Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Seteguk Gluhwein di Pasar Natal Berlin

Pasar Natal dan glühwein menyuguhkan kehangatan di tengah musim dingin Jerman yang bersuhu di bawah nol derajat Celsius.

27 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kios yang menjual Gluhwein, minuman pokok dan paling populer di Pasar Natal sejak abad pertengahan di Kulturbrauerei Jalan Schonhauser Allee 36, Prenzlauer Berg, Berlin, Jerman, 1 Desember 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pasar Natal merupakan pasar malam yang hadir di kota-kota di Jerman menjelang Natal sejak abad XV.

  • Glühwein, wine merah yang diracik dengan berbagai rempah-rempah dan disajikan hangat, menjadi minuman tradisional paling populer di Jerman.

  • Pasar Natal menyuguhkan kehangatan di tengah musim dingin Jerman yang bersuhu di bawah nol derajat celsius.

DALAM udara dingin musim gugur yang membuat tangan kebas, saya menyesap glühwein, anggur yang dihangatkan. Minuman pokok dan paling populer di Pasar Natal Jerman ini diracik dengan rempah-rempah, seperti kayu manis, adas, cengkih, serta kulit lemon. Pasar Natal di Jerman menjadi tradisi yang mengakar pada musim dingin dan liburan Natal sejak abad pertengahan. Pasar Natal seperti inilah yang menjadi lokasi serangan yang menewaskan lima orang dan melukai 200 lainnya di Magdeburg, Jerman bagian timur, pada Jumat malam, 20 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uap panas minuman berkelir merah marun dengan kandungan alkohol minimal 7 persen itu menyembul dari cangkir kuno. Di suhu minus 1 derajat Celsius, saya menghidu wangi minuman beralkohol itu. Mantel berlapis baju dobel tak mempan menangkal udara dingin. Glühwein terasa sedikit manis dan pedas, enak diseruput pelan-pelan untuk menghangatkan badan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kios-kios yang menjajakan minuman itu berderet-deret. Masing-masing bersaing. Dinding-dinding warungnya dihiasi berbagai gambar untuk memikat pengunjung. Gambar rusa dengan kerlap-kerlip lampu pada untaian cemara yang dirangkai, misalnya. Kios-kios itu menjual glühwein dengan harga 5 euro—setara dengan Rp 85 ribu.

Gluhwein, minuman pokok dan paling populer di Pasar Natal sejak abad pertengahan, di Kulturbrauerei Jalan Schonhauser Allee 36, Prenzlauer Berg, Berlin, Jerman, 1 Desember 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Herlambang Bayu Aji, warga Solo, Jawa Tengah, yang sudah tinggal di Berlin selama 14 tahun, mengajak saya ke satu lapak penjual minuman itu. Kios di Kulturbrauerei, Jalan Schönhauser Allee 36, Prenzlauer Berg, itu ramai pembeli. Bayu beristrikan orang Jerman dari daerah selatan yang berdekatan dengan pegunungan Alpen. Sembari minum, Bayu mengajak saya mengelilingi area Pasar Natal itu. “Ini lokasi bersejarah, bekas pabrik pembuatan bir pada abad ke-19,” tuturnya, Ahad, 1 Desember 2024.

Saya mengunjungi Berlin setelah mengikuti rangkaian seminar organisasi nonprofit Jerman, Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom, bertema kebebasan pers yang digelar selama dua pekan sejak pertengahan November 2024 di Gummersbach. Wilayah ini berpemandangan pegunungan, lembah, serta pepohonan yang dedaunannya rontok dan berkelir indah alias warna-warni.

Saya mampir ke Dusseldorf dan berjalan-jalan di sekitar katedral, landmark Köln di dekat pusat stasiun kereta api atau Köln Hauptbahnhof. Dari Köln Hauptbahnhof, saya menuju Berlin, menggunakan kereta cepat ICE yang membutuhkan waktu tempuh sekitar lima jam.

Kulturbrauerei, bangunan bersejarah berdinding batu bata di Berlin, sedang dipugar. Bangunan ini dikelilingi teater, bioskop, museum, dan restoran. Situs Kulturbrauerei menyebutkan bangunan seluas 25 ribu meter persegi ini memiliki enam halaman. Ada lebih dari 20 bangunan bergaya arsitektur industri, satu dari sedikit bangunan bersejarah abad-19 yang masih terjaga.

Pasar Natal di Kulturbrauerei Jalan Schonhauser Allee 36, Prenzlauer Berg, Berlin, Jerman, 1 Desember 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Di situ ada bekas pabrik pembuatan bir yang dibangun pada 1878 oleh arsitek Franz Heinrich Schwechten. Bangunan ini mempertahankan keaslian melalui tulisan asli pada fasadnya, misalnya Maschinenhaus, yang berarti rumah mesin.

Pada 2 Maret 2000, sebuah bioskop dibuka di bekas tempat pembuatan bir. Di atas lahan seluas lebih-kurang 5.654 meter persegi, bioskop ini menyediakan 1.511 kursi penonton. Bioskop ini juga menjadi rumah seni yang ditujukan untuk pemutaran serial film spesifik dan tematik, seperti sinema klasik, film berbahasa Jerman, lokakarya, program anak-anak, serta program liburan. Ada juga pertunjukan seni musik. Bar bir Bavaria dibuka pada 6 April 2000. Situs ini mewakili konsep pemanfaatan budaya, jasa, dan perdagangan.

Menurut Bayu, di Berlin, Pasar Natal masing-masing punya keunikan dan ciri khas. Dia mencontohkan Pasar Natal dengan latar gereja dan kastil tua. Pasar Natal berlangsung pada November dan berakhir pada Desember akhir atau pada masa adven—persiapan menuju Natal.

Pasar Natal di Berlin terlihat meriah. Orang datang ke sana tak sekadar menikmati jajanan dan belanja, tapi juga mengingat kenangan masa kecil. Keluarga, anak-anak, dan kolega berjumpa untuk menghabiskan kebersamaan dalam kegembiraan. Pasar itu seperti negeri dongeng yang menyambut hangat turis lokal ataupun mancanegara. Pohon-pohon Natal dihias gemerlap lampu seperti taman ajaib.

Anak-anak bermain bungee jumping trampoline dan komidi putar. Mereka melompat dari atas trampolin dengan mengenakan sabuk pengaman yang diikatkan ke tiang di sisi trampolin. Komidi putar ini mengingatkan saya pada Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, serta pasar malam di kampung-kampung.

Di tengah keriuhan, sinterklas menghampiri bocah-bocah, memberi permen, dan berswafoto. Aroma bratwurst panggang, sosis tradisional khas Jerman, menguar. Kue-kue Natal dan makanan lokal, seperti kue jahe tradisional lebkuchen, wafel, dan almon panggang, serta kerajinan tradisional menambah keseruan. Para remaja berdiri melingkar melantunkan nyanyian Natal di sudut area pasar.

Tokoh Sinterklas di Pasar Natal di Kulturbrauerei Jalan Schonhauser Allee 36, Prenzlauer Berg, Berlin, Jerman, 1 Desember 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Dari Pasar Natal, bersama Bayu, saya berjalan menuju rumah sahabatnya, Lisa. Kami ke sana untuk menjemput anak perempuan Bayu yang betah bermain dengan anak Lisa. Lisa adalah orang Jerman dengan pasangan berkewarganegaraan Sri Lanka. Kami naik ke lantai flat dan saya agak terhuyung. Tubuh saya seketika menghangat dan wajah terasa panas. Rasa panas itu terjadi karena pengaturan suhu tubuh di dalam ruangan. Kondisi ini biasa disebut dengan hot flushes, respons fisiologis setelah minum alkohol.

Karena penasaran, saya bertanya kepada Camilla Kussl, istri Bayu, tentang situasi yang saya alami setelah minum glühwein. Camilla mahir meracik minuman itu. Dia kerap membuatnya dengan campuran rempah-rempah khas. Menurut dia, hal yang saya alami juga dialami sebagian orang Jerman. “Itu normal,” ujarnya.

Lisa dan Razzan, pasangannya, menyodorkan tiga piring serta semangkuk kue jahe berbentuk bintang yang diterangi lilin berhiasan karangan dedaunan bersama potongan lemon, kayu manis, adas, dan cengkih. Lisa memasak kue jahe itu dengan resepnya. Sembari mengudap kue jahe, kami mengobrol ngalor-ngidul tentang Berlin. Lisa kadang bicara dalam bahasa Jerman dengan Razzan dan Bayu, sedangkan saya "roaming".

Obrolan dengan topik tentang situasi Berlin kami lanjutkan dalam bahasa Inggris. Saya penasaran dengan masalah sehari-hari warga Berlin yang memiliki sistem transportasi yang maju dan ramah untuk pejalan kaki ataupun pesepeda. Jerman terkenal dengan kereta api bawah tanah atau U-Bahn, trem atau straßenbahn, dan bus. Pesepeda menjadi golongan istimewa di jalanan. Mereka punya jalur khusus yang diatur sedemikian rupa. Sebagian dari mereka akan marah bila orang melanggar jalur tersebut atau menghalangi laju mereka.

Tapi Jerman juga punya sisi gelap. Lisa menyebutkan, di Berlin, orang kerap kemalingan sepeda. Sepeda miliknya berkali-kali digondol maling. Lisa memang mengasuransikan sepedanya yang tergolong mahal. “Pencuri sepeda seperti sindikat,” ucapnya.

Sepeda-sepeda curian dari Berlin, menurut Razzan, sebagian dibawa ke Belanda yang juga dikenal sebagai negara favorit pesepeda. Selain pencurian sepeda, penduduk Berlin, kata Lisa, kerap kesulitan mendapati tempat tinggal. Harga sewa flat dari tahun ke tahun naik.

Selepas ngobrol sekitar 1 jam lebih, saya dan Bayu berpamitan, lalu mengajak anak Bayu pulang ke rumahnya, tak jauh dari flat Lisa. Kami berjalan kaki dalam dingin yang makin pekat. Menginap di rumah Bayu, saya melihat hiasan kado-kado Natal yang dipajang di dinding selama adven yang membuat anak Bayu bergembira. Ia membuka beberapa kadonya. Ini pertama kali saya menikmati atmosfer Berlin menjelang perayaan Natal. Terasa hangat dan menyenangkan bersama orang-orang yang bersahabat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus