Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Buah merah adalah salah satu bahan makanan khas masyarakat Papua. Buah merah yang bernama latin Pandanaceae conoideus merupakan sejenis pandanus endemik Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan buah merah dapat ditemukan dari dataran rendah sampai dataran tinggi Papua yang tersebar hingga Papua Nugini. "Diperkirakan lebih dari 30 varietas buah ini dapat dijumpai di Papua, masing-masing dengan nama yang berbeda untuk setiap karakter buah dan tiap daerah," kata Hari Suroto kepada Tempo, Rabu 3 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bentuk tumbuhan buah merah menyerupai pandan dengan tinggi mencapai 16 meter. Tinggi batang bebas cabang setinggi 5 sampai 8 meter, ditopang dengan akar tunjang. Adapun buahnya berbentuk lonjong dengan kuncup yang tertutup daun buah.
Tanaman buah merah. Foto: Hari Suroto
Buah ini diperkirakan mulai dibudidayakan di Lembah Baliem sekitar 7000 tahun yang lalu. Perkiraan ini berasal dari ahli arkeobotani dari The Australian National University, Haberle yang meneliti sampel serbuk sari pandanus dari sedimen rawa Kelila, Lembah Baliem barat.
Suku Dani di Lembah Baliem, Kabupaten Jawawijaya, Papua, menyebut buah merah dengan nama kuansu. Mereka memasak buah merah dengan cara bakar batu, direbus, atau dikukus.
Semetara di Lembah Baliem sebelah timur, ada Suku Yali yang punya cerita tersendiri tentang buah merah. Masyarakat Suku Yali percaya buah merah sejatinya tidak berwarna merah, melainkan hitam. Buah ini baru boleh dimakan setelah warnanya berubah menjadi merah.
Perempuan Papua sedang mengolah buah merah. Foto: Hari Suroto
Pria Suku Yali harus keluar rumah dan melihat sendiri apakah buah merah itu sudah berwarna merah. Jika sudah berwarna merah, barulah dia bisa mengambil dan mengolahnya. Menurut cerita turun-temurun yang dipercaya Suku Yali, pada satu sore ada seorang perempuan yang sebuah tanaman buah merah yang warnanya masih hitam. Perempuan itu kemudian mengoleskan darah pada buah tersebut.
Esok harinya, perempuan tadi meminta kepada kakak laki-lakinya agar melihat buah merah tadi. Kakaknya lalu pergi dan melihat buah itu seluruhnya sudah menjadi merah. Dia kemudian memetiknya. Dengan pisau tulang, lelaki tersebut membelah dan memanggang buah merah di perapian, lantas memakannya.
Berangkat dari kejadian tadi, para pria Suku Yali menganggap perempuan telah memberikan buah merah buat kaum pria. "Itulah sebabnya perempuan Suku Yali dilarang makan buah merah," kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih, Papua. "Pantangan ini hanya berlaku bagi perempuan Suku Yali."