Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Asal Usul Perang Topat yang Mendamaikan Bali-Lombok

Perang Topat merupakan simbol kerukunan antara umat Hindu dan Islam di Lombok. Perhelatan itu merupakan penghormatan atas keberagaman di Pulau Lombok.

15 Desember 2019 | 10.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Bali membalas lemparan ketupat dari warga Sasak. Acara ini diakhiri dengan tawa dan canda. Dok. Kemenparekraf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Mataram - Tradisi Perang Topat lahir di sekitar tahun 1500-an. Saat agama Hindu dan Islam menyebar di Pulau Lombok secara bersamaan, potensi konflik dapat diredakan dengan tradisi Perang Topat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, Perang Topat dan pujawali menyuguhkan pluralisme kuat yang melibatkan dua umat beragama – Islam dan Hindu. “Insya Allah sebelum acara puncak Perang Topat tahun 2020, saya keliling Bali untuk mengundang sejumlah bupati dan walikota,” kata Fauzan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisah, menurut Fauzan Khalid, semula di Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, pernah didatangi seorang wali dari Demak-Jawa Tengah bernama Raden Sumilir. Kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam. Pada saat yang relatif bersamaan, datang pula orang Hindu dari Bali untuk menyebarkan agama Hindu di Lingsar.

Dalam situasi yang mengarah ke konflik tersebut, muncul ide dari para sesepuh muslim maupun hindu mentransformasi potensi konflik ke dalam bentuk Perang Topat. Kini, Perang Topat merupakan tradisi turun temurun masyarakat di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Perang Topat di Lingsar Lombok Barat, 11 Desember 2019. Dok. Humas Lombok Barat

Kegiatan ini memperlihatkan toleransi antar dua umat beragama, “Ini melestarikan budaya leluhur nenek moyang,” kata Fauzan Khalid sewaktu berada di Taman Lingsar, dalam rangka acara ritual Perang Topat dan ritual Pujawali di Taman Lingsar, Rabu 11 Desember 2019 sore.

Perang topat dan Pujawali, dikatakan oleh Fauzan Khalid, merupakan kegiatan seni budaya antara umat muslim dan Hindu. Keduanya menghadirkan pluralisme kuat yang melibatkan dua umat beragama – Islam dan Hindu.

Salah seorang warga, Amaq Li, 57, dari Desa Lingsar mengenang Perang Topat sudah ada sejak era Presiden Soekarno. “Dan satu-satunya di Lingsar. Cari di mana-mana, tidak ada kecuali di Lingsar,” ujar Amaq Li. Ia selalu datang untuk mendapat biji ketupat guna ditempatkan di sawah.

Ritual tahunan yang kini dijadikan salah satu atraksi pariwisata tersebut, dihelat di Kemalik dan Pura. Usai topat dibacakan doa, warga masyarakat baik muslim maupun Hindu, saling melempar menggunakan topat.

 

Kendang Beliq mewarnai prosesi Preang Topat. Dok. Humas Lombok Barat

Setelah saling lempar ketupat seukuran buah rambutan, sejumlah masyarakat mengambil dan membawa pulang. Mereka meyakini topat itu dapat menyuburkan tanaman buah, caranya mereka menggantung di pohon atau ditaruh di sawah. Dipercaya, topat tersebut membawa keberkahan dan kesuburan baik sawah maupun tanaman.

Perang topat ini juga diramaikan dengan tarian Gendang Beleq, Baris Lingsar, Tari Perang Topat, dan Gerobak Sasak.

Ritual sakral ini biasanya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Purnama Sasih ke Pituq menurut warige (kalender) Sasak. Kegiatan turun-temurun menunjukkan sikap hormat dan kesetiaan kepada Raden atau Datu Sumilir, penyebar Islam di Lombok.

Perang Topat dihelat selepas waktu Salat Asar, bertepatan dengan selesainya persembahyangan umat Hindu. Warga Sasak menyebut waktu itu sebagai raraq kembang waru atau di saat bergugurannya kembang waru sekitar pukul 17.00.

Sebagian masyarakat Lingsar meyakini bahwa upacara ini memberi berkah dengan turunnya hujan. Sementara sebagian yang lain menyebutkan, bahwa upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang dikaruniakan oleh Yang Maha Kuasa bagi kemakmuran dan kesuburan alam.

Pada Perang Topat 2020, Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, berencana mengundang bupati dan wali kota di Bali, untuk menghadiri Perang Topat dan Pujawali  di Taman Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, melempar topat (ketupat) saat menghadiri acara Perang Topat. Dok. Humas Pemkab Lombok Barat

Menurutnya, para kepala daerah di Bali, perlu hadir untuk turut menyaksikan asal usulnya. Fauzan b menjalin berjanji meningkatkan kerja sama dan kebersamaan antara Lombok-Bali, sehingga nilai kebersamaan bisa menyebar di seluruh NKRI.

“Kegiatan ini sarat dengan simbol-simbol bahwa dua suku dan agama ini saling menghormati, saling menghargai,” ujar Fauzan Khalid.

SUPRIYANTHO KHAFID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus