TEMPO.CO, Jakarta - Perang Topat memang perang yang unik, tak ada amarah, tak ada dendam. Justru inilah puncak kerukunan dan toleransi umat beragama di Pulau Lombok.
Perang Topat yang digelar di Kompleks Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan perang yang memunculkan perdamaian.
Ritual ini bermula ketika ratusan peserta perang antara umat Muslim dan Hindu, serta suku Sasak dan Bali hadir berbaur menjadi satu. Mereka datang untuk menghadiri sebuah tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Tradisi perang topat ini menceritakan kedamaian masyarakat Lombok Barat dalam kehidupan sehari-hari di tengah keberagaman. Baik umat Islam maupun Hindu menyatu tanpa ada gesekan dan konfrontasi, yang muncul justru tradisi Perang Topat yang lestari hingga sekarang.
Para ibu dari warga Bali menari dalam rangakaian Perang Topat. Dok. Kemenparekraf
Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid saat puncak Perang Topat, Rabu (11/12/2019) menjelaskan Perang Topat bukan merupakan perang sungguhan, melainkan sebuah tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Ia mengatakan, tradisi ini melambangkan kedamaian masyarakat Lombok Barat saat mempraktikkan hidup dalam keberagaman. Islam dan Hindu menyatu tanpa ada gesekan dan konfrontasi hingga sekarang.
"Rangkaian kegiatan Perang Topat adalah salah satu bukti kehidupan keberagamaan, yang didasari oleh kebersamaan serta nilai-nilai sepenanggungan. Ini sangat hidup di Kabupaten Lombok Barat," kata Fauzan.
Menurut Bupati Fauzan, gambaran keharmonisan umat beragama tersebut bisa disaksikan sebelum puncak Perang Topat dimulai dengan ritual mengarak kerbau. Tokoh agama dari perwakilan umat Muslim dan Hindu memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar.
“Kerbau merupakan simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu. Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total bahwa kita semua mahluk Allah SWT, guna merajut persaudaraan dan perdamaian. Jadi filosopi Perang Topat yakni mempertahankna tradisi menjaga toleransi," katanya.
Ia juga meminta kepada Dinas Pariwisata Lombok Barat untuk memastikan kalender penyelenggaraan tradisi Perang Topat agar bisa diketahui setahun sebelumnya.
Warga Bali membalas lemparan ketupat dari warga Sasak. Acara ini diakhiri dengan tawa dan canda. Dok. Kemenparekraf
“Saya minta Dinas Pariwisata untuk bisa mendiskusikannya dengan seluruh pemangku adat supaya tanggal penyelenggaraan tradisi Perang Topat bisa dipastikan lebih awal,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Pemasaran I Regional III Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Muh Ricky Fauziyani mengatakan tradisi Perang Topat menjadi pelajaran tentang cara menjaga toleransi dan silaturahmi di antara dua suku dan agama di Lombok Barat.
"Lombok Barat beruntung punya tradisi adiluhung yang tinggi. Itu yang harus kita lestarikan, serta dipromosikan sehingga banyak wisatawan yang tertarik dengan budaya yang ada di sini. Terlebih Lombok memiliki kawasan destinasi super prioritas Mandalika, harus dimanfaatkan secara maksimal,” ujar Ricky.