangkat", kata Dado mengomando "Kalau jang lain mau berburu djuga disana -- dilapangan kedua", teriaknja pula. Maka laki-laki berambut putih jang nampaknja misterius dibawah topi safari -- melonbat kesamping supir. Dibelakang berdiri Budi, anaknja -- dua sersan dengan peluru dikantong mereka, Major Muluk dengan sendjata diketiaknja dan Dado dengan lampu sorot ditangan. Kemudian dua orang jang lain jang nampaknja belum berpengalaman. Kini langit mendung diatas kepala. Damar. Beberapa kali tanah lempung jang meluntjurkan air dari ketinggian menjelipkan 4 ban, sementara gelap tidak menolong malah nampak ingin mendjerumuskan. Tidak ada lagi djalanan jang rata. Djembatan-djembatan jang terbikin dari pokok enau dan dua-tiga keping papan memotongkan sungai jang tjuram. Dan ketika sampai pada udjungnja, nampaklah ilalang setinggi orang. Djip menerabasnja dan perdjalananpun dimulai tanpa pedoman. "Kalau ada pedoman hanja dikepala saja", kata Dado berbisik. Apa jang ia namakan lapangan ternjata luasnja lebih dari 5.000 hektar. Dan dalam djumlah hektar jang sulit dikuasai mata itu, alang-alang jang setinggi orang berbampur hutan lebat dan pepohonan. Djam demi djam dilalui tapi tak seekor donga-pun nampak. Hudjan masih belum berhenti tapi angin laut teluk Kendari menelusup diantara pokok-pokok damar. Suaranja halus, menggesek daun telinga. Dan sehalus suara itulah Dado berkata: "Itu dia dua ekor". Laki-laki berambut putih jang duduk didekat supir tadi tiba-tiba melotot dari tempat duduknja, dan dikedua tangannja: sebuah M-16 jang telah terkokang dengan tegang. Ia perbaiki letak topi safarinja kemudian mengintip dari teropong sendjatanja. Mereka jang dibelakang masih menbari sasaran. Terbukti donga itu buma berbentuk dua butir mutiara jang berkelip seperti kunang-kunang. "Astaga", sebut sang sersan. "Besarnja", katanja pula. Dan dua butir mutiara jang dikatakan besar itu berhenti menatap sorot lampu Daeng Dado jang tak berkedip menatap sasaran. Major Muluk sudah bersiap siaga sedang sersan Tadjudin sudah mengisi sendjatanja. Semua ini berdjalan lebih tjepat dari setan. Dan karena tjepatnja tiba-tiba pang-pang, dua mata binatang jang biru seperti mutiara dan kunang-kunang itu melontjat-lontjat, hingga Muluk kemudian tidak membuang kesempatan bang-bang, letus senapannja jang lebih tua usianja. "Kena! Kena!" seru Dado dalam suara jang serak. Ia gerakkan lampu sorotnja duakali dan supir mengerti. Diip bergerak agak tjepat mendekati. Tapi karena djaraknja lebih dari 100 meter dan djalanan tak tentu rata tidaknja, agak lama kesana. Sersan Tadjudin dan Dado melontjat dengan parang dan sendjata ditangan. Ia tenggelam didalam rimbunnja alang-alang. Dan dari tempat itu ia temukan darah bertjutjuran. Bertjumbu. Tidak saja kira Pak Menteri begitu ahli", kata Muluk ketika djip merangkak kembali."Tjepat dan hebat", kata Dado mengomentari. Tapi komentar ini tidak sehebat ketika anaknja membikin revanche. Dilapangan kedua,20setelah rombongan jang lain tak sanggup memburu donga jang litjik disana, Budista jang sedjak hudjan berhenti mengadu terus kedua gerahamnja, tiba-tiba mengangkat tangan, dan Dado segera mengerti Dua butir mutiara biru nampak sedang bertjumbu dengan dua butir jang lain jang lebih ketjil. "Barangkali itu anaknja", kata Dado. "Penasaran saja", kata Budista sambil menopang M-16 nja. Dan -- pang, kemudian pang, dan terachir dalam rentetan ketjepatan jang adjaib berbunji lagi - pang! "Kena dua-dua", kembali Dado menebak. Ia begitu jakin dan begitu pasti, seolah matanja dalam gelap lebih terang dari sorot lampu 1.000 watt jang ada ditangannja. "Madju", katanja memerintah. Djip meladju dalam lautan ilalang jang kini tingginja lebih dari 150 senti. "top", teriaknja tiba-tiba. "Ada apa", tanja Budi. "Bahaja", djawabnja. Apa jang dimaksudnja dengan bahaja ternjata lubang jang dalam --perangkap babi. "Masuk disitu bisa tidak pulang". kata sang sersan. "Darimana ia tahu". "la tahu bahasa alang-alang", sahut jang lain. Dan kelihatannja benar. Ia tahu di mana alang-alang jang menutupi lubang-lubang jang dalam dan jang menjelimuti bibir djurang. Ia tahu alang-alang jang pernah diliwati rombongan dong dulu jang akan diliwatinja. Dan sementara ia terus memperhatikan keselamatan perdjalanan perburuan sang Menteri - ia tidak berhenti menjorotkan lampu di tangannja pada hewan jang dimbar-nja. "Ini profesinja", kata putera sang Menteri ketika mobil sampai ditempat djatuhnja korban. "Wah-wah-wah, ini dong betina", kata Dado. Buru-buru didjatuhkannja parangnja -- ia sembelih seperti menjembelih ajam. Tapi sesungguhnja itu sia-sia, karena peluru Budista20sudah menebas leher dan montjong. Bersama sersan Tadjudin ia seret keatas djip, dan disana baru jang lain ini bahwa dua butir mutiara biru jang di intai dan ditembaki ini, ternjata msts rusa! Hari sudah djam 3 pagi ketika mereka kembali keutar. Angin laut semakin keras tiupannja dan lebih-lebih ketika mereka sampai di Ambesia disebu desa jang baru menutup pesta sedjam sebelumnja. Dan ketika mereka sampai kembali dirumah tjamat Punggahku tak se-orangpun jang tidak menghela nafas jang diendapkannja sedjak dihutan dan disabana-sabana tadi. Hanja sang Menteri jang kelihatan biasa. Mungkin karena ia bernama Adam Malik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus