Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Tetirah di Padang Rumput Inner Mongolia

Bukit Teletubbies di perbatasan Mongolia dan Rusia. Memadukan dataran tinggi, 99 danau alami, peternakan, dan

27 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bukit Teletubbies di perbatasan Mongolia dan Rusia. Memadukan dataran tinggi, 99 danau alami, peternakan, dan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istiqomatul Hayati
Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara Li Rui tiba-tiba membuyarkan mimpi saya yang baru terlelap 30 menit. Kami sudah berkendara selama tiga jam dari Kota Hohhot, ibu kota Inner Mongolia, Cina, dengan bus. Setelah meminta maaf kepada semua penumpang yang hampir semuanya tidur, Ricky-begitu ia lebih suka disapa-menjelaskan agar kami bersiap turun dan mengenakan baju hangat lantaran udara sangat dingin. Beberapa orang mulai melapisi baju dengan jaket. Saya cukup percaya diri dengan timbunan lemak di badan tak akan kedinginan. Apalagi hari masih terang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami turun satu per satu. Memang hawa sejuk mulai menerpa tubuh. Tapi saya merasa biasa saja. Di pelataran parkir itu, ada puluhan bus. Rupanya kami hanya berpindah ke bus yang lebih jelek dan sudah berpenumpang umum. Busa kursi bolong di sana-sini. Tanpa penyejuk udara (AC). Hawa dingin di luar tak mampu menutupi kepengapan bercampur keringat. Tiba-tiba, saya merasa kembali jadi murid sekolah dasar saat diwajibkan sekolah menonton film Pengkhianatan G 30 S PKI di bioskop tua dengan kursi penuh kutu busuk.

Ah, untungnya memori jelek itu saya rasakan selama sepuluh menit saja. Bergegas saya turun. Di depan kami, ada bangunan besar. Melewati etalase yang menjual pernak-pernik khas Mongolia, kami berhenti di patung emas keturunan Genghis Khan. Tak ada keterangan dia siapa. "Tapi dia bukan Genghis Khan. Ini anaknya," kata Son Taek Wang, wartawan dari Korea Selatan yang biasa saya panggil oppa.

Kami masih menunggu sejam hingga diperbolehkan masuk. Tak banyak yang bisa kami lakukan selama menunggu. Ini semacam ruang tunggu bandara yang terdapat kursi pijat, pedagang suvenir, dan ruang bermain anak-anak. Masalahnya, tak ada anak-anak bersama kami. Hanya ada 20 wartawan dari sebelas negara serta delapan ofisial dari Kementerian Luar Negeri Cina dan pejabat Inner Mongolia. "Sabar ya, menunggu pengurus Grassland," kata Peter Sung, penerjemah kami selama di Inner Mongolia.

Ia paling ramah di antara pejabat di Inner Mongolia yang menyambut kami, sesuai pekerjaannya sebagai pemandu tur tamu dari luar negeri. Ada sebenarnya penerjemah khusus tapi kurang menghargai kedatangan kami sehingga kami ogah berbaikan dengannya. Hal ini juga dikeluhkan para staf Kementerian Luar Negeri Cina. "Melihat mereka susah diajak berkoordinasi, bikin saya rindu Beijing," kata Zhang Yi, atase pada Hubungan Asian di Kementerian Luar Negeri Cina.

Hari sudah memasuki sore saat rombongan kami melewati pintu menuju Grassland seluas 1.800 meter persegi. Ternyata, di kanan-kiri pintu masuk dipenuhi oleh penjual suvenir serta makanan, seperti sosis bakar, dan minuman. Ramai orang.

Saat antre memasuki taman yang terhubung oleh lorong, saya berpapasan dengan seorang pria yang langsung mengucap salam kepada saya. "Assalamualaikum," ujarnya ramah. Mungkin karena saya satu-satunya yang berjilbab di antara ribuan orang itu. Saya balas dengan memberi senyum ramah. Adem. Tak sempat saya menghampirinya karena takut tertinggal rombongan. Bisa tak pulang saya.

Di sinilah kami. Di Huixingtile Grassland, di Ulanqab, Inner Mongolia, sebuah padang rumput di dataran tinggi bunga kuning di daerah otonomi khusus Inner Mongolia. Provinsi khusus ini berbatasan langsung dengan Mongolia dan Rusia. Tapi, selama tiga hari berada di Ulanqab dan Hohhot, saya tidak menjumpai orang Eropa. Inner Mongolia adalah wilayah pertama di Cina yang mendapat status otonomi khusus di Negara Panda itu. Luas Inner Mongolia mencapai 1,18 juta kilometer persegi, berada di Cina Utara, dan merupakan wilayah provinsi terpanjang di Cina yang mencapai 2.500 kilometer dari barat ke timur.

Inner Mongolia menjadi daerah otonomi khusus pertama di Cina pada 1947 untuk memberikan kesempatan kepada minoritas bangsa Mongol di daerah itu. Populasi bangsa Mongol di Inner Mongolia mencapai 18 persen.

Taman Huixingtile Grassland itu benar-benar menjadi tempat tetirah. Segala keresahan hilang begitu dipapar oleh pemandangan padang rumput dan bukit Teletubbies hijau segar. Dan oh, sejauh mata memandang, perbukitan padang rumput yang mahaluas selayaknya itu terasa memberikan kedamaian hati. Di beberapa lokasi, ada rimbunan bunga kuning yang melambai untuk mengajak ber-selfie. Tapi saya tidak tergoda. Lebih karena saya sedang menghemat baterai ponsel yang mendadak tinggal 13 persen. Padahal saya harus menyimpan foto-foto untuk laporan ke kantor.

Peter menjelaskan, dataran tinggi ini seluas 1.800 meter persegi dari total kebun bunga seluas 60 ribu hektare. Berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, kebanyakan pengunjung akan takjub ketika melihat keindahan pemandangannya lantaran memadukan dataran tinggi, 99 danau alami, peternakan, dan tempat bermain anak-anak. "Saat terbaik mengunjungi tempat ini ya saat musim panas dan musim gugur."

Setiap Agustus, di tempat ini digelar Festival Naadam. Dalam festival itu, orang-orang Mongolia memamerkan rumah-rumah tenda mereka, menggelar pertandingan pacuan kuda, gulat, dan panahan. Saat seperti ini adalah kesempatan terbaik bagi wisatawan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan orang Mongolia asli dan mengetahui adat-istiadat mereka, seperti menari dan bernyanyi. Sayangnya, meski kami datang pada Agustus, keriuhan festival itu tak tampak. Mungkin karena kami datang terlalu sore.

Bagaimana datang ke Grassland saat musim dingin? Peter menjawab, taman itu tetap dibuka seperti biasa dari pukul 8 pagi hingga 6 sore. "Tapi di sini adalah tempat terdingin di Cina, bisa mencapai minus 31 derajat Celsius."

Ada jalan setapak membelah di antara barisan bukit Teletubbies dan padang rumput itu. Di beberapa spot, tampak kuda dan kambing dilepas di tengah hamparan rumput. Kuda Mongolia tidak berbeda dari kuda lain, hanya badannya lebih gagah dan jauh lebih berotot. Entahlah, apakah mereka hobi berlarian di hamparan rumput luas itu untuk mengatasi dingin. Yang justru terlihat menyesuaikan suhu ya kambing Mongolia. Sebenarnya dibilang kambing kurang tepat karena lebih mirip domba. Hanya, bulunya tidak keriting, melainkan tebal memanjang dengan kaki pendek.

Melihat yang lain terus mengambil gambar, saya mulai uring-uringan. Baterai tiris untuk orang seperti saya, yang suka berswafoto lalu memamerkannya di media sosial, benar-benar membuat mati gaya. "Ayolah, kamu sama oppa saja," kata oppa Son.

Selama sepuluh hari di Cina dan berinteraksi dekat dengan wartawan lain, saya memiliki dua abang yang saya panggil oppa lantaran usia mereka 12-14 tahun lebih tua dari saya. Mereka adalah oppa Son Taek Wang dan oppa Katsuji Nakazawa dari Jepang. Mereka memang memperlakukan saya seperti adik yang harus dikawal, seperti saat hendak mengelilingi daerah di sekitar hotel di Harbin selepas makan malam.

Kemuraman saya segera hilang. Apalagi oppa Son lalu meminjami saya ponsel kantornya. "Hati-hati ya, kalau ada apa-apa dengan ponsel itu, saya harus menggantinya US$ 1.000." Penjelasan ini membuat saya menelan ludah.

Kami menaiki kereta kelinci, jalan sebentar, berpindah naik gondola yang melaju dengan agak melompat. Oppa Son tetap mengawal saya bersama dua wanita Cina. Rupanya dia bisa berbahasa Mandarin dan terus mengajak kedua wanita itu berbincang. Matanya sesekali mengawasi cara saya memotret yang kadang-kadang terulur ke luar jendela gondola. Saya tahu dia khawatir ponsel itu jatuh, begitu pula saya. Dari atas gondola, pemandangan Grassland indah sekali. Ratusan kincir angin terus berputar di padang rumput untuk mengumpulkan energi listrik. Gundukan satu bertemu gundukan lain, hijau segar, bersih, bau khas peternakan, dan udara yang dingin sekali.

Tapi berada di atas gondola dengan jendela terbuka benar-benar hampir membunuh saya. Angin merangsek masuk dan langsung membekap kulit tubuh hingga saya menggigil dan gigi gemeretak. Son menertawakan saya. Ia terlihat santai dengan setelan pantalon dan jas yang tampak salah kostum untuk berjalan di perbukitan.

Keluar dari gondola, kami meneruskan berjalan dengan pemandangan yang sama. Zhang Yi menarik saya untuk naik ke kereta kuda. Saya ragu. "Jangan khawatir, kuda Mongolia kuat sekali," ujarnya. Tak ada pilihan lain kecuali menuruti kemauannya. Turun dari sana, kami harus berganti menaiki kursi layang.

Saya bersama Shenghong di atas kursi layang itu. Meski berjalan pelan, perasaan ngeri tidak bisa ditutupi. Kursi itu hanya disekat besi untuk berpegangan, sementara kaki mengulur ke bawah sekitar 10 meter dari tanah. Saya perlu lima menit untuk membiasakan diri, selanjutnya malah keenakan. Kami bahkan saling menggoda di atas kursi itu dan berfoto bersama. Turun dari kursi layang, barulah kami menyusuri jalan pulang. Ada tebing dengan air terjun kecil di sebelah kiri. Tapi, percayalah, masih jauh kalah bagus dari air terjun di Indonesia. Di sebelah kanan, ada perosotan air memanjang 400 meter.

Perjalanan pulang benar-benar melelahkan untuk turis yang berbadan subur seperti saya. Jalanan mulai menanjak. Ricky, yang berada di belakang, berlari menghampiri saya. "Kamu pegang tanganku, ayo kita naik," katanya. Teman-teman yang lain terus menyemangati saya. Mereka turut berhenti jika saya mulai terlihat ngos-ngosan. "Saya mau mengabadikan fotomu yang kelelahan," kata Shenghong, wartawan dari Laos, menggoda.

Sampai di atas, kami agak berpencar. Ricky mengingatkan kami untuk makan malam di rumah khas Mongolia yang berbentuk bulat, putih, dan agak menyerupai rumah suku Indian. Hari sudah mulai gelap. Dan aduh, dinginnya mulai benar-benar menusuk badan. Lemak di badan rasanya tak mempan. Saya terus berjalan mengikuti jejak rombongan yang berada 100 meter di depan. Nakazawa menunggu saya. "Ayo, aku temani kamu biar enggak hilang," katanya. Ye Myint Kyaw, wartawan dari Myanmar, ikut menemani saya. Ia juga yang memotret saya dan Naka berlatar belakang rumah Mongolia, domba, dan langit yang luar biasa indahnya.

Begitu masuk ke rumah bulat itu, kami sudah langsung meriung meja. Mereka siap menghidangkan makanan. Eh, tapi ada ham ikut terhidang. Ricky marah. Ia menjelaskan kepada kami bahwa ia sudah wanti-wanti kepada pengurus Grassland untuk tidak menyajikan daging babi. Segera daging ham itu disingkirkan dan berganti rupa menjadi bebek, domba, dan sup Mongolia. Lalu datanglah domba guling di depan kami.

Masing-masing dari kami mendapat selendang biru mengkilap dan dikalungkan di leher. Mereka mulai menghibur kami dengan sajian lagu dan tari Mongolia. Wartawan Mongolia yang selalu gagal saya sebutkan namanya terlihat paling bahagia di antara kami. Ia ikut menyanyi lagu Mongolia. Putcha-begini saya memanggilnya-seperti bertemu dengan kawan lama setelah terus merasa tertekan lantaran kurang bisa berbahasa Inggris. Kami menyemangatinya dengan bertepuk tangan.

Selesai hiburan, waktu dinner tiba. Sejujurnya, masakan Mongolia bagi lidah saya terasa tawar. Selama kunjungan di Cina, hanya di sinilah rasa masakannya biasa saja. "Ayo dimakan supnya," kata Putcha dengan terbata-bata menjelaskan. Sup ini memakai susu dan lemak kambing. Buat saya, yang hanya mengenal dua rasa: enak dan enak banget, tiba-tiba tak berselera.

Saat pukul 8 malam, Mister Li-konselor di Kementerian Luar Negeri Cina-mengajak kami meneruskan perjalanan. "Kita masih harus ke Kota Ulanqab untuk masuk hotel dan beristirahat," ujarnya. Kami pun berjalan pelan kembali ke parkiran bus. Inilah saat kami kembali ke dunia nyata lagi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus