Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Mataram - Lombok dihuni oleh masyarakat yang berbeda suku dan agama, namun mereka memiliki cara untuk menjaga kerukunan. Salah satu cara itu adalah tradisi Perang Topat. Tradisi ini dilakukan oleh dua suku serta agama, yakni suku Sasak yang beragama Islam dan suku Bali penganut agama Hindu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Event ini menggambarkan kerukunan warga yang memeluk agama Islam dan Hindu. Mereka menyatu tanpa ada gesekan dan konfrontasi. Hingga saat ini, kerukunan masih tecermin saat ritual keagamaan maupun pada Perang Topat di satu kawasan. Lokasinya di Taman Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang Topat merupakan Warisan Budaya Takbenda (WBTB) yang diakui secara nasional melalui surat keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 19255/mpk.F/kb/2020.
Tradisi ini dilaksanakan di dalam kawasan Pura Lingsar. Di dalam kawasan tersebut terdapat dua bangunan yang disakralkan oleh masing-masing umat, yakni Pura Gaduh yang menjadi bangunan sakral umat Hindu dan bangunan Kemaliq yang disakralkan umat Islam.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupateen Lombok Barat M. Fajar Taufiq mengatakan, Perang Topat sebagai salah satu event yang masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN). Event budaya ini harus memiliki daya ungkit kepada pelaku ekonomi kreatif di Desa Lingsar. "Serta memberikan dampak pada peningkatan kunjungan wisatawan baik wisnus dan wisman," katanya.
Semua masyarakat harus berkolaborasi bersama dalam mendorong pelestarian budaya ini. Penyelenggaraan Perang Topat dilaksanakan sejak 20 - 25 November dan acara puncak pada tgl 27 November 2023.
Masyarakat Desa Lingsar selalu menggelar ritual Perang Topat pada hari ke-15 bulan ketujuh pada penanggalan Sasak Lombok. Tanggal itu disebut purnama sasih kepituq (purnama bulan ketujuh), atau hari ke-15 bulan keenam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi keenem (purnama bulan keenam).
Event Perang Topat ini dilakukan pada sore hari, setelah salat asar, atau dalam bahasa Sasak "raraq kembang waru” (gugur bunga pohon waru). Tanda itu dipakai oleh orang tua zaman dulu untuk mengetahui waktu salat asar.
Sebelum prosesi Perang Topat dimulai, umat Hindu terlebih dahulu sembahyang di pura, disebut dengan upacara Pujawali Piodalan Pura Lingsar. Kebiasaan ini dilaksanakan pada hari yang bersamaan dengan prosesi Perang Topat.
Setelah bunga waru gugur, prosesi perang topat dimulai dengan mengelilingkan sesajian yang terdiri dari makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi, sebagai sarana persembahyangan di Purwadaksina yang berada di kawasan bangunan Kemaliq. Prosesi ini diikuti oleh kedua umat beserta seluruh tokoh, baik dari Hindu Bali maupun Islam Sasak diiringi oleh gamelan, gendang beleq dan baris lingsar.
Kedua umat berkumpul pada masing-masing titik yang telah ditentukan. Umat Hindu berkumpul di halaman Pura Gaduh, sedangkan umat Islam di halaman bangunan Kemaliq. Perang Topat dimulai ketika tokoh yang dihormati kedua kubu, melempar ketupat secara simbolis untuk pertama kalinya, lalu diikuti yang lain.
SUPRIYANTHO KHAFID
Pilihan Editor: Unik, Perang Topat: Tanpa Amarah Namun Penuh Perdamaian